Bab 23-1

11K 721 93
                                    

Bab 23-1

            “Maaf,” mulai Kassia. “Tapi, aku bisa mengeluarkan peluru itu.. dengan lebih higienis.”

            Kassia terlonjak saat Alec of Reyes berhenti menyodok lukanya sendiri dan melemparnya pelototan maut. Bermula dengan keraguan yang beriak di wajahnya, pria itu membusurkan sebelah alis gelapnya. Matanya menyusuri Kassia dari ujung rambut ke ujung kaki, skeptis. Alec menarik lepas telunjuk dari lukanya (pada bagian ini, Kassia tak memercayai matanya: Alec hanya sedikit meringis). Menarik punggungnya dari badan kereta kuda dan beringsut mendekati Kassia.

            Dari pancaran sinar matanya, Kassia mengerti bahwa pria ini tak lagi peduli akan hidupnya. Memperlakukan Kassia bagai tukang obat gadungan yang entah membawa kesembuhan atau bencana.

            Helaan napas Kassia keluar menghangatkan udara dingin malam. Penuh konsentrasi sebelum melingkupi luka itu dengan zahlnya. Pada mulanya, energi yang sebening air membuat Alec berjengit sakit. Tapi sejurus kemudian, pria itu bahkan perlu berusaha susah payah menahan desahan lega. Kassia masih memusatkan perhatiannya pada luka Alec ketika pria itu membuka mulutnya.

            “Siapa namamu?” tanya Alec.

            Kassia membelalakkan matanya dan pada satu detik tertentu, Kassia berhenti menyalurkan zahlnya, tak sengaja. “Aku?”

            Alec tertawa kecil. “Apakah aku tampak seperti hantu bagimu? Kau selalu terkejut melihat reaksi dan tindakanku.” Bulu matanya yang panjang turun bagai sutra dewa, memerhatikan proses penyembuhannya. Takjub akan cairan yang melayang-layang perlahan mengitari lukanya. “Siapa namamu?”

            “Kassia Adonia Sinclair.” Kassia tak berani menatap matanya.

            Satu jarinya mengetuk dagunya dalam ritme konstan. “Sinclair. Apakah kau putri sang mantan jenderal?”

            “Aku—ya.” Peluru itu keluar, membawa sejumlah darah menodai kebeningan energinya. Setidaknya, ia berhasil mengeluarkannya. Pernah ia dengar kabar bahwa tak jarang peluru itu menyasar ke organ lebih jauh, misalnya jantung. Atau bahkan mengenai si penyembuh sendiri. Kassia menepuk lengannya perlahan sebelum menarik sejumput gaun dan merobeknya. Membebat luka itu dengan kain gaunnya. Kassia tahu itu tak seberapa, tapi ini apa adanya. Kassia bergerak menjauh dari Alec. Menekuk lututnya di depan dada, lalu merundukkan kepalanya di antara pahanya. Menyaksikan tanah. Menanti kedatangan hewan-hewan buas. Serigala, semisalnya.

            Hening. Alec ternyata berusaha mengakhiri keheningan tersebut. Mengakhiri penyesalan menuju akherat. “Kau berbakat.”

            Kassia cukup mengangguk dan kembali mengalihkan pandangannya ke arah lain. Pria ini berbahaya. Bukan atas tindakannya yang mengancam kehidupan putri. Namun, lebih karena alasan pribadinya.

            Alec mengerang jengkel. “Sungguh, aku bisa menjelaskan tindakanku tadi—aku memang berniat membunuhnya, tapi aku dikendalikan. Itu hanyalah niatan yang ditanam orang lain di benakku. Sejak kecil aku adalah korban pencucian otaknya yang utama—tubuhku tak lagi memiliki imun atas kekuatannya. Aku sadari, pertahananku mudah ditembusnya. Aku tahu aku tidak bisa mengelak dari kesalahanku sendiri—tapi setidaknya kau mendengarkanku, mengerti? Jangan mengabaikanku.”

            Mata Kassia mengintip dari sela-sela lengannya. “Bukan itu.” Kassia merundukkan kepalanya dan bergumam, “Kau mengingatkanku pada seseorang.” Kassia berani bertaruh demi apapun bahwa kini wajahnya panas. Memerah. Semerah cinta yang kerap ia gambarkan teruntuknya.

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang