Part 75

1.4K 99 17
                                    

Tepat di taman yang tadinya Abigeal dan Brandon behenti sejenak, Dion kembali mengajak Abigeal ke sana. Mengajaknya untuk berbicara di sana dan untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dikatakan.

"Duduklah!" ujar Dion mempersilahkan Abigeal untuk duduk.

Abigeal menggeleng kuat, dia lebih memilih berdiri di depan Dion yang sudah duduk di atas bangku taman. Dion menengadah untuk melihat sosok Abigeal yang dari tadi belum juga berhenti menangis. Tatapan gadis itu juga tertuju kepadanya dan seolah tidak ingin berpaling menatapnya sedikit pun. Bahkan, untuk berkedip pun rasanya dia takut. Karena jika nantinya dia membuka mata, sosok Dion menghilang dari hadapannya.

"Kenapa?" tanya Dion sambil berdiri.

Kembali dipeluknya tubuh Dion dengan erat oleh Abigeal. "Kenapa lo berubah, Arei? Kenapa lo berbohong?" tanya Abigeal dan masih menangis memeluk Dion.

"Enggak, Geal. Aku enggak berubah, aku tetaplah Arei yang sama. Arei dan Dion yang sama dengan yang kamu kenal. Aku juga enggak ingin bohongin kamu. Hanya saja keadaan yang memaksa aku untuk berbohong!" terang Dion dan membalas pelukan gadis itu. Menyalurkan sedikit kehangatan dan kekuatan kepada Abigeal. Serta melepas sedikit kerinduan yang selama ini sulit terobati.

"Keadaan?" ulang Abigeal heran.

"Makanya duduk dulu. Biar aku cerita," pinta Dion sambil memegangi kedua bahu Abigeal untuk mengajaknya duduk. Kali ini Abigeal patuh, bersiap untuk mendengarkan cerita Dion.

"Sebenarnya dari awal aku datang ke sini, aku udah mau ngaku. Cuman, dari awal itu juga kamu memperlihatkan kebencian terhadap aku. Aku sengaja ganti nama panggilan, sengaja juga pura-pura cupu, tujuannya sih, buat beri Bigeal surprise. Eh, ternyata Bigeal malah benci sama aku," terang Dion.

"Jadi ini semua salah gue? Aarggh! Bodoh, kenapa dari awal gue enggak sadar sih, kalau Dion itu Arei? Salah gue juga yang enggak tau nama lengkap, Arei. Reiga Dion Pratama! Aaaa, nyebalin," teriak Abigeal saat selesai mengeja kembali nama Dion.

"Geal, bukan salah kamu kok, yang enggak ngenalin aku karena kita enggak pernah ketemu lagi selama 9 tahun lebih," ujar Dion sambil mengelus rambut Abigeal pelan.

"Terus kenapa lo enggak coba buat bilangin lebih awal? Kenapa setelah sekian lama kita berteman lo baru bilang sekarang? Dan juga lo bilangin pas lo mau kembali ke Jepang. Bukannya itu terlalu kejam buat gue?" rengek Abigeal lagi dengan suara memelan.

Dion mengembuskan napasnya perlahan. "Aku ingin bilangin lebih awal. Bukan dengan perkataan, tapi dengan perbuatan. Bukannya selama ini aku sering datang di saat kamu dalam bahaya? Terlalu naif kalau kamu mengatakan semua yang aku lakuin hanya kebetulan!" terang Dion panjang lebar.

Kembali terputar memori saat-saat di mana bahaya menghampiri Abigeal. Memang hampir disetiap kejadian-kejadian itu Dion selalu datang di akhir untuk membatu Abigeal. Memang bodoh kalau orang mengatakan itu hanya sebatas kebetulan belaka. Abigeal memukul-mukul kepala merutuki kebodohannya.

"Geal, kamu tau enggak, kenapa aku sampai bela-belain untuk pindah sekolah ke Indo? Padahal kamu tau sendiri 'kan, di umur kita yang masih remaja ini, kita masih butuh bimbingan orang tua. Keluar dari negara satu dan masuk ke negara satunya lagi itu enggak mudah. Terutama bagi orang seperti aku yang pindah dari Jepang ke Indonesia. Di mana, banyak sekali perbedaan antara kedua negara ini. Berbeda dalam banyak hal, seperti dalam segi belajar, tapi aku dengan bodohnya memaksa orang tua aku buat ngasih izin dan mengurus surat-surat pindah. Kamu tau kenapa aku melakuin semua ini?" tutur Dion.

Abigeal hanya mampu menggeleng dan berujar, "Enggak!"

"Karena janji. Janji dua anak kecil yang enggak ada artinya ini. Bodohnya aku, aku malah terus mengingat janji-janji kita dulu. Bahkan aku sempat ngebayangin kehidupan kita, di mana nantinya kita menikah atas janji yang kita buat. Terlalu dramatis emang, tapi itulah yang aku pikirin." ujar Dion lagi.

The Direction (End✅)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant