Bagian 15 | KKPK🦋

175 155 71
                                    

“G-gue lagi nggak enak badan, Lam.”

Yura kembali memasukkan sesendok bubur ayam ke dalam mulutnya, menatap lurus sang ibu yang tengah menaruh pakaian bersih ke dalam lemari. Dia mengangguk, ketika mendengar ucapan Alam yang disetujui. “Iya, gue emang belum bilang Bu May,” sahut Yura.

“Duh ... Ra, coba aja kalo tadi pagi lo telpon gue, bakal gue bilangin ke ketua kelas,” ungkap Alam terdengar kecewa di sebrang sana.

Yura terkikik geli. “Kenapa jadi elo yang ribet dah? Kan yang alfa gue.” Kepalanya geleng-geleng tak habis pikir.

“Ck, biar nama lo terus ada di bawah gue, Ra ..., kan jadi nanti tinggal tambahin nama anak-anak kita aja.”

Yura tebak, alis laki-laki buaya darat itu pasti bergerak naik turun. Kebiasaan Alam saat menggoda wanita.

“Kalo deket—”

“E-eh, bukan muhrim, Ra! Nanti aja kalo udah sah, yayaya?”

Yura memutar bola matanya malas, Alam ini makin lama makin minta ditampol bolak-balik. “Coba ngomong gitu di depan gue, Lam. Mau tau gue,” sahutnya.

Alam terkikik geli di sebrang sana. “Udah pernah, kan? Tapi ... malah jadi sadboy gue. Lo suntik kebal di mana sih? Kok bisa hati lo kuatnya sampe tak tertandingi gitu? Kayak pipa rucika,” papar Alam panjang lebar.

“Lo bilang gitu karena nggak bisa liat faktanya aja, Lam,” gumam Yura pelan.

“Hah? Apa, Ra?”

“Apanya yang apa?” Yura balik bertanya.

“Lo ngomong apa tadi? Kok kayak kumur-kumur? Apa jangan-jangan ... lo ... pindah profesi jadi dukun, ya!? Wah! Parah banget lo, Ra. Sumpah!” tuding Alam ngawur.

“Iya,” jawab Yura datar, meladeni tuduhan Alam yang benar-benar tidak masuk akal. “Apa lo? Ngajak berantem? Mentang-mentang cari duit, beliin anak sembarangan!” gertaknya dengan nada persis seperti iklan di televisi.

Maaa minta kikooo,” balas Alam.

Yura tertawa geli, dengan kepala yang menggeleng kecil serta tangan kanan yang menutup mulutnya. Alam ini hebat sekali, mampu membuat dirinya melantunkan tawa hanya karena guyonan yang receh. Entah sihir apa yang dia pakai, entah dukun mana yang dia sewa. Yura tak tahu.

Eh, tapi sebentar, ini Alam yang hebat atau memang humor Yuranya saja yang receh?

Gelak tawa Yura mereda, kala pendengarannya menangkap suara dalam sambungan telepon yang tak lagi asing di telinga. Itu ... suara ... Nan. Ah, dia jadi malu sendiri kalau ingat semalam.

Bagaimana bisa dirinya semudah itu menceritakan kisah pahit dalam balutan hidupnya ke orang yang masih terbilang asing? Alam saja ... tak sedikit pun dia izinkan masuk, tapi mengapa dengan mudah Yura membukakan pintu untuk seorang Nan?

Raa! Yuraaa!”

Yura mengerjap, membuyarkan lamunannya. “E-eh, iya, Lam? Ada apa?” tanyanya.

“Ada apa, ada apa. Abis dari mana lo? Tega banget ngebiarin gue ngoceh sendiri kayak—”

“Apa, hah? Kayak apa? Apalagi yang mau lo sangkut-pautin?” potong Yura cepat.

Alam terdengar gelagapan, membuat tawa Yura sukses terdengar. Mata Yura menatap Sira yang sedari tadi tak bisa diam, terus saja mengerjakan ini itu. Ah, sayang sekali dirinya tak bisa membantu dengan kondisi tubuhnya yang tidak baik sekarang.

Kupu-kupu & Pelepasan Kesedihan [END]Where stories live. Discover now