Bagian 24 | KKPK🦋

129 68 107
                                    

Burung-burung yang sedang sibuk mengumbar suara di ranting-ranting pepohonan sekolah memaksa seorang remaja laki-laki memamerkan kesombongan akan parasnya yang begitu diidam-idamkan.

“Ck. Rung, gue tau kalo gue ganteng. Tapi bisa nggak, nggak usah caper dulu gitu?” ucapnya pada hewan bersayap itu dengan pandangan ke atas, dan tangan yang berkacak pinggang.

Alam menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dasar burung budek,” hinanya mendapati suara burung tersebut yang masih asyik berkicau.

Dia kembali berjalan menuju koridor sekolah, matanya yang sedang berjelajah mencari mangsa baru untuk menambah list deretan mantan, seketika berhenti pada satu titik yang dikerumuni khalayak ramai. Mading.

“Woi, Peto!” panggilnya pada sang ketua eskul basket—Veto.

“Kenapa, Bang?” tanya Veto ketika berhasil sampai di hadapan lelaki yang digandrungi cewek-cewek itu.

“Itu ada apa rame-rame?” tanya Alam tanpa menoleh sedikit pun, pandangannya lurus menatap hiruk-pikuk di mading sana.

“Gue belum liat, sih. Tadi numpang lewat doang soalnya. Tapi, gue denger-denger ada anak kelas mana gitu yang udah nggak perawan,” jelas Veto sambil berjalan berdampingan.

“Hah?! Nggak perawan?!” seru Alam kaget. “Siapa yang nyebarin berita kayak gitu di Mading sekolah gilak!”

Veto mengangkat kedua bahunya, tanda tak tahu. “Parah sih tapi,” komentarnya.

Alam manggut-manggut setuju. “Ya—”

“VETOOO!”

Keduanya reflek menoleh, menatap satu objek yang tengah menatap Veto dengan wajah masam. Seingat Alam, itu adalah Anza. Gadis cantik yang mendatangi kelasnya beberapa hari yang lalu, dan kalau tidak salah gadis itu adalah adik dari Andra yang rumornya tersangkut kasus narkoba.

“Cewek lo?” tanya Alam menyenggol lengan Veto.

Veto menggeleng. “Sepupu gue,” jawabnya tanpa menoleh.

Alam melipat kedua tangannya di depan dada, menatap lurus Anza yang tengah berjalan ke arahnya—ke Veto lebih tepatnya.

“Cantik.”

Pujian Alam membuat Veto langsung menoleh. “Udah ada pawangnya, Bang.”

Alam mengangkat bahunya, dengan bibir yang menekuk ke bawah.

“Yaudah, gue duluan, ya, To.”

Setelah mendapati anggukan dari Veto, Alam kembali merajut langkahnya menuju kelas. Dia berjalan santai seraya menyumpal kedua telinganya dengan headset yang sengaja dia bawa. Pandangannya lurus, sesekali bersenandung mengikuti alunan musik, lelaki itu benar-benar tidak peduli pada sekitar yang sedang heboh. Apalagi, setelah dia tahu siswa-siswi di sini menghebohkan hal yang sungguh tidak berfaedah.

Alam menduduki bangkunya, melirik sejenak ke arah bangku Yura. Kosong. Pemandangan itulah yang selalu dia dapati selama seminggu ini. Alam menghela napas pelan, lantas kembali beralih pada ponsel di tangannya.

Dahinya mengernyit heran, melihat nama ‘Tukang Becak’ tertera di layar ponselnya.

“Ngapain si Farhan nelpon gue pagi-pagi gini?” tanyanya pelan.

Alam menggeser ikon telepon, dan, ya, teriakan Farhan langsung menggema kencang di gendang telinganya.

“ANJ! Salam dulu, kek! Untung nggak ambeien kuping gue!” seru Alam sambil mengusap-usap telinganya yang berdengung.

“KE GUDANG SEKARANG, BANG! GC! NAN MAU LAHIRAN!”

“H---”

Sambungan terputus.

Kupu-kupu & Pelepasan Kesedihan [END]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora