Bagian 26 | KKPK🦋

106 65 85
                                    

Yura menatap sekitar, berusaha memahami sendiri apa yang sebenarnya terjadi, dan apa alasan Nan hingga memakai ilmu bela dirinya untuk saling adu jotos seperti tadi. Yura menunduk ketika netranya mendapati kertas yang disobek kecil-kecil, nampak begitu naas.

Pandangannya kini beralih pada sebuah mading, lantas memperhatikan benda tersebut lekat-lekat. Matanya memicing, memastikan apa yang tengah dilihatnya itu benar nyata atau tidak. Tangannya tergerak meraba beberapa kata yang tertulis samar di papan mading, seperti sudah berusaha dihapus, namun tulisan itu masih mampu dibaca olehnya.

YURARIN UDAH BEKAS, GUYS!

Tubuh Yura menegang, dengan sorot mata yang tak menyangka. Kedua kakinya mendadak lemas, tak lagi mampu menahan berat badannya sendiri.
Dia mundur beberapa langkah, berpegangan pada tiang terdekat seraya perlahan-lahan duduk di sebuah teras panjang yang sengaja disediakan pihak sekolah. Apa ... apa yang sebenarnya terjadi? Apa Nan melanggar peraturan sekolah—berantem—karena ini? Karena dirinya?

Pertahanan yang sudah dia bangun dengan susah payah, kembali runtuh seketika. Matanya kembali berkaca-kaca, kepalanya menggeleng pelan tak percaya. Orang itu ... orang yang sangat amat dipercayai olehnya ... apa benar dia yang menyebarkan?

“Kenapa? Kenapa lo lakuin ini ke gue? Apa salah gue?” monolognya dengan cucuran air mata yang tak lagi bisa dibendung.

°°°

Diva berjalan mondar-mandir dengan wajah yang jelas terpancar khawatir. Waktu sudah menjelang petang, namun sosok Yura masih juga tak nampak dalam penglihatannya.

Mata Diva berbinar, ketika melihat sosok Sira yang muncul di hadapan. Sorot mata yang teduh milik Sira selalu mampu menyihir siapa pun agar memberikan seulas senyuman kecil pada wanita paruh baya itu.

Assalamu'alaikum, Nak Diva,” sapa Sira ramah.

Diva tersenyum. “Wa'alaikumussalam, Bu,” jawabnya, pandangan Diva beralih sejenak ke arah belakang tubuh Sira, lantas kembali menatap sang ibu dari sahabatnya. “Mmm ... Yura nggak pulang bareng Ibu?” tanyanya.

Alis Sira bertaut, keningnya mengerut bingung. “Yura?” ulang Sira yang dibalas anggukan oleh Diva. “Tadi dia bilang mau pulang duluan, kok,” jawab Sira.

Diva menggigit ibu jarinya cemas. “Tapi Yura belum pulang dari tadi, Bu. Nggak biasanya Yura pergi tanpa bilang Diva, apalagi ini hampir malem.”

“Ibu nggak tanya dia mau ke mana?” tanya Diva lagi.

Sira yang tadinya tenang, seketika ikut khawatir kala mendengar penuturan dari Diva. “Ibu nggak sempat nanya karena lagi sibuk urus kepindahannya, Nak.”

Diva mengulum bibirnya ke dalam, lantas membuang napas panjang. Dia menyentuh kedua bahu Sira, lalu berucap, “Yaudah, Ibu masuk ke rumah aja dulu, ya. Istirahat. Biar nanti Diva cari Yura,” tukas Diva.

Sira nampak menimang-nimang sebentar. “Ibu ikut cari Yura aja, ya? Takut dia kenapa-kenapa,” pintanya khawatir.

Diva menggeleng. “Jangan, Bu. Ibu udah capek ngurus ini-itu dari pagi, Diva nggak mau Ibu sakit karena kecapekan.” Diva menjeda ucapannya sejenak.

“Biar Diva aja yang cari, ya? Nanti, kalo Yura udah pulang, Ibu tolong telpon Diva, ya?” papar Diva memberi penjelasan.

Sira mengangguk dengan wajah pasrah, memilih untuk menurut dibanding harus merepotkan Diva lebih banyak lagi.

“Kamu hati-hati ya, Nak. Ibu bantu doa dari sini,” ucap Sira diangguki oleh Diva.

Kupu-kupu & Pelepasan Kesedihan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang