Bab 17-2

12.9K 752 80
                                    

Kepada seluruh pembacaku yang setia menunggu Ugly Royale, 

Bab 17-2

            “Tuan putri.”

            Thalia membuka kelopak matanya, mendapati seorang pria kekar berumur empat puluh tahunan berdiri di samping ranjang, mengamatinya seksama. Thalia meregangkan tulang tubuhnya sebelum berusaha bangkit duduk.

            Pria di hadapannya mundur selangkah. Sedetik kemudian, ia membungkuk hormat. “Mayor Jenderal Coleman,” ia memperkenalkan diri. “Saya datang untuk membawa Anda menyantap makan malam di lapangan.”

            Mendengar kata ‘makan’, otomatis, Thalia melingkarkan kedua tangan di sepanjang perutnya. Perutnya memang lapar. Bibirnya juga kering. Namun, entah mengapa, ia dengan mudah mengabaikannya. Sesaat setelah tentara bayaran kurang ajar—Gideon, melangkah keluar, Thalia kembali merebahkan tubuhnya. Tidur; membayangkan darah ayahnya mengaliri tubuhnya.

            “Pergilah terlebih dahulu. Jangan tunggu aku,” ujar Thalia, menghentikan penantian Coleman.

            “Tidak bisa. Saya harus menlindungi Anda.” Lalu, dengan lirih, “Anda satu-satunya penerus tahta, Yang Mulia. Ketika tiba saatnya perundingan dilakukan oleh Organisasi Dunia, menentukan nasib Reibeart, kami membutuhkan Anda.”

            Beribu-ribu beban seketika memberati pundak Thalia. Menghela napas berat, Thalia berkata, “Baiklah.”

            Thalia menyeret kakinya sepanjang jalan menuju lapangan yang dimaksud Coleman. Manik emasnya meneliti lingkungan sekitar; sebuah daerah terpencil yang kini dipadati para pendukung Seymour. Thalia mengenali beberapa di antara mereka. Mereka acap kali diundang ke pesta kastil, memperkenalkan diri masing-masing pada Thalia. Kendati demikian, Thalia tak ingat nama mereka.

            “Belok kanan, Yang Mulia.” Coleman membuka jalan di antara pepat lautan manusia. Menghalangi mereka yang memandang Thalia dengan penasaran, iba—dan tak jarang murka.

            Lagi, darah ayah dan tatapan kejam Alec terbersit di benaknya. Jantungnya tiba-tiba menciut. Darah seolah merembes, keluar dari pori-pori tubuhnya. Thalia mengalihkan perhatiannya pada Coleman dan membuka mulut.

            “Tentara bayaran.”

            “Ya, Yang Mulia, ada apa?” Coleman menghentikan langkahnya. Bisikan mulai hinggap di kecaman penuh hening. Seseorang berseru dari jauh. Mengumpat dan menyebarkan provokasi dengan cemoohannya, tuduhannya.

            “INI SEMUA SALAHNYA!”

            Thalia menegang. Sebelah tangan Coleman meraih sebuah senapan. Aura kemerahan melingkupi senapannya. Coleman mengangkat sebelah alisnya pada Thalia; meminta kepastian atas tindakannya. Namun, Thalia menggeleng.

            “Jangan tembak—kita tak perlu memperbanyak kematian.”

            Coleman menganggukkan kepalanya, samar-samar. Seolah tak rela. “Mari,” ujar Coleman, kembali menuntun Thalia menuju lapangan. “Apa yang hendak Anda tanyakan?”

            “Tentara bayaran.” Dadanya tercekat. Ia masih terpesona dengan wajah apik Gideon yang entah bagaimana, mengingatkannya pada Alec. “Kalian menyewa mereka?”

            “Apakah yang Anda maksud adalah Sinclair? Sebab tentara bayaran lainnya—yah, diklaim Reyes.”

            Thalia terdiam, sejenak. “Gideon Sinclair. Itukah namanya?”

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang