Bab 11-2

22.9K 1K 58
                                    

Kepada seluruh pembacaku yang setia menunggu Ugly Royale,

Dibaca dengan peringatan pada diri sendiri,

Bab 11-2

            SIAL.

            Alec tak berniat menarik kembali umpatannya. Keadaannya sekarang mungkin tengah menjadi bahan tertawaan para dewa di Nirvana. Malu mengguncang harga dirinya tatkala ia mengingat betapa gagah-berani-mati dirinya membelah malam. Apakah ini ganjaran baginya yang bulat sudah tekadnya menyelamatkan seorang pujaan hati, namun membedil banyak korban impitan krisis finansial (atau cacat psikologis).

            Alec mencuri lirik pada sumber bau busuk alkohol di belakangnya. Sebab tak ada kuasa yang cukup mengalihkan perhatian Alec pada lorong batu tanpa ujung di hadapannya. Daripada dilanda jemu akan eksekusi di bawah tanah, Alec lebih tertarik membiarkan dirinya merumuskan seribu cara memutilasi siapapun yang menggerayangi tubuh Thalia. Tubuh yang indah itu, yang hanya patut dihargai oleh sentuhan Alec, yang mesti diperagungkan tiap pria di dunia ini. Tapi mereka menjamah tubuh mana seharusnya menjadi wilayah Alec semata. Salah satu dari mereka harus telungkup minta ampun di bawah kakinya.

            Tampaknya, mereka yang ditugaskan menangkap kawanan Alec adalah sekelompok buronan pemalas dengan otak udang. Alec tidak tahu harus merasa bagaimana; ia merasa diremehkan. Namun, ia pula merasa girang. Tangan Alec memang diikat di balik punggung, mata lima buronan Reibeart mencatuk masing-masing gerakan mereka. Tapi ia tahu harus bertindak apa dengan senjata yang tak dilucut habis, dengan mata yang bebas melempar pandang.

            Sekarang, apa yang menjadi masalah adalah pengalihan perhatian. Mereka butuh pengalihan perhatian demi menyerang balik. Alec dengan berani menoleh ke belakang. Belum sempat ia melancarkan kontak mata pada Tristan, ia sudah mendapati dirinya dipaksa mencium tanah tambang. Tersungkur. Tangan berlemak seorang buronan menekan tengkuknya, melindas batang hidungnya ke tanah berpasir.

            Di antara amarahnya, ia menemukan satu momen tepat, sebuah pengalihan perhatian. Ini adalah pengalihan perhatian. Selagi tawa kelima buronan bergaung dan langkah kawannya berhenti mengetuk tambang, ia perlu mengandalkan kecepatan tangannya. Ia membiarkan bilah pisau yang ia simpan di dalam lengan jaketnya meluncur ke telapaknya. Dengan cekatan ia mengiris ikat tali yang membelenggunya. Tidak ada yang menyadarinya. Sempurna.

            Satu.

            “Tidak kusangka kau terobsesi bau tanah sebegitu dalamnya, Reyes.” Suara di atasnya meledek dan terus menghina. Diiringi dengan gelak khas bandit di opera manapun. Pemain opera memang merekayasa peran, namun tampaknya tak merekayasa realitas tawa. Mari kita lihat sampai hitungan ke berapa kau tertawa; sampai hitungan ke berapa sebelum kau melolong minta tolong sebab kejantananmu (yang mungil itu) dihujam pisau, batin Alec.

            Dua.

            Tali terurai, Alec bebas membuat air mata berderai.

            Tiga.

            Jikalau kau membekap mulut kami sebelum satu, maka kejantananmu mati dalam tiga, pikir Alec. Mengayun kencang tangannya ke belakang, tampaknya Alec berhasil mengenai sasaran. Tawa mencela yang lalu telah beralih pada kekuasaan jerit histeris. Si buronan tersungkur, wajahnya ungu. Tanpa ragu Alec meraih pistol yang jatuh di samping pinggang buronan ungu. Alec tidak kehilangan keseimbangannya sekalipun bangkit gesit. Ia menginginkan keselamatan Thalia dan apa yang ia kehendaki patut dipenuhi.

            Meski itu artinya mematikan jiwanya sendiri.

            Alec meletuskan peluru tiga kali. Masing-masing untuk satu kepala. Darah muncrat, menyiprat dalam warna pekat. Buronan yang terakhir berusaha kabur. Lari ke kegelapan lorong, hendak melaporkan bencana buruk pada buronan lain yang bertugas menjaga lift dari bawah sana. Namun, dengan mudah Alec menyaingi larinya, seringan bulu Alec membanting tubuh itu ke tanah.

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang