Bab 19-1

11.4K 664 57
                                    

      Kepada seluruh pembacaku yang setia menunggu Ugly Royale, 

Bab 19-1

            Butuh tiga sampai lima kedipan mata untuk menyadari bahwa itu Thalia. Bukan seorang pria kekar yang membidik ke arahnya—seperti apa yang otaknya pikirkan. Sesuatu menghalangi kejernihan pandangannya. Mengontaminasi dengan gambaran palsu. Tak kasat mata, setipis kabut dan semagis sihir. Namun, setelah segala hal yang ia lalui selama hidupnya, ia cukup pintar untuk mengetahui bahwa itu bukan sihir.

            Itu zahl. Zahl Forming yang begitu mengerikan. Dan hanya Marilyn yang bisa melakukannya: mengendalikan pikirannya juga tak jarang tubuhnya.

            Alec keluar dari gedung pengontrol. Napasnya membentuk kepulan uap tiap kali ia mengembuskan udara. Paru-parunya sakit, disesaki seribu rasa bersalah yang nyaris menghancurkan hatinya. Ia melukai Thalia, lagi. Membiarkan dirinya dikendalikan Marilyn dengan begitu mudah. Dan itu menimbulkan pertanyaan di benaknya: apakah ia tak seberdaya serangga yang terjebak di antara jaring laba-laba?

            Larinya tergopoh-gopoh menuju gerbong truk di mana terakhir kali ia melihat Thalia. Ia harus memastikan wanita tersayangnya baik-baik saja. Meminta maaf pada wanita itu. Mengobatinya. Menjelaskan segalanya. Bahwa bukan dirinya yang membunuh ayahnya. Bukan kehendaknya berencana membunuhnya. Semuanya disebabkan oleh wanita gila haus darah. Ia bahkan tak tega meninggalkan luka setitik di tubuh sempurna itu.

            Tapi, tampaknya Thalia telah terlanjur menganggapnya pembunuh.

            Alec berbelok penuh harap. Harapan bahwa Thalia ada di sana. Melontarkan padanya senyuman atau bahkan tatapan kebencian. Namun, ini adalah kenyataan paling mengerikan. Tak ada siapapun di sana. Hanya ada sapaan hawa dingin menerpa wajahnya. Serta bercak darah di atas putih salju. Alec berjongkok dan mencolek merah darah itu. Membawa tangannya dekat hidung, menghidu amis yang ditawarkannya. Darah Thalia—entah bagaimana, ia tahu.

            Kemudian, kilau ledakan cahaya membutakan matanya. Diikuti oleh desing ledakan dinamit. Refleks mengambil alih tubuh Alec—dan ia sangat bersyukur—tiarap di atas salju. Merasakan dinginnya. Yang setelahnya disusul puing-puing pesawat juga sebagian gerbong, terbang mengambang di atasnya. Beberapa jatuh menimpa kakinya, memaksakan sebuah ringisan keluar dari mulutnya.

            Alec berdiri dari baringnya. Berlari keluar dari bayang-bayang gerbong truk kendati tak secepat tadi. Matanya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Asap dan sedikit api memenuhi pandangannya. Namun, di balik itu semua, Alec mampu mendengar seruan, makian, dentingan senjata, dan tak jarang letusan—lalu, cipratan darah. Pertarungan sedang terjadi, dan Thalia terlibat di dalamnya.

            Memikirkan tubuh Thalia yang berbaring berdarah, mengalirkan sejumlah energi ketakutan di tulang belakangnya.

            Langkah Alec mengelana menembus kabut. Dengan kaki sakit yang baru tadi terjepit. Alec mengabaikannya. Rasa sakit ini setimpal—ia tahu menyelamatkan Thalia tak akan pernah mudah. Alec memekik, “Thalia!”

            Dan rindu menjelajahi lidahnya. Sudah berapa lama sejak terakhir kali ia melafalkan nama wanita itu? Seribu tahun seolah sudah berlalu. Menciumnya, memeluknya, mencintainya. Melindunginya. Jantungnya diremas penderitaan. Ia tak kuasa menanggung malu—telah menyakiti wanita rapuh itu. Wanita yang kepadanya ia persembahkan sumpah. Wanita yang membuatnya sempurna. Wanita—miliknya setelah ia pikir ia tak memiliki apa-apa.

            Detik itu, doa komat-kamit yang diutarakan bibirnya, terkabul. Alec nyaris menangis berterimakasih pada dewa manapun yang menggenapi doanya. Kepada takdir yang menyatukan mereka kembali. Thalia, rambut hitam legam yang indah, tersungkur di sana, di titik jauh pandangannya. Di antara puing-puing pesawat. Alec mulai melangkah, dalam takjub dan bahagia.

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang