Bab 13-1

22.3K 876 92
                                    

Kepada seluruh pembacaku yang setia menunggu Ugly Royale,

Bab 13-1

            Mimpi buruk terus menerobos waktu tidur Thalia. Hitam di balik kelopak matanya mendekam kian legam. Hitam yang menyesatkan Thalia dalam jurang dalam. Jatuh, jatuh, jatuh, semakin jauh. Padahal sudah dua kali saraf Thalia berguncang akibat pengalaman terjun ini. Namun, bahkan kini, Thalia tak sanggup membasmi ngeri yang mana berdengkung, meremas pacuan jantungnya, berkali-kali.

            Jantungnya berdetak nyeri sementara dadanya seakan menciut. Napasnya terengah-engah takut. Ia menabrak lantai, keras. Tapi badannya tak merasakan sakit apapun. Mungkin takut menguasainya terlampau besar sampai-sampai ia tak menyadari sakit yang meradang. Bangkit dari tempatnya berbaring tidak berdaya, ia menoleh ke kanan dan kiri. Sekelilingnya hanyalah dataran yang dilingkupi hitam.

            Dua malam yang lalu adalah Tristan. Semalam adalah ayahnya. Malam ini—Thalia hanya dapat memohon pada dewa menjauhkan yang terburuk darinya.

            Lalu, sebuah singgasana besi yang berkarat perlahan timbul di tengah-tengah dataran. Sebuah bayangan berdiri mengancam di baliknya. Matanya merah dadu, tangannya mengacungkan bilah pisau pada seseorang yang duduk di atas singgasana. Lehernya tergorok, merah darahnya membuat warna bibirnya terkesan pucat. Kedua mata emasnya mencelak, tidak berkedip, tidak mengindikasikan kehidupan. Rambut hitamnya tersanggul rapi, dan itu, Thalia kira adalah hal yang paling mengerikan.

            Sebelum Thalia menyadari bahwa ia memandangi dirinya sendiri.

            “Thalia!” seru Alec, mengguncang pundaknya. Bulan terang menyinari profil sempurnanya. Cengkeraman pria itu pada pundaknya teramat keras. Thalia tidak bisa memastikan apakah tindakannya ialah niatan jahat atau takut kehilangan. Mungkin yang kedua.

            Kedua lengan Thalia seolah bergerak sendiri, terangkat maju ke kehadiran tubuh Alec yang besar dan kokoh. Memeluk dan mencoba merengkuh keutuhan Alec dengan segala yang ia punya. Segala yang ia kenal. Yang kini segalanya perlahan berpisah dan menjauh, pergi entah ke mana.

            Alec mengangkat bobot tubuhnya dari Thalia, perlahan. Ketika mata abu-abunya menelusuri labirin tragedi di emasnya. “Aku datang karena mendengar jeritanmu tadi.” Jari telunjuknya merapikan helaian hitam rambut Thalia. “Apakah kau sudah merasa tenang?”

            “Aku rindu rumah,” bisik Thalia, “aku tidak bisa tidur di sini.” Rumah. Sudah nyaris seminggu Thalia diperintahkan ayahnya untuk tinggal di kastil pinggir desa sementara. Seusai pemakaman pamannya, Bartholomeu IV menyuruh beberapa pelayan mengemasi barang-barang Thalia. Demi keamanan, katanya, dan Alec juga akan di sana menemanimu.

            Wajah Alec tampak lelah tatkala kata ‘rumah’ dilafalkan lidah Thalia. Kilat abu-abu matanya berubah redup. “Aku tahu. Tapi di sini aman bagimu Thalia. Sedang terjadi pergolakkan di ibukota dan beberapa kota lainnya. Ayahmu tidak mau kau terluka atau tertimpa musibah buruk, lagi. Begitu pula aku. Sudah cukup sekali bagiku melihatmu dilecehkan. Kau terlalu berharga untuk disentuh oleh sembarang orang. Terlalu berharga.”

            Aroma tubuh Alec yang meresap ke dalam penciumannya menghalau jajahan rasa takut. Jemari Thalia menari di sepanjang tulang punggungnya. Kemudian, menelusuri rahang kuatnya. Napas yang diembuskan Alec beralih lebih berat. Lebih berat, serta lebih panas. Thalia tahu, hanya butuh satu gerakan dan bibir pria itu akan merampungkan hasrat yang mendadak muncul di permukaan bibir Thalia.

            Satu gerakan—

            Alec beringsut menjauh. Ketika bobot tubuhnya terangkat, Thalia merasa amat kosong. Seolah sebagian dirinya menghilang menyaksikan kaki pria itu menapak karpet. Punggungnya terpampang, Thalia bahkan tak tahu kapan pria itu membalikkan badannya. Namun, yang pasti, Thalia tidak ingin pria itu pergi.

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang