[14] Pembicaraan Panjang

Mulai dari awal
                                    

"Kamu sama tim tidur di mana?" tanyaku ketika kami menyusuri jalan masuk ke kost. Kanan dan kiri jalan adalah rumah-rumah bertingkat yang rata-rata dijadikan untuk kost. Baik tanpa atau ada pemiliknya. Bisnis kost-kostan sangat laris dengan harga bersaing, begitu juga fasilitas yang ditawarkan.

"Nyewa dua kamar kost-an, agak jauh ke atas sana, sih. Soalnya susah nyari kost cowok dekat sini, rata-rata kost cewek, ya."

"Iya, lagian lebih banyak cewek juga yang kuliah di sini."

"Iya juga, ya. Kalau di UNAND nggak tahu juga, aku lupa berapa mahasiswa cowok dan ceweknya, nggak pernah ngitung."

Aku hanya tersenyum kecil mendengar kekehannya di akhir kalimat, sebab tak tahu mau menjawab apa. Rasanya baru satu menit aku memasuki persimpangan di depan, kini sudah sampai di depan kost.

"Aku di sini," kataku beberapa langkah sebelumnya sampai di depan pagar kost berwarna merah.

"Oh, di sini, ya?"

Aku menatapnya sebentar lalu mengangguk. "Iya. Makasih ya buat makanannya," ucapku sambil mengangkat kantong plastik berisi mi ayam, ayam goreng, dan beberapa tusuk bakso bakar. Tadi Radit yang memesan, kupikir aku hanya mendapatkan mi ayam karena hanya menjawab itu saat dia bertanya. Namun saat dia memesan ayam goreng dan bakso bakar, dia malah memberikannya padaku di depan pedagangnya, mana mungkin aku berdebat untuk menolak hal tersebut. Bisa-bisa kami menjadi tontonan yang menggelikan bagi para pembeli lainnya yang mengantri.

"Sama-sama. Dimakan, ya. Aku balik dulu, udah mau Magrib, nanti temen-temen aku nanyain." Dia tertawa kecil sambil menggaruk tengkuknya. Aku menyimpulkan bahwa dia memang suka begitu jika sedang tertawa serupa salah tingkah begini.

"Oke. Hati-hati."

Radit melambai singkat, lalu segera berbalik dan berlari kecil. Mataku mengantar kepergiannya hingga hilang di persimpangan. Setelah itu aku masuk ke dalam kost dua tingkat melalui pintu utama yang memang sudah terbuka. Di sebelah kost-ku adalah rumah pemilik kost untuk singgah jika dia pulang untuk menagih uang bulanan.

"Hai, Kak. Tumben baru pulang," sapa Veronica anak semester satu dari kamar empat. Gadis bertubuh tinggi dan agak berisi itu menatapku penasaran. Dia sedang menonton televisi yang digantung di dinding di depan kamar dua. Lorong di depan kami hanya berukuran dua meter saja.

"Hai, Vero. Iya, nih. Ngerjain makalah. Makan sini, aku bawa makanan banyak," ajakku pada Veronica yang lebih muda dua tahun dariku. Namun tingginya melebihi diriku yang 166 cm ini.

Dia segera berdiri saat aku selesai memutar kunci kamar dan membukanya. Kemudian mengikutiku ke kamar dan duduk di tepi ranjang, sementara aku akan mengganti pakaian. "Buka aja. Pilih mau makan apa," ujarku sambil berbalik mengambil pakaian yang tergantung di belakang pintu.

"Dih, banyak banget jajannya, Kak. Aku mau bakso bakar."

"Ambil," kataku dengan nada santai tanpa berbalik. Baru beberapa hari ini aku dekat dengan Veronica setelah kami bercerita panjang lebar tentang asal sekolah dan daerah tinggal, jurusan saat ini ketik sedang memasak bersama di dapur. Dia juga orang yang mudah bergaul. Ini kali keempat dia main ke kamarku.

"Kakak pernah belajar sama Bu Sandra Dewi, nggak? Aduh, sumpah itu ibu-ibu moody-an banget. Bicara dikit salah, nggak ngerjain tugas salah satu, dia langsung keluar. Ya Allah, Kak. Dia kenapa, ya? Sensian banget deh jadi dosen," ujar Veronica panjang lebar dengan wajah cemberut saat aku sudah duduk di pinggir kasur berhadapan dengannya.

Aku mengambil bakso bakar dan memakannya. "Enggak pernah. Cuma dia emang tipe nggak mau buang-buang waktu, sih. Kan dia dosen pembimbing akademik di kelas Kakak nih, jadi kalau bicara dia soal KRS yang nggak bisa diambil aja. Yang lain nggak diterima."

Akhirnya kami terlibat percakapan seru setelah azan Magrib. Kami juga memakan mi ayam dan ayam goreng tadi sepiring berdua. Menikmati kebersamaan dengan sesama anak kost itu menyenangkan menurutku. Meski dulu aku sempat tak nyaman satu kost dengan teman berbeda jurusan karena beberapa sifatnya. Akhirnya aku pindah saja ke kost ini, juga dengan alasan lain sebab di kost sebelumnya sudah tak betah dengan cerewetnya bapak kost yang suka naik ke lantai atas. Kan kadang-kadang kami bercelana pendek atau tak memakai jilbab, sementara dia suka patroli mengecek wastafel dan tempat sampah untuk mengingatkan agar sering-sering dibersihkan.

[Selamat malam, Kak Wulan.]

Seketika aku mendengus geli membaca pesannya. Entah kenapa Radit suka sekali memanggil dengan sebutan "Kak Wulan" jika di dalam pesan. Sementara bertemu tadi dia tak pernah menyebutnya walau sekadar keceplosan.

[Malam. Tumben enggak sibuk.]

Aku menyindir dirinya yang sangat jarang mengirimiku pesan setelah dua Minggu saling kenal dan sering berkomunikasi lewat tulisan. Aku mencoba mengerti saja karena dia bekerja dan memiliki banyak kesibukan lain seperti berolahraga, mengikuti turnamen futsal, mengadakan acara besar, seperti seminar dua hari yang akan datang.

[Sebenarnya sibuk. Tapi aku mau mastiin kamu makan yang tadi.]

Aku mengangkat kepala lalu mendesah berat. Dasar! Tiba-tiba aku kesal sendiri dengan pesannya.

[Udah habis, kok.]

[Oke. Aku mau lanjut diskusi sama tim dulu. Besok sore mau dekorasi aula dan gladi resik buat acara. Sampai jumpa dua hari lagi.]

Aku memejam lalu mengembuskan napas. Setelah mengetikkan "Oke" aku kemudian menarik selimut hingga ke tengkuk, tidur menelungkup, menyandarkan HP di kepala kasur, lalu menonton acara Roy Kiyoshi.

💌💌💌

Aahh, aku ingkar janji. Enggak jadi update tadi malam, soalnya udah ngantuk duluan. Selamat membaca.😭😭😭

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang