Bagian 28 | KKPK🦋

96 50 48
                                    

Nan berjalan pelan menuju gadisnya setelah berhasil meyakinkan Diva untuk sebentar memberikan ruang untuk dia dan Yura. Gadis itu masih sibuk meringkuk di pojok sana, belum menyadari kedatangan Nan yang kini telah berdiri tepat di hadapan Yura.

Nan menatap tubuh yang tengah bergetar itu, kelihatan sekali bahwa Yura masih asyik bergelut dengan tangisnya. Nan memejamkan sejenak kedua matanya, berusaha memberi kekuatan pada hatinya yang sedang didesak sesak. Melihat keadaan Yura yang seperti ini, benar-benar cukup untuk memporak-porandakan perasaannya.

Nan berdehem, memberi pertanda bahwa Yura tidak sendirian. Tidak akan pernah.

“Rin,” panggil Nan dengan suara yang sedikit serak. Khas laki-laki.

Hening. Hanya semilir angin malam yang menjadi bunyi. Nan masih memfokuskan atensinya pada Yura yang masih diam tak berkutik, tangis gadis itu terhenti, menyisakan isakan yang menyayat hati.

“Pergi, Nan,” titah Yura.

Nan mengubah posisi menjadi duduk lesehan dengan satu kaki yang diselonjorkan, dan kaki lainnya dia tekuk untuk memapah sebelah tangannya. Setelahnya, dia menyandarkan punggungnya pada tembok pembatas. Ya, posisi Nan dan Yura memang dekat sekali dengan kematian.

“Hidup emang brengsek, Rin,” ucap Nan.

Rambut ikalnya terlihat diterpa angin malam, memberi sedikit ruang pada rembulan untuk menerangi wajah tampan itu—rahang yang tegas, kedua alis tebal namun terbentuk rapi, hidung mancung dengan pahatan bibir yang menggoda, serta kedua mata elangnya yang memiliki bulu mata yang lentik. Benar-benar paket sempurna untuk wajah seorang laki-laki.

“Brengsek karena udah bikin lo kayak gini, brengsek karena udah buat lo nangis. Tapi, gue nggak kalah brengseknya sama hidup.” Nan tertawa sumbang.

“Bisa-bisanya gue nggak tau keadaan cewek gue sendiri. Bahkan, gue masih bisa ketawa-ketawa di saat keadaan lo lagi hancur kemarin-kemarin.” Nada suara itu terdengar kecewa dengan intonasi yang semakin pelan.

“Maaf, Rin. Maaf kalo ternyata gue belum bisa jadi orang yang bener-bener ngerti lo, mahamin lo, atau ada di saat lo butuh satu orang aja buat bikin lo percaya kalo semuanya bakal baik-baik aja. Gue tau, sekarang di mata lo, semua orang itu sama aja, kan? Buruk.”

Nan menoleh, ketika telinganya kembali mendengar suara tangis yang datang dari mulut Yura. Dia mengikis jarak, lantas berucap, “Izin peluk, ya? Jangan nangis sendirian semasih ada gue di sini.”

Tidak ada jawaban, tidak ada anggukan, namun tidak ada juga penolakan. Nan memejamkan matanya, menaruh dagunya di puncak kepala Yura, memeluk gadis malang itu dengan penuh sayang, tangannya mengelus rambut panjang Yura, memberi pernyataan bahwa Yura tidak sendirian.

“Ayah jahat, Nan ....” Yura berucap lirih, seraya mencengkram kuat baju milik Nan. “Karena dia hidup gue jadi berantakan,” lanjut Yura masih setia diiringi tangis kecewanya.

Nan mengulum bibirnya ke dalam, menahan tusukan jarum yang menghujam tepat di ulu hatinya. Ngilu. Nada suara Yura benar-benar putus asa, sangat kecewa.

“T--tapi Diva ....” Yura mengurai pelukan Nan, mendongak untuk menatap wajah tampan milik sang kekasih.

“Ssstt,” potong Nan. Dia menunduk, memandang sekaligus menangkup wajah cantik itu.

“Sekarang, jangan dipikirin dulu, ya? Lo udah terlalu capek sama semuanya, kan?” tanya Nan.

Yura mengangguk kecil.

“Coba sekarang bilang sama gue, lo lagi mau apa? Es krim? Bubur ayam? Atau lo mau bakso?”

Yura menunduk, membuat beberapa helai rambutnya menghalau wajah lelahnya. Kedua tangannya nampak memilin ujung bajunya, seperti ragu untuk mengatakan sesuatu.

Kupu-kupu & Pelepasan Kesedihan [END]Where stories live. Discover now