Bagian 14 | KKPK🦋

Start from the beginning
                                    

Ia menghela napas gusar. Memikirkan beban yang dipikul Yura saja cukup untuk membuat kepalanya sedikit pening. Bagaimana dengan keadaan gadisnya itu? Yang harus menunaikan bebannya seorang diri?

“Aku, Aran,” ucap bocah laki-laki berumur lima tahunan pada seorang gadis seumurannya.

“Aku Yulalin. Pake err, Yulalin,” jawabnya menekankan huruf R yang belum sepenuhnya mampu diucapkan lidahnya.

Yulalin? Itu pake L, bukan R,” sanggah Aran.

Gadis itu menggeleng cepat. “Pake err, bukan L,” ucapnya kekeuh dengan mulut yang menekankan huruf yang dimaksud.

Yurarin ...?” eja Aran yang langsung diangguki oleh pemilik nama dengan senyuman manisnya.

“Iya ... Yulalin,” ujarnya lagi.

Aran tertawa dengan gaya khas anak kecil. “Nggak bisa ngomong R,” ejeknya membuat perubahan pada wajah gadis itu.

“Bisa! Err, itu,” imbuhnya.

Aran menggeleng. “R, bukan err, Arin.” Aran membetulkan.

Alin?”

Aran mengangguk. “Kamu aku panggil Arin aja, ya ....”

Arin tersenyum dengan binar mata yang cerah, ia mengangguk setuju. “Alan ... dan Alin!” ungkapnya senang.

Nan mengulum bibirnya ke dalam, menghindari lengkungan yang lebih nyata dari sudut bibirnya. Wajah menggemaskan Yura saat pertemuan pertama kalinya itu selalu mampu membuat Nan senyum-senyum sendiri. Apalagi, saat Yura belum fasih mengucap huruf R dengan baik, benar-benar lucu. Yang ia herankan adalah bagaimana bisa Yura itu kakak kelasnya? Di saat umur keduanya hanya berbeda dua bulan saja?

“Gue curiga lo nge-cheat, Rin,” ungkapnya pada diri sendiri.

°°°

Yura membuka matanya perlahan-lahan, mengarahkan telapak tangannya ke arah sinar mentari—yang menerobos masuk ke dalam kamarnya yang gelap—dengan tujuan menghalau cahaya tersebut menusuk iris matanya yang belum siap menerima cahaya.

Ia mengucek-ucek kedua matanya, menghapus hiasan khas orang bangun tidur dari sudut-sudut mata seraya beranjak dari kasur, berjalan mendekati jendela untuk melebarkan gorden agar sinar matahari bisa sepenuhnya menerangi hidupnya. Ralat. Kamar maksudnya.

Kini Yura melangkahkan kaki menuju cermin. Ia menatap pantulan dirinya dengan iba. Berantakan sekali, seperti alur hidup yang ia miliki. Yura meraba bibirnya yang bengkak dengan bekas luka yang nampak jelas.

“Ssshh,” ringisnya ketika seluruh tubuhnya terasa nyeri. Ia melabuhkan dirinya di atas kursi, menyandarkan kepala serta punggungnya di kepala kursi.

“Aw,” keluhnya kala tak sengaja mengigit bibir bawahnya yang telah luka. “Bego banget sih lo!” Yura menepuk dahinya pelan, menghina kebiasaannya yang sulit dihilangkan.

“Ck, mana bisa sekolah gue kalo badan berasa remuk gini?” monolognya yang baru merasakan dampak dari pukulan ayahnya semalam.

Kupu-kupu & Pelepasan Kesedihan [END]Where stories live. Discover now