Bab 15-2

17.7K 719 84
                                    

Kepada seluruh pembacaku yang setia menunggu Ugly Royale,

Bab 15-2

            Pandangan Thalia bertemu pepohonan dan salju yang berada di sisi lain jendela. Pemandangan itu seolah terperangkap di antara bingkai jendela. Namun, Thalia jadi bertanya-tanya yang mana tepatnya kebenaran; siapa yang sesungguhnya terperangkap? Thalia atau pemandangan itu?

            Thalia menekan kuasnya kuat-kuat ke atas kanvas. Kehampaan menguras semangat hidupnya. Bukan berarti ia hendak bunuh diri—ia tidak selemah itu. Hanya saja sesuatu yang pernah ada di sana menghilang. Lenyap ditimbun salju. Sekarang perasaannya sepolos hamparan salju. Tidak ada senang, sedih, atau hasrat.

            Kembali mengalihkan matanya pada lukisannya, Thalia kembali mewarnai abu-abu pada langit di atas kanvas. Ia melukis pemandangan di hadapannya. Satu-satunya hal yang ia mampu lakukan agar tak merasa dikungkung. Mengurung sesuatu.

            Ketukan konstan berkumandang dari pintu kamarnya. Ketukan tenang serta tegas. Dua esensi yang pernah menjadi bagian dari diri Thalia.

            “Masuk.” Thalia terus menimpakan warna demi warna, menciptakan warna persis kelabu langit hari itu.

            “Thalia.” Alec menutup pintu di belakangnya. Thalia menghirup napas dalam-dalam dan menjebaknya di dalam paru-paru. Seolah dengan itu ia bisa membohongi racauan detak jantungnya.

            Mata Thalia melirik sosok pria tampan itu. Alecnya. Setidaknya, dulu. Kini Thalia tak begitu yakin apakah Alec masih mendambakan percintaan mereka di pondok. Betapa lembut dan panasnya mereka bercinta. Betapa mendebarkan, dipenuhi antisipasi dan tuntutan. Dan pemberian. Dan cinta.

            Itu semua sudah berlalu. Masa bercinta mereka dimakan waktu. Setidaknya ingatan Thalia akan sentuhan Alec tak pernah lumpuh. Meski sudah dua bulan Alec menjauhinya. Sekedar menyapanya ketika bertemu di koridor. Menyapa dan tersenyum. Namun, Thalia tahu matanya menyoroti Thalia dengan ketakutan.

            Mungkin kau tidak sepenuhnya aman bersamaku, berhati-hatilah. Kalimat itu hingga sekarang masih mengguncang sebagian kecil diri Thalia.

            “Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.” Alec mendekat. Thalia melangkah mundur, menjauhinya seolah takut tersengat oleh kehadirannya.

            “Aku tak percaya setelah dua bulan kau memberiku perhatian sebanyak itu, kini kau hendak memulai percakapan serius denganku,” ujar Thalia sinis.

            Pria itu menarik satu kursi dari meja tulis Thalia dan duduk di hadapan kaki ranjang Thalia. Frustasi yang dibalut pengendalian diri berkelebat di raut wajahnya. “Duduklah,” pinta Alec.

            Thalia mendengus. Tangannya terus mewarnai lukisannya. Seakan-akan warna dari kanvas itu tumpah tiap kali Thalia menggoreskan warna baru. “Kau bisa lihat aku sedang melukis, Reyes.” Tapi Thalia bahkan tak begitu yakin apa yang sedang dilakukannya adalah melukis. Ia sedang mengalihkan perhatian.

            “Jangan buat aku memaksamu, Thalia.” Suara tegasnya sarat ancaman, namun kilat matanya kecewa, seakan mengatakan: Dulu aku Alec bagimu.

            Aku kehilangan Alecku. Yang melindungiku penuh keyakinan. Bukan menyerah mengenaiku hanya karena ragu bisa melindungiku.

            Bersungut-sungut, Thalia menurut. Meletakkan kuasnya, meraih mantel yang ia sampirkan di samping jendela. Lalu, dengan tekad luar biasa besar, ia melangkah. Duduk di atas kasur, di hadapan Alec. Jarak sempit ini mengemukakan titik-titik detail manik Alec. Thalia perlu mengumpat sekali dalam hatinya mengingat sebagaimana persis matanya dengan warna kelabu langit.

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang