Part 44

371 65 0
                                    

Di sisi lain, Dion yang satu bus dengan Ranggel malah mendapat pukulan secara tidak langsung dari Ranggel. Ranggel bahkan dengan enteng mengatakan hal yang sejatinya membuat Dion merasa terpojok.

"Dion, bukannya apa-apa nih, ya! Emang lo enggak senang lihat Abigeal senang?" tanya Ranggel.

"Maksudnya apa, nih? Ya, senang lah!" jawab Dion heran dengan pertanyaan Ranggel.

"Maka dari itu, gue saranin lo mending nyerah aja deh, sama Bos. Dia bahagia sama Brandon!" ujar Ranggel cukup pelan.

Tersenyum kikuk, Dion membantah, "Ngomong apaan, sih? Aku enggak suka Abigeal kok, tenang aja!" Dion lantas memutar bola matanya menatap keluar jendela. Tidak senang dengan ucapan temannya itu.

"Gue enggak bermaksud buat halangin lo, kok! Ya, gue pikir ini yang terbaik buat Abigeal!" ucap Ranggel mulai merasa bersalah dengan ucapanya.

"Santai aja. Wajar kok, kalau lo bilang gue suka sama Abigeal. Kalau aja Abigeal terluka pasti gue marah, gue tau orang-orang bakal salah paham dengan hal itu, tapi gue lakuin ini semua karena gue sayang sebagai sahabat!" jawab Dion menjelaskan dengan tenang.

Walaupun sebenarnya ucapan Ranggel cukup menusuk, tapi Dion tetap mencoba tetap tenang. Bagi Dion, Abigeal memang segalanya. Jelas saja Dion menyukai Abigeal, tidak ada yang salah dari ucapan Ranggel barusan. Hanya saja, kalau untuk menyerah itu bukan satu hal yang mudah bagi Dion. Sejak kapan Dion menyukai Abigeal? Entahlah biarlah itu menjadi rahasia Dion sendiri.

"Ekhem!" Suara seseorang dari bangku belakang membuat Ranggel dan Dion sama-sama menoleh kebelakang.

"Siapa, sih?" cetus Ranggel jengkel.

"Kayaknya kalian salah, deh! Mungkin sekarang Abi kalian sedang terluka ngelihat Brandon ama Gelin tengah mesrah-mesrahan didalam bus! Uuuhhh, pasti seru liatnya, liat si Abi kepanasan!" ujarnya. Orang itu tak lain adalah Revi temannya Gelin.

Revi tidak tahu saja apa yang terjadi pada Gelin. Gelin-lah yang merasa panas melihat Abigeal dan Brandon yang duduk berdua. Sambil mendengarkan musik dengan sebelah earphone yang menempel di telinga masing-masing.

"Songong lu! Lu pikir Abigeal bakalan panas liat itu? Enggak mungkin!" balas Ranggel penuh ejekan.

"Ya, ya, terserah aja!" kata Revi ikut mengejek.

"Dasar, Cewek Sinting!" omel Ranggel lalu mencibir ke arah Revi.

"Eh, lo tuh yang sinting." teriak Revi kesal.

"Nyenyenye," ejek Ranggel sambil menggeleng-gelengkan kepalanya jenaka.

Tidak terima dengan ejekan Ranggel, Revi yang membawa botol minuman langsung memukul Ranggel dari belakang. Terjadilah perang kecil-kecilan antara mereka berdua. Sehingga kakak pembina yang ada dalam bus itu memarahi mereka.

"Heh! Kalian berdua, cepat berdiri! Jangan coba-coba duduk sampai ke tujuan!" hardik si Pembina kesal dengan tingkah seniornya itu.

Sudah dipastikan pembina satu ini akan sangat mengekang mereka nantinya. Sekarang saja belum sampai ke tujuan, dia sudah menghukum Ranggel dan Revi seenaknya. Kakak Pembina mereka itu bernama Tiffany. Dia memang di kenal dengan wakil ketua OSIS yang amat garang di sekolah. Bahkan ketua OSIS saja sering mendapat omelan pedas darinya.

Mau tidak mau Ranggel dan Revi harus menjalani hukuam. Takutnya Tiffany akan menghukum mereka lebih parah lagi. Siapa yang tidak akan kenal dengan kegarangan seorang Tiffany? Dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas tahu dengan hal itu.

"Gara-gara lo, sih!" umpat Revi kepada Ranggel.

"Gara-gara lo-lah, Sinting," jawab Ranggel enggan mengalah.

The Direction (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang