Bab 23-2

12K 731 113
                                    

Kepada seluruh pembacaku yang setia menunggu Ugly Royale, 

Bab 23-2

            Saat semua prajurit telah sampai di depan benteng Kastil Gemma, mereka tak menyangka musuh sudah bersiap di balik dinding. Tristan bertanya-tanya dari mana gerangan musuh mengetahui rencana invasi mereka. Tapi, meski dengan pertanyaan yang berkecamuk di pikirannya, hatinya sekeras baja. Tekadnya sudah bulat utuh. Mereka akan memperjuangkan Seymour hari ini juga atau tidak selamanya.

            Jenderal Heaton di atas kudanya menyerukan penyemangat. Bagi Tristan, Gideon,dan veteran perang lainnya, apa yang dikatakan oleh Sang Jenderal tak berakibat lebih. Jika mereka memang harus mati, maka mereka akan mati di medan perang. Jika mereka menang, mereka akan membawa senang ketika pulang. Kata-kata penyemangat itu adalah jimat bagi para tentara yang gugup.

            Tristan tak tahu pasti apakah jantungnya yang berdetak asing ini adalah kegugupan atau bukan. Sebab, alam bawah sadarnya seakan berbisik sebuah firasat yang membuatnya terusik. Mengenai Thalia. Wanita itu penurut serta serapuh helai kertas. Namun, kemauan yang bulat akan menggenapi tekadnya. Menggenapi dirinya. Menjadikannya utuh. Wanita itu tak akan diam saja.

            Mata Tristan beralih pada Gideon yang berdiri di sampingnya. Selama di pengungsian, mereka menjadi akrab. Bukan berarti Gideon akan mengubah sikap dinginnya terhadap Tristan, tapi setidaknya pria itu mau terbuka (meski teramat sedikit) kepada Tristan. Tristan tahu mengenai hubungannya dengan Alec of Reyes. Tristan mengerti perasaan yang berkecamuk di balik wajah datarnya. Tapi, Gideon adalah seorang profesional—ia tidak mencampur adukkan permasalahan pribadi dalam pekerjaannya.

            Kendati, sesungguhnya, Tristan tak menganggap kehadirannya ke dalam lingkaran pengungsi pro-Seymour sebagai sebuah pekerjaan semata-mata pria itu dibayar. Entah mengapa, sebagai seorang yang penuh rasa patriotisme, Gideon melakukannya atas dasar pengabdian. Tanpa pria itu sadari, ia telah menanamkan rasa cinta terhadap Reibeart. Terhadap Seymour walau ialah seorang keturunan Reyes.

            Para musuh telah bersiap dengan busur dan meriam masing-masing di atas benteng. Tak elak bondongan benda tajam yang kelak mereka lemparkan. Ketika trompet perang telah berbunyi, pasukan berperisai akan maju sembari melindungi penghancur gerbang disertai serangan anak panah, meluluhlantakkan musuh-musuh di atas sana—membuka jalan bagi pasukan infanteri, nantinya.        Tristan dan yang lainnya berada dalam kelompok infanteri. Berada persis di belakang pasukan kavaleri yang akan maju menerobos ke dalam. Pasukan artileri berjaga di luar benteng, mengirimkan meriam dan ledakan selama para infanteri dan kavaleri menyerang kastil.

            Tristan tahu, mereka kalah jumlah oleh pasukan musuh di dalam sana. Ia hanya bisa berharap secepatnya bala bantuan dari Waisenburg akan datang. Hanya bisa berharap trompet perang tak akan berbunyi cepat. Tristan menertawakan dirinya sendiri. Ia gugup. Lucu.

            “KITA AKAN MEREBUT KEMBALI REIBEART DARI KEKUASAAN TIRANI!” seru Heaton untuk terakhir kalinya. Diiringi sorakkan para prajurit. Diakhiri dengan bunyi terompet perang, yang mana menabuh jantungnya bagai gendang. Memekakkan pendengarannya. Membuat kebas tangannya. Memacu adrenalinnya.

            Mereka semua meraung bagai singa kelaparan, “SERANG!”

            Perang sudah dimulai.

***

           

            Waisenburg ternyata datang membawa bala bantuan—satu divisi penuh, dipimpin langsung oleh sang Raja, legenda perang. Si jenius perang. Orang biasa tak akan mampu bertahan lebih dari sepuluh detik dengannya di dalam ring. Seluruh tubuhnya memancarkan kekuatan: Zahl kemerahan yang begitu pekat sampai-sampai Alec kira itu adalah luapan lava gunung berapi. Namun, kepalanya sedingin diplomat. Taktik-taktik pintar yang akan membuat lawan betekuk lutut.

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang