Bab 25-1

14.9K 921 113
                                    

Kepada seluruh pembacaku yang setia menunggu Ugly Royale,

 

Bab 25-1

 

            Tubuhnya mengambang. Tak berdaya dibawa arus tenang cairan gelap yang tak tampak dasarnya. Manik emasnya yang cemerlang kehilangan cahayanya dalam kegelapan. Kesemua tungkainya selemah boneka kain perca. Dan di antara keheningan absolut tersebut, hanya detak jantungnya yang terus berdetik seolah-olah menghitung waktu.

            Sisa waktunya sebelum ajal, mungkin.

            Thalia tak mengingat apapun setelah langit itu runtuh. Ia ingat bebatuan menghantam tubuhnya, api mulai berkobar di sudut matanya. Ia ingat suara melengking anaknya ketika menjerit-jerit tangis, membuat hatinya seolah dikikis. Lalu, setelahnya, Thalia tak ingat apapun. Ketika membuka matanya, yang ia lihat adalah kegelapan. Ia membuka matanya, namun seolah-olah matanya terus menutup—terus menutup sampai rasanya seabad telah berlalu.

            Siku Thalia menekuk, berusaha duduk dari tempatnya berbaring. Anehnya, walaupun punggungnya seakan menyentuh cairan, jemari-jemari Thalia seolah menekan benda padat. Thalia memandang sekitar, menolehkan kepala ke kiri dan kanan. Tapi, ia tak melihat apapun. Hanya kegelapan dan kegelapan. Begitu gelap sampai-sampai matanya sakit dan ia memutuskan untuk memejamkan mata.

            Ia tak pernah menyangka, di balik kelopak matanya segala hal benderang lebih terang daripada sekelilingnya.

            Sebuah bunyi mengusik pendengarannya. Bunyi tapak kaki diiringi kecipak air yang sungguh teramat asing baginya. Thalia membuka matanya dan kini tak hanya kegelapan di hadapannya. Seberkas cahaya agak kuning-ungu berpendar di kejauhan. Mendekat dan kian dekat. Bulu kuduk Thalia berdiri begitu tegak seolah-olah ia adalah binatang buas yang kelak diusir oleh cahaya tersebut.

            Cahaya kuning pucat yang berbaur dengan ungu gelap—menghasilkan kontradiksi sinting. Selama hidupnya, sinting hanya menggambarkan seseorang. Dan orang itu bukanlah seseorang yang ingin ditemuinya di saat-saat seperti ini. Ketika wajah itu timbul dari balik horizon, Thalia tahu ketakutannya genap sudah.

            Arus di bawah tubuhnya bergerak lebih buas. “Kalia.” Penuh benci dan ketakutan. Suaranya bergema dan terus berlanjut, tak menemui batas dari dunia serba hitam ini.

            Aku menang. Kau kalah, Thalia. Kalia tak membuka mulutnya, namun suara khas si wanita tua ikut bergema dan menggetarkan gendang telinga Thalia.

            Aku menang. Kau kalah.

            Aku menang. Kau kalah.

            Seiring dengan tiap kalimat yang diucapkannya, sosok kuning-ungu yang lain muncul. Mengelilingi Thalia dan setelahnya, mengepung Thalia dalam lingkaran kecil. Kesemua manik hijau itu mematri tatapan pada Thalia—tak berbuat apapun, tapi menghantui Thalia dengan kehampaan serta kekosongan di dalamnya.  Suara-suara serupa dan kalimat yang persis perlahan berpadu satu menjadi simfoni badai yang kacau. Bagai lamat-lamat mendengarkan dengung serangga yang kian banyak. Kian bising.

            Mendengungkan dua kalimat yang sama. Aku menang. Kau kalah. Aku menang. Kau kalah.

            Tangan Thalia meraih telinga dan menutupnya. Menghalau suara-suara itu mencapai genderang telinganya. Namun, sia-sia. Suara itu menembus kulit tangannya. Merasuki tulang-tulangnya. Meresap ke dalam nadinya. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuh Thalia. Bermula dari dahi, kemudian punggungnya. Tulang belakangnya mengirimkan kelumpuhan ke tiap jengkal sarafnya.

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang