[8] Kejutan

Mulai dari awal
                                    

"Hai...."

Sapaan ramah sekaligus mengejek itu membuyarkan lamunanku. Aku melihat motor matic biru berhenti di pinggir trotoar, tepat di sampingku. Ketika membuka kaca helm, wajah Tisa yang menyebalkan muncul di sana. Cepat-cepat aku mengambil langkah lebar, membiarkan tawa cekikikan mereka mengudara. Bukannya pergi, mereka malah mengikut langkahku.

"Oh, jadi lo broken home, ya? Wah, wah, nggak nyangka dari keluarga yang berantakan. Kasihan sih, tapi nggak patut dikasihani."

Tanganku terkepal. Aku bertanya-tanya, apa yang ada di kepalanya sehingga di muka umum pun dia tetap menghinaku. Ketika aku berbalik, dia langsung menyambung kalimatnya, "Apa? Nggak suka?"

Tisa bangkit dari motor, lalu berjalan mendekatiku. Kini wajah angkuhnya berhadapan tepat di depanku. "Gue bakal sebarin ini sama anak kelas. Lo itu nggak pantas punya teman."

"Maksud lo apa sih, Tisa?"

"Gue mau hidup lo menderita!" Dia mendorong bahuku dengan kasar hingga aku sedikit terhuyung ke belakang.

"Kenapa?" tanyaku semakin tak mengerti. "Gue nggak pernah ganggu hidup lo, Tisa. Selama ini juga lo hina-hina gue, gue nggak masalah. Kenapa lo nggak capek buat ngurusin hidup gue?"

Dan kini mukaku sudah memerah menahan malu karena dipandang oleh para pengguna jalan. Tapi senyum Tisa semakin melebar. "Sebelum semua orang ninggalin lo, gue nggak bakal berhenti! Nggak ada yang mau temenan sama lo, anak broken home yang ayahnya nikah lagi dengan pelakor. Hahaha...."

Air mata sudah menusuk-nusuk mataku. Aku tak berani untuk memalingkan muka, karena kutahu wajahku akan dilempari oleh berbagai macam tatapan di sekitar. Kenapa harus di sini? Kenapa Tisa benar-benar tak memilih tempat untuk melakukannya?

"Kenapa kalau dia anak broken home?"

Suara itu membuatku terkesiap. Ketika menoleh, sosok tinggi sudah berdiri menjulang di sampingku sambil menatap ke depan, ke arah Tisa. Cahaya matahari yang terik dari arah Barat menyilaukan mataku untuk melihat siapa di sana.

"Siapa lo? Nggak usah ikut campur. Lo temennya? Gue saranin, jauhin dia karena kesialan bakal datang ke elo!"

Kulihat lagi Tisa sedang menyilangkan tangan di depan dada. Sementara Mitha masih duduk tenang di jok belakang motor. "Kesialan? Nggak ada satu pun manusia yang membawa sial dalam hidup orang lain. Kesialan itu datang kepada orang seperti kamu yang suka merendahkan orang lain."

Aku mengernyit. Meletakkan telapak tangan di dahi untuk menghalangi cahaya dan kulihat wajahnya dari samping. Ketika dia menoleh, mataku melebar. Seketika linangan air mata tadi turun bersamaan rasa tak percaya pada sosok yang sedang kulihat. Mungkinkah? Aku menajamkan lagi penglihatan.

"Sebaiknya kamu pergi saja, ya. Lihat tuh, mereka ngelihatin kamu," katanya lagi menoleh pada Tisa.

"Awas ya lo, Wulan. Gue nggak bakal berhenti sampai di sini!" Suara penuh penekanan itu akhirnya menjauh, dan kulihat Tisa pergi dengan wajah kesal.

"Radit?" Aku mengerutkan dahi. Kakiku lemas, dadaku berdebar kencang, dan tanganku bergetar. Rasa tak percaya sekaligus senang datang tiba-tiba.

Kuturunkan tangan untuk memastikan wajahnya lagi. Saat semua terlihat jelas, aku kembali melotot sebab tak menyangka, bila sosok yang selama ini kulihat dalam gambar benar-benar berdiri di hadapanku. Apa aku berhalusinasi?

Radit tersenyum padaku. "Hai, kamu Wulan, 'kan? Aku sempat nggak mengenali kamu. Soalnya di foto kamu jauh dan kurang jelas juga." Dia menggaruk belakang kepala yang entah buat apa. Sementara aku tak menyahut, hanya memandanginya di bawah panasnya terik matahari.

"Tolong jangan dilihatin terus."

Cepat aku memalingkan wajah. Apakah aku sedang terkesima? Aku menelan ludah dengan susah payah, sambil membelakanginya, aku berpikir keras, apa yang harus kukatakan? Ini terlalu tiba-tiba. Aku masih dirundung dilema, bila seseorang yang ada di depanku adalah orang yang belum lama ini berkirim pesan denganku.

"Hm, Wulan?"

Aku berbalik, sambil tersenyum salah tingkah. Sungguh, aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Lidahku kelu, sementara jantungku tak mau berhenti berdebar. Garis wajah yang tegas, mata setajam elang, dan kulit kuning langsat yang dipenuhi keringat di sekitar dahinya. Rambut yang sedikit ikal dipotong pendek, hingga menampilkan dahi yang tak terlalu lebar.

"Boleh neduh dulu, nggak? Panas banget, nih," ucapnya sambil mengelap keringat di dahi dengan tangan. Aku hanya mengangguk, lalu mengikuti langkahnya ke arah halte tempatku tadi duduk. Berjalan di belakangnya, masih belum sepenuhnya sadar bila aku sedang tak bermimpi.

Tak ada yang bersuara, sampai akhirnya kami sama-sama duduk di halte dengan jarak satu ubin sebagai pembatas. Di sebelahku, hanya ada kakek tua yang menenteng kantong kecil berwarna hitam, sepertinya menunggu angkot yang akan datang.

Aku tetap diam. Duduk kaku sambil menatap ke depan. Apa aku sedang salah tingkah? Apa wajahku memerah? Bisa kurasakan tangan ini gemetaran di atas paha. Jantungku seperti musik disko yang tak berhenti mengguncang dada. Air mata yang tadi jatuh, dengan cepat mengering diserap mentari.

"Wulan?"

Panggilannya membuat jantungku hampir melompat keluar karena saking kagetnya. "Hah?" Aku menoleh, mendapati dia sedang mengerutkan dahi melihat wajahku yang kebingungan. Tersenyum tipis seperti mengejek ekspresiku saat ini. Lalu kulihat dia kembali mengelap keringat dengan tangan. "Ternyata Bukittinggi panas juga, ya," gumamnya.

Sontak aku mengeluarkan tisu. Sial. Saat tisu lolos dari dalam tas, aku baru sadar kalau itu adalah tisu besar yang kupotong dua untuk menghemat pemakaian. Belum sempat aku berpikir untuk menyembunyikan lagi, Radit sudah menariknya lebih dulu. "Makasih ya, kamu tahu aja."

Bibirku terbuka saat tisu itu menghilang dari tangan. Malu. Itu yang kurasakan saat ini. Mungkin Radit sedang mengomentari dalam hati betapa pelitnya aku, sampai-sampai tisu yang selembar saja aku potong dua.

"Ternyata beneran kamu ya, aku masih sempat mikir salah orang. Tapi tiap dipanggil kamu merespons."

Lagi suaranya terdengar tenang, lembut, mengalun-alun indah di telingaku, sama seperti rekaman dari potongan surat Ar-Rahman yang selalu kudengarkan setiap malam menjelang tidur. Dan ketika aku mendongak, dia tersenyum ramah di balik wajah lelahnya yang tampak kusam. Aku baru sadar, bila baju batik yang digunakannya, sama dengan foto yang aku lihat tadi. Apa itu artinya, dia mengambil gambar di Bukittinggi? Dia sungguh di sini?

💌💌💌

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang