Bagian 28 | KKPK🦋

Start from the beginning
                                    

Nan tersenyum kecil, lantas berkata, “Ngomong aja. Gue nggak cenayang, Rin.”

Yura kembali mendongak. “Mau peluk lagi, boleh?” tanya Yura dengan kedua pipi yang telah bersemu merah.

Nan tertawa, namun mengangguk pertanda mengiyakan. “Sini-sini. Arinnya Aran mau minta peluk, iya?”

Yura tak menjawab, memilih untuk menikmati kehangatan pelukan kekasihnya. Tiba-tiba, hatinya merasakan sesak kembali, mengingat semua yang telah terjadi. Dalam mimpi pun, Yura tak pernah menyangka bahwa yang menimpa hidupnya akan seberat ini, semenyakitkan ini.

Yura mengeratkan pelukannya, menyembunyikan wajah cantiknya dalam dekapan Nan. Dia menelan salivanya susah payah, ketika usapan lembut tangan Nan pada punggungnya mengundang tangis dari pelupuk matanya.

“Nangis aja, Sayang,” ucap Nan pelan.

Dan, ya, detik itu juga tangis Yura kembali luruh. Wajah ceria yang biasanya terpasang, luntur digantikan raut wajah penuh kesedihan.

Nan menaruh dagunya di atas kepala Yura dengan mata yang terpejam, sesekali dia mengecup kecil pucuk kepala gadisnya itu.

“Nggak apa-apa, Sayang, nggak papa. Semuanya bakal baik-baik aja, percaya sama gue, ya?” Nan kembali berucap.

Nan mengurai pelukannya, menangkup wajah mungil itu dengan tangannya. “Gue sayang lo, Rin. Nggak peduli separah dan sebanyak apa pun masalah di hidup lo, gue bakal tetep di sisi lo, ngedukung lo. Gue nggak bakal ninggalin lo, kecuali kalo lo yang minta hal itu.” Nan mengusap jejak air mata di pipi Yura dengan kedua ibu jarinya.

“T--tapi tadi lo nggak nurut pas gue minta hal itu, Nan,” jawab Yura sesenggukan.

Nan mengulum bibirnya ke dalam, atensinya melihat ke arah lain untuk sejenak. “Karena lo lagi butuh gue, Rin.”

Yura tersenyum tipis.

“Laper nggak?” tanya Nan.

“Laper.”

“Mau makan bubur ayam?”

Yura mengangguk.

“Mmmm, Arin,” panggil Nan sedikit ragu.

Yura mendongak. “Ya?”

“Soal Kak Diva ....”

“Jangan bahas itu dulu, ya?” pinta Yura.

Nan diam sesaat, dia menghirup napas dalam-dalam, lantas menghembuskannya dengan pelan. “Kak Diva nunggu kita di bawah. Gue tau, mungkin lo belum siap buat ketemu dia, tapi gue juga nggak bisa ngebiarin kesalahpahaman lo terlalu lama,” papar Nan.

“Jadi, tolong temuin dia dulu. Selesain semuanya secara baik-baik,” lanjut Nan.

Yura berdecak pelan. “Lo tau kalo dia udah nyebarin berita itu, Nan.”

Nan bersidekap dada. “Lo nggak bisa ambil kesimpulan cuma dari sudut pandang lo aja, Rin. Gue nggak mau lo kehilangan sesuatu cuma karena keegoisan lo sekarang ini,” beo Nan lagi.

Yura diam, entah karena enggan bersuara atau sebab kalimatnya yang telah dipatahkan oleh ucapan Nan.

Nan memegang kedua bahu Yura, menatap lembut gadis itu lantas menguncinya.

“Dengerin penjelasan Kak Diva dulu, ya? Setelah itu, terserah lo. Ya?” pinta Nan.

Yura tak bereaksi apa pun, tapi beberapa detik kemudian, akhirnya dia mengangguk—memilih untuk mematuhi permintaan Nan.

Nan menarik kedua sudut bibirnya, lantas mengacak-acak pucuk kepala Yura. Dia menggenggam tangan gadis itu untuk menuntun Yura menuju Diva yang sekarang tengah menunggu di parkiran.

“Capek nggak?” tanya Nan sebelum memasuki lift.

“Lumayan.”

“Mau gendong?”

Kening Yura mengernyit dengan raut wajah bingung. “Gendong?” ulangnya.

Nan mengangguk. “Iya, gendong,” jelasnya.

“Nggak ah. Malu.”

“Itung-itung latihan jadi pengantin, Rin.”

Yura menggelengkan kepalanya sambil terkekeh. “Sekolah dulu yang bener!” ketusnya seraya memukul lengan Nan.

°°°

Yura menghirup napas dalam-dalam, dan membuangnya dengan kasar. Di depan sana, sosok Diva tengah berdiri memunggungi dirinya. Nan? Laki-laki itu meninggalkannya dengan alasan ingin membeli makanan untuk dirinya.

Yura berjalan perlahan-lahan menuju Diva yang bersandar pada sisi depan mobil, kedua tangan Yura masukkan ke dalam saku hoodie milik Nan. Entah hoodie ke berapa yang sekarang Nan berikan, yang pasti, Yura menyukai aroma hoodie ini. Terlebih pemiliknya.

Dilihat dari ekor matanya, Diva menoleh ke arahnya. Ya, sekarang Yura telah berdampingan dengan sahabatnya itu.

“Apa yang mau lo jelasin ke gue?” tanya Yura tanpa menoleh, pandangannya lurus.

“Gue seneng lo baik-baik aja, Ra,” ucap Diva yang sama sekali tidak digubris oleh Yura.

Diva menghela napas. “Bukan gue yang nyebar berita itu,” jelas Diva.

Diva menghadap Yura, nampak jelas Yura tengah tersenyum miring. “Gue nggak mungkin sejahat itu, Ra. Lagipula, gue nggak punya alesan buat nyebarin berita itu di sekolah lo.”

Yura menoleh. “Jadi maksud lo ibu yang nyebarin itu, gitu?” Alis Yura terangkat satu.

Diva menggeleng. “Sebelumnya, gue mau tanya dulu. Boleh?”

“Tanya tinggal tanya,” balas Yura jutek.

“Lo kenal Gladis, kan?”

“Gladis gebetan Alam?” Yura bertanya balik.

Diva mengangguk singkat.

“Kenal.”

“Dia sepupu gue.”

Alis Yura bertaut, tidak mengerti.

“Dia kebetulan lagi nginep di rumah gue pas kejadian yang menimpa lo itu.”

Yura menghadap Diva, saat itu juga tatapannya bertemu dengan netra milik Diva.

“Iya, Ra,” ujar Diva seakan-akan paham akan tatapan Yura. “Gue rasa ... dia pelakunya.”

Kupu-kupu & Pelepasan Kesedihan [END]Where stories live. Discover now