Bagian 17 | KKPK🦋

176 154 54
                                    

Yura mendudukkan tubuhnya dengan ogah-ogahan di kursi kantin, memandang dua buku tulis di atas meja lalu berdecak. "Lam, tulisin ...," rengeknya seperti anak kecil yang enggan disuapi makan.

Alam yang tengah menyantap soto ayam paling nikmat seantero sekolah itu menggeleng cepat. "Nggak, nggak. Ini waktunya gue me time," tolak Alam kembali meniup-niup kuah soto yang masih panas.

Yura menaruh dagunya di atas lipatan tangan, beralih menatap Nan yang selalu saja asyik dengan game di benda pipih itu. "Nan," panggil Yura dengan lembut, tidak seperti biasanya yang sering pake urat.

Nan mendongak, tapi hanya wajahnya saja yang menyapa Yura, mata laki-laki tersebut tetap tertuju pada ponsel sialan itu.

"Bantuin gue ...," pinta Yura terdengar seperti keinginan terakhir hidupnya.

"Ngapain?" tanya Nan.

Yura menegakkan tubuh, tersenyum senang dengan tangan yang sibuk mencari-cari catatan yang akan disalin ke dalam bukunya. "Ini." Yura menyodorkan dua buku tersebut. "Tulisin," sambungnya lagi.

Nan mengernyit. "Kenapa gue?" tanyanya membuat binar mata Yura redup.

"Dasar Kakak kelas males, nggak patut dicontoh," celetuk Farhan dihadiahi wajah cemberut Yura.

"Gue nggak pengin mencontohkan apa-apa juga. Jadi silakan panuti yang lain," jawab Yura tak acuh. Dia kembali menatap Nan. "Bantuin, ya? Ya? Ya?" pinta Yura.

Nan menaruh ponselnya sejenak untuk melahap batagor yang sisa setengah piring itu, lantas kembali mengabdi kepada benda pipih tersebut untuk kesekian kali.

"Dit, bantuin gue ...." Yura beralih ke Adit yang juga sibuk pada ponsel.

Laki-laki itu mendongak, meletakkan benda pipih itu di meja. "Sini," jawabnya disertai anggukan kepala.

Yura tersenyum lebar, langsung menarik kedua buku di depan Nan untuk dialihkan kepada laki-laki baik bernama Adit.

"Lo lebih dulu minta bantuan gue," ujar Nan menahan kedua buku dengan sikunya.

Yura berdecak. "Lo lama. Kalo ada yang cepet kenapa harus yang lola," sinisnya.

"Tulisan Adit jelek. Nggak jelas. Ngeblur. Nggak rata kayak jalanan yang belum diperbaiki. Pokoknya nggak bagus deh," hina Nan dengan enteng.

"Dit, tabok, Dit. Mulutnya perlu disadarin," ungkap Farhan mengompori.

"Gue kalo jadi lo Dit, beuh! Udah gue lempar nih anak ke Antarkita," sahut Alam ikut-ikutan.

Yura tanpa ragu memukul kepala Alam dengan botol mineral miliknya. "Antarkita palalo benjol! Antartika dodol!" koreksi Yura.

Alam hanya nyengir kuda sembari mengusap-usap kepalanya yang cukup berdenyut. Yura ini selain hobi menyakiti diri sendiri, ternyata juga tanpa sungkan menyakiti orang lain.

"Ya udah, cepet tulisin, Nan. Bentar lagi masuk," titah Yura diangguki oleh Nan.

"Bagus, Budak. Majikan bangga padamu," ungkap Yura lagi sambil menepuk-nepuk pucuk kepala Nan yang duduk di sampingnya.

Nan hanya diam, memilih fokus menyalin tulisan ceker ayam dalam buku entah milik siapa. "Ini bacaannya apaan, Rin?" tanyanya mendapati kata yang tak jelas.

"Mmm," gumam Yura berusaha mengerti. "Nggak tau, Nan. Coba ikutin kata hati lo," sambung Yura disambut kekehan geli dari mulut Alam.

Yura menatap Alam aneh. "Gila. Butuh psikiater beneran nih anak." Yura beralih pada Farhan. "Han, abang lo psikisnya terganggu tuh. Tekanan batin kayaknya," ucap Yura menunjuk Alam dengan bibir atas yang terangkat sebelah.

Kupu-kupu & Pelepasan Kesedihan [END]Where stories live. Discover now