Bagian 19 | KKPK🦋

Start from the beginning
                                    

Yura diam, mengumpat perkataan laki-laki itu dalam hati, sebab kalimat Nan adalah kebenaran. Kebenaran yang sialnya diketahui oleh bocah kecil yang belum sepatutnya tahu itu.

“Lo liat kucing itu.” Telunjuk Nan terarah pada seekor kucing yang tadi dilihat Yura.

“Kenapa? Lo mau nafsirin pose duduk dia, hah?” tanya Yura sekenanya.

Nan menggeleng, lalu berdecak. “Tadi pas di rumah Alam gue baru selesai baca buku, jadi otaknya masih terikat sama isinya,” jawab Nan nggak nyambung. “Oke, balik ke kucing itu.” Empat pasang mata itu kembali menatap objek.

“Dia lagi berhadapan sama rasa takutnya, Rin,” sambung Nan.

“Maksud lo?” tanya Yura belum paham.

“Kucing paling takut sama air. Sejauh yang gue liat selama duduk di sini, cuma kucing itu yang berani deket-deket sama pantai. So?” Alis Nan terangkat satu, seperti menyerahkan jawabannya pada Yura.

“Apaan so-so di situ?”

Nan memutar atensinya malas, disertai helaan napas yang terdengar kecewa. “Otak lo kenapa kumatnya pas lagi mode serius gini, sih?” Nan memijit batang hidungnya.

“Ya maaf,” ucap Yura.

Nan mengangguk. “Skip aja, skip,” balas Nan. “Oh ya, kalo tikus takut kucing, lo takut apa, Rin?” Nan bertanya.

“Mmm ....” Ucapan Yura tergantung di udara. “Diri gue sendiri,” sambungnya.

Nan tersenyum mendengarnya. Gadis itu tak berubah ternyata.

“Kalo lo? Apa yang lo takutin?” Yura balik bertanya.

“Kehilangan,” balas Nan singkat.

Yura terkekeh. “Kenapa lo takut sama hal-hal yang udah pasti gitu?”

Nan mengangkat bahunya tak acuh. “Mungkin karena sejauh ini, kehilangan jadi hal yang paling nyeremin di hidup gue.”

Yura mengangguk paham, lantas berkata, “padahal, ya, Nan, secara sadar atau nggak, manusia selalu berhadapan sama hal itu.”

Nan tersenyum. “Iya,” katanya setuju. “Waktu umur tujuh tahun, gue dikenalin sama rasa takut gue.” Nan memulai ceritanya dengan kepala yang telah menampilkan film berjudul flashback itu.

“Gue ditinggal pindah sama satu-satunya temen di masa kecil, dan itu pertama kalinya gue tau apa itu kehilangan. Sampe masuk rumah sakit karena mogok makan kalo dia nggak balik. Bunda pusing bukan main, meskipun gue anak asuh, tapi gue tau kalo hati bunda ikut sakit liat gue kayak gitu.” Nan tertawa kecil mengingat masa lalunya.

“Sekarang baru sadar, kalo ternyata dulu gue sebegitu ngeribetinnya. Tapi, Rin, sejak saat itu kehilangan jadi mimpi paling buruk yang paling susah buat gue terima,” sambung Nan.

Yura masih diam. Memberi celah lebih banyak untuk Nan leluasa bercerita.

“Dari dia gue banyak belajar. Banyak banget. Nih, ya, walaupun dia seumuran gue, tapi masalah-masalah yang dia bagi ke gue itu bener-bener nggak pantes diceritain sama bocah umur lima tahun.”

Yura bergumam, sambil manggut-manggut. “Dia cewek apa cowok?” tanya Yura lagi.

“Cewek,” balasnya. “Namanya ....” Kalimat Nan terjeda sesaat dengan tatapan yang sengaja dia sematkan pada Yura.

“Arin.”

Kening Yura berkerut, dibersamai ingatan yang sengaja menyentil memori. “Ar—” Pikirannya mulai menelusuri dalam lamunan yang nampak jelas di pupil matanya, mencari-cari rekaman perjalanan yang secara sengaja ditelan ribuan masalah selama ini. Yura menggigit kuku ibu jarinya, masih melacak keberadaan arti dari hilang yang selama ini menghantui relung hatinya.

“ARAN?!”

Nan tersentak mendengar seruan Yura yang tiba-tiba, tapi setelahnya dia tersenyum. Membenarkan panggilan favoritnya yang sudah bertahun-tahun tak menyentuh indra pendengaran.

“Hai, Alin,” sapa Nan santai seraya mengulurkan tangannya.

Yura menatap lekat netra gelap itu untuk beberapa detik. Membiarkan tangan Nan menggantung di udara untuk sebentar mengenali. Dan, ya, cara laki-laki itu dalam memandangnya tak pernah berubah, dan dia baru sadar.

“Arin. Bukan Alin.” Yura menjabat tangan Nan, mengulang kejadian masa lampau yang menjadi awal dari kisah cinta monyetnya.

“Ke mana aja? Bisa-bisanya lo baru inget,” celetuk Nan, mengabaikan senja yang sedang menonton kisah mereka berdua.

Yura melepas tautan tangannya diiringi hembusan napas pelan. “Nggak tau.” Yura mengangkat bahunya tak acuh, lantas tersenyum. “Aran-nya gue balik,” ucap Yura.

“Gue nggak pernah pergi, Rin.”

Yura mengangguk, membenarkan. Dia mengalihkan pandangannya ke arah pantai yang mulai dilahap malam langitnya. “Iya. Jangan pergi, ya. Biar gue aja.”

Kupu-kupu & Pelepasan Kesedihan [END]On viuen les histories. Descobreix ara