Bagian 19 | KKPK🦋

133 116 28
                                    

Yura memandang seekor kucing yang sedang menjilati kakinya sendiri tak jauh dari tempatnya duduk. Dalam kepala yang berisik itu, tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan di tengah-tengah keheningan obrolannya dengan laki-laki di samping Yura.

Apa ... isi kepala kucing seramai manusia juga? tanya Yura dalam hati.

Dan, apa ... hidup kucing serumit manusia juga? batinnya lagi.

Yura mengedarkan pandangan ke sekitar, lantas menghela napas lelah. Pertanyaan-pertanyaan aneh yang selalu muncul dalam benaknya, selalu saja berakhir tanpa jawaban. Seperti dirinya yang selalu saja berakhir tanpa mengerti apa-apa. Kepada siapa dia bisa melontarkan apa yang pikirannya tanyakan?

Dia menoleh ke samping, menatap laki-laki tengil yang siapa lagi kalau bukan Nan Arrayan? Yang datang bak jailangkung ke rumahnya, lantas menawarkan jalan-jalan tanpa mendengarkan sepatah kata pun perihal penolakan yang Yura lontarkan. Persetujuan Sira pun menjadi senjata ampuh yang sengaja Nan manfaatkan.

“Nan,” panggil Yura, memutus diam yang tumben sekali menyelimuti keduanya.

“Hm?” Nan bergumam sebagai jawaban, menanti kalimat selanjutnya dari mulut Yura.

Yura nampak menimang-nimang sejenak, merasa ragu dengan apa yang ingin dia ucapkan.

“Nggak jadi deh.”

Final. Yura memutuskan untuk tidak membagi apa yang benaknya katakan. Membiarkan ribuan pertanyaan itu melayang-layang di kepalanya bagai hantu yang ditolak semesta. Barangkali, memang tak semua tanya ada jawabnya. Barangkali, memang tak semua pertanyaan perlu ditanyakan.

“Ada apa?” tanya Nan penasaran.

“Nggak ada apa-apa. Gue sehat, lo sehat, baik-baik aja kan berarti.” Yura menjawab dengan senyuman lebarnya.

“Lo nggak mau tau kenapa gue ajak ke sini?” Nan kembali menatap hamparan pantai yang terbentang luas.

“Nggak,” jawab Yura singkat.

Mendapati jawaban itu, Nan tertawa kecil. Menyeruput air kelapa muda yang sengaja tak dilepas dari tempurung oleh penjualnya, lantas menoleh ke arah Yura.

“Lo harus tau, Rin. Kalo jawaban itu, malah bikin gue nambah semangat buat ngasih tau. Karena biasanya, orang-orang yang nggak mau tau itu termasuk ke dalem golongan penakut.”

Alis Yura bertubrukan, tak suka. “Jangan sotoy lo. Gue bukannya takut, cuma males tau,” sahut Yura tak setuju.

“Takut denger jawabannya, takut ikut campur masalah orang lain, takut masuk ke hidup orang lain, takut dengan segala kemungkinan yang otomatis terlintas di dalem kepala lo.” Nan menjeda ucapannya sejenak. “Jujur, deh. Lo takut, kan?” tanya Nan diiringi deburan ombak yang menarik paksa pasir-pasir.

Yura menggeleng. “Nggak sama sekali,” bantahnya. “Kenapa sih hal-hal sepele kayak gini aja segala lo tafsirin sebegitu ribetnya? Ini cuma perihal kata nggak lho, Nan. Ya Allah,” keluh Yura menjadikan Nan sebagai perantara dari kekesalannya dengan diri sendiri.

Nan terkekeh geli, masih asyik memandang pantai. “Lo nggak seharusnya bilang gitu, Rin. Apalagi di saat isi kepala lo suka mempertanyakan hal-hal yang mungkin nggak bisa orang lain pahamin kenapa lo mempertanyakan hal tersebut.”

Kupu-kupu & Pelepasan Kesedihan [END]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon