Epilog [END]

134 38 83
                                    

Yura berjalan keluar kamar milik rumah Diva setelah bersiap-siap untuk keberangkatannya. Ya, hari ini adalah hari terakhir Yura menginjakkan kakinya di kota ini, kota penuh cerita dalam perjalanan hidupnya.

Yura menarik napas panjang, dan menghembuskannya perlahan-lahan lantas menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Dia duduk di sebelah Sira yang tengah berbincang dengan Diva.

“Udah siap? Nggak ada yang ketinggalan kan barang kamu?” tanya Sira lembut.

“Nggak ada kok, Bu. Tadi udah aku cek lagi,” jawabnya.

Diva yang sebelumnya duduk di depan Sira dengan sebuah meja sebagai pembatas, kini pindah ke samping Yura.

Diva memasang wajah sedih dengan bibir yang melengkung ke bawah.

Sedetik.

Dua detik.

Kedua sejoli itu masih saling melempar tatapan. Hingga di detik selanjutnya, suara melengking milik Diva bergema dengan kencang.

“AAA YURAA! TAKUT KANGEN!” serunya lirih seraya memeluk Yura erat.

Yura mengerjapkan matanya, sedikit terkejut akan serangan tiba-tiba itu.

“Tinggal di sini aja sama gue, ya? Yaaa?!” rengek Diva lagi.

Yura membalas pelukan itu sambil terkikik geli, tak menyangka bahwa Diva yang notabenenya orang dewasa menangis macam anak kecil seperti ini.

“Cup, cup, cup, Diva jelek udahan ya nangisnya ....” Yura berujar sekaligus memutar atensinya ke atas—menahan tangis.

“Sialan lo!” sinis Diva mendengar kalimat itu. “Udah, ah, jangan bikin gue nangis.” Diva melerai pelukannya, seraya menghapus sudut matanya yang basah. “Nanti make-up gue luntur lagi,” sambung gadis itu.

“Halah! Make-up cuman modal lipstick sama bedak bayi doang juga lo,” cicit Yura ketus kepada Diva yang tengah mengelap ingusnya dengan tisu.

Sira tertawa melihat hal itu, lalu wanita paruh baya itu bangkit dari duduknya. “Udah dateng mobilnya, Ra,” peringat Sira.

Yura mengangguk, ikut berdiri. Dia berjalan keluar rumah, membuntuti Sira yang jalan terlebih dulu. Samar-samar Yura mendengar suara Sira menyebut nama Alam, dan benar saja, lelaki itu datang bersama teman-temannya.

“Woi, Ra,” sapa Alam tersenyum lebar.

“Lo sejak kapan merangkap jadi ojek online?” tanya Yura.

Nggak papa dah dibilang ojol, asal bisa nganterin lo ke bandara mah, seneng-seneng aja gue,” balas lelaki itu.

“Yuraaa!” sapa Adit dan juga Farhan berbarengan. Keduanya saling adu pandang, lantas bergidik ngeri.

“Kompak banget sih kalian, kayak jodoh,” celetuk Yura sambil terkekeh geli.

“Maaf, Ra, gue masih suka cewek. Ogah banget gue jodoh sama bambu panjat pinang kayak dia,” hina Adit sadis.

Farhan yang tak mau kalah, ikut membalas, “Dih siapa juga yang mau jodoh sama pentol korek kayak lo.”

“Hahaha ... udah-udah, berantemnya cancel dulu,” lerai Yura.

Yura mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencari-cari satu orang yang cukup berarti dalam hidupnya.

“Cari siapa?”

Mata Yura mengerjap, sedikit terkejut dengan suara yang tiba-tiba datang dari arah belakang itu. Namun, setelahnya dia tersenyum tipis ketika mengenali sang pemilik suara. Dia berbalik untuk menatap kekasihnya. Ya, siapa lagi kalau bukan Nan?

Kupu-kupu & Pelepasan Kesedihan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang