// safe place?

Mulai dari awal
                                    

Wajahku merah padam tentunya sambil masih menarik baju Khalid kasar. "Lo tuh ngapain sih kesini?!" Tanyaku kesal masih menarik kasar baju Khalid.

Lelaki itu menahan lenganku, memberhentikan langkah, "Robek baju gue ntar astaga,"

Aku melepaskan kasar lalu menatap Khalid penuh kesal. "Lo tuh jangan gegabah, Khal! Gue gak suka lo tiba-tiba ke kampus gue." Tegasku untuk kesekian kali. Sebelumnya memang pernah terjadi tapi untungnya saat itu aku tidak bersama Keera, tapi hari ini Keera dan Alan mengetahui soal ini.

"Emang kenapa, sih? Gue baik juga niatnya mau nemenin lo, sekalian biar ongkos lo gratis,"

Aku mendelik, "Makasih buat tindakan baik lo, tapi gue gak perlu banget kok... gue bisa sendiri."

"Gue sekarang ngerti kenapa lo jadi mahasiswi kupu-kupu,"

"Emang kenapa? Gak ngerugiin lo juga."

Ya, sebelumnya aku memang mengakui aku dan Khalid kian mendekat, tapi untuk setiap tindakan Khalid yang gegabah aku jadi menyesal mengakuinya. Maksud dari kedekatanku adalah bukan seperti ini, tapi lebih banyak berbincang. Tindakan Khalid yang seperti ini masih membuatku risih. "Udah mau sebulan lebih deket lo masih aja ngasih space, padahal gue udah berharap sama lo,"

"Ck, jangan deh kalo berharap."

Khalid menghela, entahlah maksud helaan itu aku tidak mau tau. Tapi aku juga sadar bahwa perkataanku cukup kasar kepada Khalid. "Sori deh, yaudah gue cabut aja, lo masih nugas kan? Gue pamit ya,"

Kali ini aku yang menghela karna merasa tidak enak. "Nggak, udah biarin aja hari ini, besok jangan lagi,"

Khalid mengangguk kembali sumringah. "Oke! Yaudah mau ke kafe gak? Apa kemana gitu biar lo bisa ngerjain tugas sambil ngobrol sama gue,"

☄️☄️☄️

TOK!

TOK!

"Gue tau lo ada di dalem... buka gak?"

Ini juga adalah salah satu hal yang masih membuatku risih. Sudah sekitar sepuluh menit berlalu tapi Khalid tetap dalam pilihannya, yaitu membawa makanan dan makan bersamaku. Entah apa yang ia pikirkan. Jangan heran juga kenapa Khalid tau apartemenku, dia sengaja sekali mengikutiku dengan alasan, "Gue gak mau lo kenapa-kenapa di koridor pas lo mau ke apart, jadi biar makin safety gue antar lo sampe depan." Tentu sudah kutolak hingga kupukul, tapi dia benar-benar definisi kepala batu sesungguhnya.

"Ya, ya, sabar!" Teriakku seraya membuka pintu pada akhirnya karna tak ingin tetangga merasa terganggu.

Disanalah dia dengan senyum penuh semangat, lengan penuh totebag berisi makanan dan berbagai cemilan ia beli. Ini sudah berlalu 3 minggu ia melakukannya. "Aduh makin wangi banget apart lo... yuk, mari kita makan!" Ujarnya sudah menaruh rapih rice bowl yang ia beli. "ini makanan lo, ini kalo mau nambah, ini minuman lo, ini sendok sama garpunya." Lanjutnya sibuk memilah untukku. Karna ia tidak mau bertanggung jawab untuk mencuci piring jadi ia sudah menyiapkan semuanya jadi selesai makan tinggal dibuang. Benar-benar niat si kepala berbatuan ini.

"Makasih, Khal... lo repot mulu heran,"

"Gapapa, emang niat juga. Enak gak?"

Aku mengangguk seraya menyuapkan suapan ke tigaku. "Syukur deh lo suka. Oh, iya, besok boleh nemenin gue gak?"

"Kemana?"

"Ke rumah temen balikin barang, sekalian gue mau ngajak lo jalan-jalan biar gak suntuk,"

"Yaudah,"

"Niat gak?"

"Iya,"

"Baiklah. Tugas lo apa kabar?"

Metanoia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang