Bab 14-2

20.1K 832 134
                                    

Bab 14-2

Alec mengangkat sebelah alisnya. Ia tak lagi merasakan kehangatan tubuh telanjang Thalia di dadanya. Udara gelap pekat seakan menyesaki tubuhnya. Mengontaminasi darahnya, meluruhkan tulang-tulangnya. Tungkainya lunglai, jatuh terkulai di ruang hitam sesak pengap ini.

Berusaha melangkahkan kaki ke kanan, Alec malah mendapati sebuah kekuatan kasat mata mematikan segala geraknya. Tangan-tangan tak terlihat itu merayap ke sepanjang tubuh Alec. Melilitnya kencang.

“Tempat apa ini?” raungnya.

Hening, hanya pantulan suaranya yang melompat dari satu sisi ke sisi lain. Dan berakhir pada jantungnya. Alec membungkuk pada perutnya, kesakitan. Sesuatu melibas jantungnya. Memuntir dan menggerogotinya. Berniat melenyapkan inti hidupnya. Ia mampu merasakan lemah denyut nadinya. Merasakan ritme napasnya yang kian berat dan perlahan lenyap.

Alec hampir siap mati saat sebuah suara bergema di sekitarnya. Suara yang kini terdengar sangat jernih meski tak kehilangan kesan brutal dan angkernya. Sebuah suara, yang nyaris sepanjang hidupnya, menghantuinya. Alec bahkan tak pernah bisa menyangka kapan suara itu akan muncul atau bertempat tinggal di dalam tubuhnya.

Bukankah sudah kubilang bahwa aku akan memastikan kau membunuh putri itu?

“Alec.” Bisikan lirih itu meruntuhkan penjara hitam Alec.

Mengerjapkan mata beberapa kali, Alec berusaha memusatkan fokus pandangannya pada Thalia. Tubuh rapuhnya terimpit kuasa binatang Alec. Racauan irama dadanya segera menyentak pergi benda asing dalam benak Alec. Wajahnya pias dan bibirnya kering—Alec bahkan mampu membayangkan lapisan menggoda itu dirobek mudah oleh seorang psikopat. Namun, di atas segalanya, yang mengguncang jiwa Alec, seutuhnya, tak lain adalah aliran sedu Thalia di pelupuk matanya.

Air mata dan ketakutan. Berpadu jadi satu.

Pisau. Alec membuang bilah tajam itu dari antara kerutan alis Thalia. Dengan frustasi, Alec menggeram dan meraung. Gemuruh badai pecah. Alec bangkit dan duduk agak jauh dari Thalia. Seolah-olah Thalia tak ubahnya kesucian yang tak sepantasnya ia cemari. Mencoba membendung putus asa yang bergelayut di hatinya. Di benaknya.

Setelah segalanya—setelah bencana demi bencana yang Thalia alami, Alec pernah berjanji, bahkan, bersumpah. Untuk selalu melindungi wanita itu—menyelamatkan dan menaunginya. Menjauhinya dari mara bahaya. Namun kini lidahnya pahit oleh rasa penyesalan mendalam. Ikrar janji itu seolah mengacungkan mata pedang lainnya kepada Alec. Menusuk Alec perlahan. Seolah janji itu sendiri meminta diingkari.

Persetan. Apa yang terjadi pada dirinya? Hendak membunuh wanitanya—wanita tersayangnya—saat ia terlelap? Alec merasakan darahnya mendidih. Apakah kebencian turun menurun telah memperalatnya untuk membunuh Thalia? Itu mustahil.

Alec sungguh menyukainya walaupun masih berat baginya menyatakan cinta. Berat—takut bencana melanda tercintanya. Dan, sialnya, rangkaian peristiwa tak masuk akal mulai timbul tenggelam. Bahkan sebelum Alec mengungkapkan rasa cintanya. Demi dewa, apa yang semesta lakukan pada takdirnya?

Ia pernah terbiasa merencanakan pembunuhan Thalia. Sebuah perbuatan laknat yang kini ia sesali sedalam rasa bencinya pada Seymour. Ia pernah jijik pada putri itu atas segala yang melekat pada dirinya. Baju, rambut, desir darah, nama, keluarga. Ia pernah bertaruh dengan banyak orang untuk menenggelamkannya atau bahkan memperkosanya. Dulu, ia ingin menyiksa Thalia seorang diri. Dulu, ia membenci Thalia hingga merasuk ke dalam tulang-tulangnya.

Tetapi kini berbeda.

Tiap kali menangkap senyumnya, Alec ingin menyerbunya dengan ciuman. Tiap kali mendengar langkah kakinya, Alec ingin menumpahkan segala rasa di dadanya. Tiap kali aroma lembutnya menyapa hidung, Alec ingin menjarah kehadirannya teruntuk dirinya sendiri. Tiap kali kulit mereka bersentuhan, apa yang terpikirkan oleh Alec hanyalah memasungnya dengan cinta. Dengan sayang.

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang