[25] Ikhlas yang Sebenarnya

7 2 0
                                    

"Hiburlah hatimu, siramilah ia dengan percikan hikmah. Seperti halnya fisik, hati juga merasakan letih."

Ali bin Abi Thalib.

💌💌💌

Aku sudah memandangi diri selama sepuluh menit lebih di kaca. Memperhatikan penampilanku, barangkali ada yang aneh.  Aku berputar ke kanan dan ke kiri, melihat sekeliling tubuh bila semuanya benar-benar sudah siap. Aku juga mencoba mengatur ekspresi wajah, kira-kira nanti aku menunjukkan seperti apa bila sudah berhadapan dengan orang banyak.

Akhirnya hari ini adalah jadwal aku masuk sesuai dengan waktu yang diberikan oleh Bu Tila. Awalnya aku ragu, tapi ketika kuhubungi lewat pesan WhatsApp, ketua jurusanku itu membenarkan dan memintaku ke ruangannya nanti siang pukul dua siang.

Semangat tumbuh membara di bola mataku. Aku jadi tak sabaran untuk segera sampai meskipun hatiku dipenuhi kegugupan. Takut bila ada yang melihatku dengan tatapan mengintimidasi. Tapi Tata bilang aku harus berdoa dulu sebelum masuk berangkat, dia juga menjamin bila semuanya aman. Mengingat cerita Friska beberapa hari lalu, aku jadi membayangkan bagaimana dia mengajak anak kelas yang aku pikir sangat intoleran.

Setelah memastikan semua beres, aku pun keluar dan berjalan menuju kampus. Udara pagi yang sudah sangat dikenali hidungku kembali tercium, rasanya sudah lama sekali aku dan menghirup udara pagi yang tak segar ini. Pemandangan di sekitar jalan pintas ini masih sama, tapi aku merasa bahagia karena hanya pergi ke kampus alasanku untuk melihatnya. Pemandangan kendaraan berlalu-lalang, mahasiswa-mahasiswi yang berjalan kali, aku sangat-sangat rindu suasana ini. Senyum tipis terus terus terpatri di bibir, sesekali aku mengubah wajah datar agar tak tertangkap basah sedang tersenyum-senyum sendiri tanpa alasan.

Kupandangi sekitar, semua sibuk menuju tujuan masing-masing, ketika sampai di depan gerbang fakultas, aku melesat cepat di antara pejalan kaki lainnya, kemudian berbelok ke kanan dari gedung L menuju gedung M. Kupangku buku akuntansi pajak di depan dada dengan perasaan gembira. Akhirnya aku bisa kembali menginjakkan kaki di fakultas yang sudah dua tahun ini kusinggahi.

Sampai di lantai tiga, aku mengembuskan napas pelan. Berusaha menahan desir-desir aneh yang menghampiri dada. Setelah merasa siap, aku berbelok ke kanan, tepat di sebelah tangga. Tampak kelas sudah ramai, wajah-wajah yang terasa sudah lama sekali tak kulihat sibuk dengan aktivitas masing-masing. Diam-diam aku masuk, mengucapkan salam dalam hati. Tapi sepertinya keberadaanku disadari dengan cepat. Baru setengah perjalanan menuju bangku di tengah-tengah, suara Mery menyapa.

"Eh, Lan. Sini duduk, cie... yang udah masuk kuliah lagi."

Wajahku memanas saat semua mata menatapku yang terdiam kaku di depan kelas. Suara mereka bersahutan menyorakiku. Tapi tak semuanya. Mataku bergerak-gerak cepat, ternyata Tisa belum datang.

"Cie... Wulan, gimana rebahannya? Kok masih kurus-kurus aja?" Itu suara Ari, musuh bebuyutan yang selalu mencuri-curi kesempatan menyentuh tanganku.

Aku meliriknya, mengabaikan candaan tak bermutu darinya.

"Hei, kenapa berdiri di sini? Ayo, duduk."

Aku kaget bukan main saat seseorang menyentuh kedua pundakku. Hampir saja aku menjatuhkan buku dalam genggaman. "Astaghfirullah! Tata ngagetin!" pekikku.

Tia tertawa dan duduk di posisi yang biasa. "Ayo, duduk, Lan. Kenapa berdiri sana? Mau jadi dosen?"

Aku menggeleng, kemudian mengikuti Tata yang sudah duduk lebih dulu. Lalu beberapa yang duduk di depanku juga bertanya-tanya apa rasanya tidak kuliah. Ada juga yang bertanya kegiatanku selama diskors. Aku menjawab seadaanya saja, sebagaimana mana aku merasa senang ketika sebagian kecil dari mereka datang mengunjungiku.

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang