40

17.3K 1K 2
                                    

Dirga terbahak saat Dara kembali ke kamar. Dia bergegas melihat wajahnya di cermin. Lalu menatap Dirga kesal, tapi yang di pelototinya santai saja menghapus make up plontengannya dengan miceller water. Sebelah tangannya mengangkat dua jari ke atas.
"Satu sama sayang..."

Dara mendengkus. Mengambil kapas dan menuang cairan penghapus lipstik mengusap ke bibirnya dan juga bagian dekat bibirnya yang belepotan lipstik.

******

Dirga sudah menduga, akan terjadi seperti ini. Ya, gara-gara poto yang diposting Dara kemarin, hari ini dia menjadi bahan gosip karyawannya. Meski mereka tak menunjukkan raut ketawa mereka, tapi dia tahu, pasti para karyawan menertawakan dirinya. Huft, dasar ibu hamil. Tak pernah upload poto berdua, sekalinya upload bikin geger.

Pun Linda, dia juga terlihat sekali menahan senyumnya. Dirga sampai kesal sendiri. Hingga setelah Linda keluar, Dirga menguatkan diri memeriksa akun instagram Dara. Dann...
Yah, dia langsung kena serangan mental. Dari yang kemarin baru ratusan, sekarang berubah ratusan. Meringis Dirga membacai komentar dari pengikut Dara. Gini amat nasib mau punya anak. Tapi, yah sudahlah. Asal istrinya bahagia. Apa jangan-jangan ini karena mereka melakukannya di tengah kesadaran ya? Eh, maksudnya Dara. Kalau dia mah sadar seratus persen. Tapi masak iya sih? Bayi itu jadi balas dendam. Mengerjainya. Entahlah. Sepertinya pikiran Dirga mulai merambah aneh-aneh.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Aish! Siapa lagi yang mengganggunya.

"Masuk," ucapnya.

Dan!
Sejenak Dirga terpaku. Lalu berlari ke kamar mandi. Sedang sang tamu melihatnya keheranan.

Hoeks! Hoeks!
Suara muntahan dari kamar mandi membuat orang itu bergegas menghampiri khawatir.

"Ga, kamu sakit?"
Dirga menoleh, muntah lagi.
"Papa antar pulang aja ya?"
Orang itu ternyata papa Deri, alias papa Dirga. Memijit tengkuk Dirga.
"Papa jelek! Hoeks!" Muntahnya lagi. Wajah pak Deri memerah dong dibilang jelek.
"Maksudmu apa?" Sergah beliau kesal.
"Papa jangan dekat-dekat Dirga. Hoeks!"
Sumpah, Dirga mual sekali. Bahkan lebih parah daripada kemarin karena papanya menyentuhnya.
"Papa jelek! Dirga muak melihat papa. Hoeks.. hoeks! Papa minggir," ucapnya menyingkirkan papanya yang sudah memerah kesal.
"Bocah gemblong! Maksudmu papa memuakkan bagaimana hah?"
"Pa! Keluar. Telpon Dara."
Dirga memejamkan matanya. Rasanya dia kesal sekali melihat keberadaan papanya. Apalagi wajahnya, membuat perutnya seperti diaduk-aduk. Pak Deri yang kesal segera meninggalkan Dirga di dalam. Mengambil ponselnya dan menghubungi Dara.
"Ini papa, Ra."
"Oh, papa. Ada apa pa?"
"Dirga sakit. Muntah-muntah dia."
"Hah?"
"Iya. Mana dia ngata-ngatain papa jelek lagi. Gak sadar apa, wajah tampannya itu titisan dari siapa. Sembarang saja kalau bicara," desahnya kesal. Melirik ke arah kamar mandi. Sudah tak ada suara. Tapi Dirga ada di dalam.
Terdengar tawa dari seberang. Pasti Dara sedang ngakak sekarang.
"Dia gitu juga sama papa?"
"Memang dia ngatain orang lain juga?"
Dara malah tergelak.
"Dirga juga ngatain papa, Pa. Haha. Sebenarnya dia punya dendam apa sih sama dua papa ini?"

Terang saja pak Deri bingung. Dirga juga ngata-ngatain mertuanya? Dasar bocah gemblung.

"Oo... minta dijitak dia," omel pak Deri.
"Haha. Bukan gitu pa, Dirga yang ngalamin morning sicknes. Alias dia yang mual-mual. Kalau Dara mah santuy. Sehat wal afiat. Dia juga gitu kok sama papa. Tapi kata dokter Hans bukan masalah. Yang penting dia tidak melihat wajah papa dan papa Deri secara langsung," jelas Dara. Pak Deri termenung sejenak. Cobaan macam apa ini. Dulu dirinya juga yang mengalami nyidam. Tapi tidak separah Dirga sampai ngata-ngatain papanya sendiri. Eh, ditambah pada mertuanya juga. Untung saja besannya itu sabar, kalau tidak mungkin sudah kena semprot dia.
"Jadi begitu, terus bagaimana ini? Papa lagi ada urusan penting lagi sama dia," desah pak Deri. Niatnya kesini karena hendak membicarakan hal penting dengan Dirga, tapi malah Dirganya begitu.
"Papa telpon aja. Kayaknya dia kalau lewat suara gak masalah kok. Yang penting jangan tatapan langsung saja. Dia alergi kayaknya sama wajah papa berdua. Haha."
Ini juga, mantu durhaka.
"Baiklah. Terimakasih infonya. Untung aja kamu jelasin, kalau gak suamimu mungkin sudah babak belur."
"Hehe. Iya pa. Bilangin sama Dirga, suruh minta maaf. Punya dendam apa dia sama papa berdua. Haha."
"Haha. Iya. Nanti papa suruh dia sujud di kaki papa kalau dia sudah sembuh. Ya sudah. Papa tutup dulu ya."
"Iya pa."
Pak Deri memutus sambungan telponnya. Menoleh ke kamar mandi. Dirga belum berani keluar. Pak Deri menggelengkan kepala. Kasihan sekali calon papa muda itu. Tapi menyebalkan juga sih.
"Papa keluar. Tapi nanti papa telpon, Ga. Awas aja kalau kamu gak angkat," tukas pak Deri dan melangkah keluar. Barulah Dirga keluar dari persembunyiannya. Wajahnya pucat dan lemas.

"Ah, kasihan sekali aku," decaknya dan bergegas menghubungi Linda, untuk membawakan vitamin untuknya.

*******

Nyatanya mual Dirga tak hanya muncul saat melihat papa mertua itu membuat mama Windi terkejut. Jadi sebisa mungkin dua papa itu menghindari bertatap langsung dengan putra dan menantu mereka itu. Daripada berakhir membuatnya dehidrasi. Kasihan.

Hingga suatu hari, Dara mengusulkan supaya kedua papa itu sedia masker. Jadi Dirga tak akan melihat wajah mereka secara langsung. Dan rupanya cara itu efektif. Dirga tak lagi muntah-muntah sampai masanya habis.

******

"Ga."
"Hm?"

Dara menatap sebal. Sedari tadi Dirga asyik membaca buku dan mengabaikan dirinya.

"Bacanya udahan kenapa," tukasnya.
"Nanggung sayang. Bentar lagi," jawabnya tanpa mengangkat wajahnya dari buku yang dibacanya.
"Bentar lagi... bentar lagi. Gitu aja sampek monyet revolusi jadi manusia."
"Eh, ngomongnya. Ibu hamil gak boleh ngomong aneh-aneh lo."
"Makanya, jangan dianggurin mulu dong," desisnya sebal. Dirga tersenyum. Menutup buku itu dan meletakkan di nakas samping ranjang.

"Udah. Terus mau apa, hm?"
Dirga menariknya dalam pelukan. Jadi Dirga ini tengah bersandar di headboard membaca buku. Dan Dara yang bosan mengganggunya. Hingga membuat pria itu terusik. Menyudahi kegiatannya. Daripada Dara ngambek malah bahaya. Tingkah jahilnya kadang tak bisa diprediksi.

"Nah, giliran ditanya malah diam kan?" ucap Dirga. Menciumi puncak kepala Dara. Aroma rambut dengan shampo khas itu menjadi favoritnya. Sesekali mengusap lengan wanita itu.

"Emm... itu--"

Dirga menjepit bibir manyun Dara dengan kedua jarinya.

"Iih kan... malah dicubit," protesnya.
"Haha. Makanya jangan manyun-manyun."
"Suka-suka akulah."
"Kalau gitu kalau aku cium juga suka-suka aku dong."

Dara bungkam.

"Haha. Bercanda sayang. Memang ada apa sih?"

Dara menghela napas dan menghembuskannya pelan.

"Aku kok kepikiran sama Dita ya..." ucapnya. Mendongak untuk melihat reaksi Dirga. Tapi pria itu diam saja.

"Sejak kecelakaan itu, aku bahkan belum sekalipun menjenguknya. Huft..."
"Apa Raka menghubungimu?"
"Raka?" Dirga mengangguk.
"Tidak. Dia pernah chat, tapi tidak aku balas. Mungkin dia mengiranya aku kan masih Preta."
Dirga manggut-manggut.
"Lalu, mau gimana? Apa mau menjenguknya?"
"Emang boleh?"
Dirga terdiam sejenak, lalu mengangguk.
"Iya. Mau kapan? Nanti biar aku yang antar."
Senyum Dara merekah. Mengeratkan pelukannya.

"Kamu tahu, beberapa hari ini aku kepikiran dia terus. Kasihan tahu, Ga. Ya meski dia salah, tapi gak ada salahnya juga kan kalau kita jenguk dia? Dan aku rasa, mungkin yaa... Dita pernah kesal padaku karena kita juga kan sering bertengkar. Jadi sebenarnya kita sama-sama salah."

"Ga?" Kesal Dara karena Dirga tak kunjung menjawab ucapannya. Pria itu terkekeh.
"Iya sayang. Aku dengar. Hehe."
Dara memukul pelan lengan Dirga.
"Dasar."

Rahasia Istri Jelekku (Ending)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz