27

20.1K 1.1K 5
                                    

Pagi harinya.

Dirga terbangun lebih dulu. Merasakan tangan kecil yang mengerat ke pinggangnya. Juga kepala yang mendusel di dadanya mencari kenyamanan dan kehangatan. Dahi pria itu mengerut. Membuka matanya dengan kesadaran yang belum pulih sempurna. Terkekeh kecil begitu mendapati gadis itu mendusel padanya seolah mencari kehangatan. Selimut yang semula membungkus tubuhnya sudah tergeletak di bawah. Apalagi guling? Menggelinding di lantai tak dianggap.

"Sudah kuduga, kau akan melakukannya," desis Dirga terkekeh pelan. Mengusap lembut surai gadis itu. Sedikit membungkukkan kepalanya demi mencium puncak kepala gadis itu. Mencoba mengintip wajah sang gadis, sayangnya tertutupi karena gadis itu sembunyikan di dadanya.

"Aah... kau membuatku kehilangan kesempatan memandangimu," keluhnya tipis. Tapi tak apa, justru dia memikirkan hal lain.

"Aku ingin tahu, apa reaksimu saat tahu memelukku lebih dulu." Dirga terkekeh. Lalu dia memejamkan matanya lagi. Berpura-pura meneruskan tidurnya.

*******

Hangat. Itu yang dirasakan Dara. Hangat dan nyaman secara bersamaan. Dalam tidurnya dia menggeliat kecil dan tersenyum tipis.

"Euunghdkslls..." lenguhnya tak jelas. Menggerakkan kepalanya tertahan. Kenapa pandangannya gelap. Padahal dia kan sudah membuka matanya? Dan, aroma maskulin yang tak asing terhirup indra penciumannya. Tangannya tak sengaja tertarik. Menyentuh perut kokoh yang terbungkus kaos putih itu. Dara terperanjat. Dia kaget mendapati posisinya yang terlalu intim.
"Astaga! Apa yang gue lakuin!" pekiknya dan segera menjauh. Tapi dia tidak bangun. Masih dalam posisi baringnya. Menghela napas lega saat melihat pria itu masih terlelap.
"Huft, untung saja dia belum bangun. Bisa mati kutu kalau  sampai dia tahu gue meluk dia duluan," rutuknya. Sejenak dia pandangi wajah di depannya. Wajah tidur yang tenang dan jauh dari kata menyebalkan. Huft, andai saja...

Dara menggelengkan kepalanya. Beranjak bangun. Meratapi tingkah tidurnya yang masih suka pecicilan tanpa sadar. Beringsut turun dari ranjang dan memungut selimut serta bantal gulingnya. Untuk selimut, dia tangkupkan ke badan Dirga yang masih terlelap. Lalu dengan hati-hati dia melangkah keluar. Menutup pintu sepelan mungkin. Tak sadar jika tingkahnya di perhatikan oleh Dirga dari matanya yang setengah terbuka. Sudut bibirnya tertarik samar. Lucu sekali.

******

Dirga sudah selesai mandi. Dia masih bimbang untuk ke kantor atau tidak. Sementara dia khawatir dengan keadaan Dara. Meski dari kemarin menunjukkan baik-baik saja, tetap saja dia khawatir. Teringat gadis itu sempat tak sadarkan diri kemarin.

Dara menuruni tangga. Membuat atensi pria itu teralihkan. Memandangi Dara dari tempat duduknya. Dara melengos dan berbelok menuju dapur. Dirga membuntutinya.
Dara menuangkan segelas air bening. Untuk kehamilannya, bahkan dia belum beli apa-apa. Tidak tahu apa yang dibutuhkan oleh ibu hamil muda sepertinya.

"Lo gak ke kantor?" tukasnya sadar ada Dirga di belakangnya.
"Kau mau ikut?"

Dara diam saja. Sebenarnya di apart pun dia biasa saja. Rasa pening dan mualnya hanya terasa kemarin.

"Aku hari ini tidak ke kantor. Kau mau kemana? Biar aku antar."

Dara menoleh. Mengamati pria itu. Sudah rapi. Meski hanya pakai baju rumahan. Tandanya pria itu sebenarnya berniat kerja, tapi mungkin tidak jadi.

"Berangkat saja. Gue gak pengen kemana-mana juga," tukasnya. Berjalan melewati Dirga. Namun tangannya di tahan oleh pria itu.

"Kau ikut."
Bukan tawaran, melainkan perintah.

********

Awalnya Dara mau memakai make up jelek biasanya. Tapi Dirga melarangnya.

"Jangan lakukan jika membuatmu tak nyaman," tukasnya tadi.

Jadilah, Dara memperlihatkan wajah aslinya. Tanpa make up yang biasanya membebani wajahnya. Tapi tentu saja dia memakai maskernya. Tak mau kan membuat heboh karyawan karena Dirga membawa perempuan lain. Di tambah perempuan kali ini adalah Dara Hanindya, sang pemilik salon Beauty and Care yang terkenal itu. Bisa-bisa Dirga dikira selingkuh. Atau yang lebih parah, dirinya dianggap pelakor. Nasib, gara-gara dari awal merubah penampilannya, malah berakhir merepotkannya sendiri. Berasa krisis identitas.

Sampai kantor, Dirga cepat-cepat membukakan pintu Dara. Tidak mau membuat gadis itu kelelahan katanya. Semakin membuat Dara yakin, perubahan Dirga karena tahu dirinya yang asli. Cih! Semua pria sama saja. Hanya mandang fisik. Huh!

Dara tahu, tatap mata karyawan mengindikasikan mereka akan membicarakannya nanti. Bisa jadi mereka berfikiran dia memakai masker untuk menutupi wajahnya. Huh! Pikiran buruk terus saja mendominasinya.

"Dita, bagaimana?"
"Untuk apa kau menanyakannya?" tukas Dirga, membuka pintu ruangannya. Dara mengikuti dari belakang.
"Ya... biasanya kan dia kesini. Kalau dia tahu wajah asliku, bagaimana?"
Dirga terkekeh kecil. Duduk di kursi kerjanya.
"Aku tanya, dulu, kenapa kau menutupi wajahmu, dan malah berpura-pura menjadi orang lain, hm?"
"Itu karena---"
Dara memalingkan wajahnya. Duduk di sofa.
"Gue pengen lo benci sama gue. Dan, gak betah lihat wajah jelek gue," tukasnya. Dirga manggut-manggut.
"Lalu, apa menurutmu aku seperti itu?" ungkapnya.
"Apa aku pernah menyuruhmu berdandan berlebih? Apa aku pernah menyembunyikanmu dari orang-orang? Atau, tidak mengakuimu di hadapan orang lain, bahwa kamu istrimu?"

Pertanyaan yang menohok. Seakan menjawab asumsi Dara bahwa pria itu berubah lembut hanya setelah melihat wajah cantiknya. Dara terdiam. Dia tak mampu mengelak. Ucapan Dirga mengobrak abrik pikiran buruknya. Ya, selama ini Dirga tak pernah menyuruhnya begini dan begitu. Bahkan di hadapan siapapun dia tak menyembunyikan status mereka. Kepada Dita sekalipun.

"Jadi, kalau Dita tahu, kamu istriku, aku tak masalah. Tergantung kamu sendiri, kalau kamu mau menyembunyikan atau menyangkal, ya terserah."

Jleb.

Kenapa ucapan Dirga serupa sindiran halus tapi menusuk. Dara tak bergeming. Dia masih berusaha mencerna ucapan Dirga barusan. Meski jawaban yang di dapat masih sama. Ini semua karena egonya yang besar, bukan Dirga.

"Nanti sepulang dari kantor, kita ke rumah sakit ya? Sekalian memeriksakan dia. Emm, aku tahu, ini kehamilan pertamamu, pun juga sama denganku. Aku juga belum berpengalaman. Nanti kita pulang lebih cepat saja. Supaya bisa sekalian konsul dengan dokter. Bagaimana?"

Dara tak menjawab. Dia benar-benar gamang. Merasai dirinya yang egois.

"Atau, kamu sebenarnya tak menyukai kehamilanmu?" ucap Dirga selidik. Dara tertohok. Dia sendiri bingung dengan perasaannya. Bahagia atau--

"Ah, terserahmu sajalah. Beristirahatlah di dalam kalau memang masih lelah. Aku kerja dulu," tukasnya dengan suara yang jelas kecewanya. Dara jadi tak enak hati. Ayolah, tak mudah menancapkan keyakin dalam dirinya. Perasaannya seakan terombang ambing tak menentu.

Dan sebuah panggilan dari ponselnya membuatnya bangkit dari duduknya. Berjalan keluar tanpa sepatah katapun terucap pada Dirga. Membuat pria itu menghela napas kasar.

******

"Iya, Ka. Ada apa meneleponku?"

Ternyata itu Raka. Selama ini Dara banyak mengabaikan pesan dari Raka. Pikirannya sedang rumit.

"Apa kabar? Kau dimana sekarang?"
"A-aku---"

Dara menghela napas. Sepertinya dia butuh meyakinkan diri. Hingga sebuah pertanyaan meluncur dari bibirnya.

"Bisa ketemu sekarang?"

Rahasia Istri Jelekku (Ending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang