Chapter 59

28 4 1
                                    

Tidak ada yang berubah dari kota Bandung—kota sejuta keindahan dan tentu saja metropolitan kedua setelah Jakarta menurutnya. Kota kembang ini dulu adalah kota yang menakutkan—ia takut di sini karena terlalu banyak kenangan yang Mamanya berikan di kota ini. semua cerita yang ia dengar tentu saja Bandung dan Aachen adalah pemeran utamanya.

Setelah semalam ia berkeliling seorang diri di tengah keramaian di temani dengan telepon dari kekasih hati—sudah cukup membuat Killa ingin hidup lebih lama lagi. tapi, ia tahu bahwa kesempatan itu hanya beberapa persen saja.

"Permisi, boleh saya minta satu keranjang bunga dan dua botol air mawar? Dan satu buket bunga lily putih," ucapnya kepada pedagang bunga yang tersedia di sekitar pemakaman hari ini.

Setelah membayar dan memastikan bahwa apa yang ia inginkan sudah berada dalam genggamannya. Killa beranjak pergi meninggalkan pelataran toko-toko yang berada di sekitar pemakaman dan memasuki area pemakaman dengan hati yang sudah ia kuatkan.

"Pohon beringin besar dan makam ketiga di samping kanan pohon beringin."

Killa mengingat-ingat yang Eyangnya jelaskan kepadanya akan keberadaan letak makam Mamanya. Dengan jantung yang berdebar kencang karena ini adalah kunjungan pertama dan pertemuan pertama mereka setelah dua puluh lima tahun ia dilahirkan ke dunia.

Ironis memang kalau dipikir—bagaimana bisa ia datang di saat ia akan segera menyusul Mamanya menuju surga? Tapi, ia tidak yakin bahwa ia akan masuk surga jika melihat kelakuannya yang sudah mengabaikan Mamanya selama ini.

Kakinya perlahan melambat, jantungnya yang berdetak kencang sedari tadi karena gugup, kini bertambah kencang ketika melihat punggung lebar seorang pria yang sangat ia kenali. Killa memegang dadanya yang terasa sakit dengan mengambil napas sebanyak-banyaknya untuk menenangkan jantungnya yang semakin nyeri dan napas yang terasa sesak di dada.

Astaga, mengapa harus hari ini?

Setelah menenangkan dirinya, Killa melangkahkan kakinya kembali untuk mendekati sosok pria paruh baya itu yang sedang mengusap nisan Mamanya—ah, dan jangan lupakan buket lily putih yang besar juga menghiasi makam Mamanya.

"Rania, sudah lama bukan?"

Killa sangat merindukan suara ini. ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?

"Ayah?" panggil Killa akhirnya dengan lirihan pelan.

Sosok pria paruh baya yang sedang duduk di samping makam itu menoleh ke belakang dan mendapati perempuan muda yang sangat mirip dengan mendiang Rania. Galih menahan napasnya ketika melihat langsung anaknya yang tumbuh dewasa dan sangat menawan berdiri di hadapannya.

Galih membenarkan letak kacamata hitamnya dan memasang wajah datar lalu beranjak meninggalkan makam Rania secepat mungkin—ia belum sanggup bertemu dengan anaknya saat ini, walaupun beribu pertanyaan sudah hinggap di kepalanya.

"Tunggu!" Killa menahan lengan Galih dan langsung melepaskannya ketika sadar akan perbuatannya.

Aku menyentuh Ayah?

Dengan memberanikan diri, Killa menatap Galih yang memasang ekspresi datar di balik kacamata hitamnya. "Bisa bicara? Aku hanya meminta dua puluh lima menit waktu Ayah untuk berbicara berdua setelah aku bicara dengan Mama. Apakah bisa?"

"Ah, kalau Ayah keberatan dengan dua puluh lima menit—aku hanya butuh waktu sepuluh menit untuk berbicara dengan Ayah—setidaknya, aku tidak ingin pergi tanpa pamit. Aku mohon Ayah bersedia," pinta Killa yang diangguki cepat oleh Galih yang langsung berlalu pergi meninggalkannya.

Selalu begitu...

Setelah punggung Galih sudah tidak terlihat oleh mata telanjangnya. Killa berbalik dan menghampiri makam Mamanya. Meletakkan buket bunga lily di sebelah buket bunga yang dibawa Ayahnya.

"Hai, Bunda? Apa kabar? Aneh rasanya, tapi aku ingin mengabulkannya."

*

"Pap—maksudku Ayah, apa kabar?" Killa memecah keheningan yang terjadi di antara ayah dan anak itu.

"Aneh rasanya. Kadang, aku bingung harus panggil Ayah atau Papa—mungkin, karena aku sudah terbiasa memanggil Papa Alden. Tapi, Ayah lebih cocok jika Mama ingin dipanggil Bunda, benar bukan?" tanya Killa kembali dan kembali tidak ada jawaban.

Kamu hanya punya waktu sepuluh menit! Jadi, pergunakan sepuluh menit itu dengan baik!

"Maaf, jika kehadiranku membuat Ayah kehilangan sosok Bunda yang merupakan perempuan yang sangat Ayah cintai. Tadinya, aku bertanya segila dan sebuta apa cinta bisa memberi efek untuk seseorang sampai seorang Ayah bisa mengabaikan anaknya."

"Tapi, pertanyaanku sudah terjawab. Segila dan sebuta itu cinta bisa memberi efek yang terkadang membuat kita bisa berbuat hal-hal gila di luar nalar. Aku juga mengerti mengapa Ayah lebih memilih Mama dibandingkan aku. Karena, anak masih bisa dicari dan diganti sedangkan istri seperti Mama—wanita yang sangat Ayah cintai susah untuk dicari dan Mama adalah perempuan pertama yang mungkin namanya masih bertahta di hati Ayah."

Killa menoleh ke kanan melihat lalu lintas kota Bandung yang padat siang itu. "Tapi, aku tidak ingin menjadi Mama dan aku juga tidak ingin pasanganku menjadi Ayah." Killa kembali menatap Ayahnya yang masih menatapnya dengan datar.

"Aku hanya ingin bilang satu hal dan aku ingin mengakhiri semua pelarianku selama ini. dan juga aku ingin pamit—setidaknya, ketika aku pergi, aku bisa pamit dan sudah mengakhiri satu persatu permasalahanku."

"Seminggu dari sekarang, aku akan menjalani operasi transplantasi—my heart's getting worse over time. Mungkin kalau hari ini tidak ada pertemuan seperti ini—aku akan pamit lewat surat ataupun email. Ya, setidaknya aku dapat melihat Ayah sebelum pergi."

Alarm yang Killa set berbunyi—menandakan waktunya telah habis. Tepat sepuluh menit. "Karena waktuku sudah habis. Aku mohon pamit dan kalau ada kehidupan selanjutnya. Aku harap Ayah dan Bunda kembali bersama—tanpaku."

Ananta Killaputri [END]Where stories live. Discover now