Bab 7-2

29K 1.1K 63
                                    

Bab 7-2

“Dia jatuh ke dalam perangkapku.”

Itu apa yang terlintas di benak Alec sesaat setelah melepaskan Thalia dari dekapannya. Wanita itu pergi, berlari menuju aula utama opera dengan wajah merah yang manis. Wangi tubuhnya—semacam zaitun—ikut pergi bersamanya, terhembus oleh angin bersimilir yang tiba-tiba saja dikirimkan oleh Tuhan untuk mengingatkannya dan memperingatkannya akan tugasnya.

“Wanita bodoh.”

Sebuah napas berat beradu keluar dari mulutnya, begitu menyadari betapa bodohnya Thalia Ersa of Seymour, jatuh ke dalam perangkapnya layak seorang kelinci naif. Tapi, wanita itu memang seperti kelinci, pikir Alec, lalu menyandarkan punggungnya pada dinding lorong dan bergeser sedikit ke kanan juga kiri, memilah-milah posisi yang sempurna. Dia cantik, namun dia bodoh. Padahal, setidaknya Alec berharap wanita itu menepis tangannya, tapi terlanjur sudah. Mulut mereka bersatu dalam sebuah pagutan yang menggairahkan.

Alec meraih bibirnya dengan sebelah tangannya, membuat garis abstrak dari satu sudut mulutnya ke sudut yang lain. Ia masih merasakannya. Thalia mungkin masih merasakannya, betapa lihai Alec mengulum bibirnya, mendambakannya siang malam. Tetapi, sayang, ciuman seperti itu bagi Alec hanya sekedar melekatkan mulut pada mulut yang lain, bermain dengannya tanpa sedikitpun intensi untuk melakukan hal lebih.

Terkadang ada, ada beberapa saat di mana Alec merasa bergairah padanya, Thalia. Namun, mau bagaimanapun juga gairah adalah api, dan api akan padam cepat atau lambat. Ia bersyukur, setidaknya dengan gairah murahan itu, sedikit demi sedikit Thalia mulai menuruni ketinggian dinding pertahanannya. Dengan begitu, semuanya akan berjalan mudah dan sesuai jalur, sesuai rencana karena ia sudah bersumpah, dan sumpah itu tidak akan bisa diingkar begitu mudah.

Gairah yang selama ini ia rasakan begitu murahan, setidaknya sebelum kematian Astrid. Luka di hatinya entah kenapa terus membuka dan mungkin tidak akan pernah bisa disembuhkan, bahkan setelah ia mencapai impiannya, puncak gunung ambisinya. Masa lalu, tetaplah masa lalu, dan banyak orang bijak meyakinkan kita untuk terus melangkah ke depan. Tetapi, di dalam lubuk setiap hati rapuh manusia, sekalipun dia adalah orang yang paling optimispun, ada suatu saat di mana manusia itu bertanya: apakah benar lebih baik melangkah ke depan? Apalagi setelah masa lalu yang begitu hitam dan keredupan mengawan di memori, apakah benar masa lalu bisa dilupakan secepat itu?

Kalau orang lain bisa, mungkin bagi Alec tidak bisa, bukan karena berat dan sulit, tapi itu sudah terukir dan terpatri terlalu dalam di hatinya. Tidak ada yang bisa mengeluarkan Astrid dari hati busuknya yang terpenuhi oleh kebencian dan balas dendam kepada Seymour yang telah merenggut hal paling berharganya—tidak ada yang bisa menggantikannya, baik Anastasia dengan godaannya ataupun Thalia dengan apa yang akan didapatnya nanti.

***

“Wajah pria itu seperti ular, aku tidak suka,” komentar Tristan ketika transportasi yang mereka gunakan telah memasuki wilayah Kastil Reyes. Mereka masih bersantai di ruang duduk, walaupun dalam hitungan menit transportasi mereka akan mendarat.

Thalia tertegun mendengar komentar Tristan yang tiba-tiba itu. Well, yah, benar, pria itu memang bermuka dua, tetapi setidaknya pria itu memberikan gairah terbaik yang pernah ia rasakan. “Memang benar.” Thalia mengangguk, hanya bisa setuju terhadap tanggapan teman lamanya.

Melihat kegusaran di wajah Thalia yang menghilang dengan cepat, Tristan menambahkan, “Walaupun pria itu melakukan apa saja, apa saja yang membuatmu begitu senang atas tindakan kurang ajarnya, kau harus berpikir kritis, apakah tindakannya benar-benar didasari oleh ketertarikan atau hanya jebakan semata, Thalia.”

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang