Bagian 6 | KKPK🦋

207 186 158
                                    

Laki-laki tampan itu tersenyum riang saat ada gadis kecil yang menghampirinya. Nan menempatkan gadis cantik itu di lekukan tangan seraya menciumi pipi putih itu dengan gemas.

"Tumben pulang malam? Dari tadi adik-adik nyariin kamu, lho," tanya Dara yang kerap dipanggil Bunda oleh Nan dan anak-anak lainnya.

"Tadi nganterin temen dulu, Bun. Maaf nggak ngabarin," jawab Nan.

"Nggak papa, Nan." Dara tersenyum hangat.

"Rain, kamu sama Bunda dulu, ya? Abang mau mandi," ucap Nan pada gadis kecil bernama Rain itu.

Pipi Rain menggembung, dengan bibir mungil yang maju, merasa kecewa. "Tapi Rain belum main sama Abang," ungkap Rain.

"Ini udah malem, Rain. Kamu harus tidur, supaya besok bisa main sepuasnya sama Abang. Setuju?"

Rain mengangguk cepat, segera meminta turun dari gendongan Nan. "Bunda, Rain mau tidur sekarang," ucap gadis menggemaskan itu.

Dara tersenyum dan menuntun Rain untuk masuk ke kamar. Sedangkan Nan, alih-alih mandi dia malah mendudukkan bokongnya di teras. Menatap luasnya langit dengan bintang dan bulan sebagai hiasannya.

Kepalanya masih sibuk berpikir bagaimana caranya agar dia bisa membantu Dara di panti asuhan ini. Bagaimana agar dia nampak sedikit berguna.

Ya, Nan memang tinggal di panti asuhan. Kata Dara, dia sudah berada di sini sejak umurnya masih sekitaran sepuluh bulan. Entah apa kesalahannya hingga orangtuanya enggan untuk mengurusnya.

Tetapi, dia bersyukur dipertemukan dengan wanita hebat seperti Dara. Dara menyayangi anak-anak asuhnya seperti anak sendiri. Tak pernah sedikit pun Nan merasakan kekurangan kasih sayang dari sosok Dara.

Ditambah lagi dengan suaminya yang juga mencerminkan sosok ayah yang bijaksana. Panti asuhan ini sebenarnya tak bisa disebut sebuah panti, karena mereka semua seperti keluarga yang sesungguhnya.

"Nan, kamu nggak masuk?" Suara Dara membuat lamunannya buyar.

"Nanti, Bun."

Dara duduk di sebelah Nan, merangkul laki-laki yang sudah dia anggap putranya sendiri. "Kamu lagi mikirin apa?" tanya Dara dengan senyum hangatnya—ciri khas seorang ibu.

"Nggak mikirin apa-apa kok, Bun." Nan berbohong.

"Bunda ngurus kamu dari kecil sampai sebesar sekarang. Kamu nggak bisa bohong sama Bunda, lho."

"Nan nggak bohong, cum—"

"Cuma nggak mau bilang aja?" potong Dara.

Nan diam.

"Kamu nggak pernah jadi beban buat Bunda. Adik-adik kamu yang lain pun begitu. Coba, udah berapa kali Bunda bilang kalau kalian semua itu seperti anak kandung Bunda sendiri?"

Lagi-lagi Nan hanya diam, dia lupa pada fakta bahwa Dara tak bisa dibohongi sebab kemampuannya yang bisa membaca perilaku. Sarjana Psikologi yang disandang oleh Dara adalah alasan utamanya. Perihal bagaimana Dara bisa tahu penyebabnya, Nan tidak tahu menahu. Entah dari mana Dara mengetahui hal itu.

"Udah, kamu nggak usah mikirin macem-macem. Sekarang mandi, nanti Bunda bawain makan malam ke kamar kamu."

Nan mengangguk dan membalas senyuman hangat Dara—senyuman yang selalu mampu menenangkan hatinya.

°°°

"Assalamu'alaikum, Bunda!" salam seseorang dengan lantang.

Nan yang sedang menyantap sarapannya memasang wajah malas. Itu suara Farhan—teman kelasnya yang menawarkan diri sebagai penumpang abadi motor Nan.

Kupu-kupu & Pelepasan Kesedihan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang