Bab 18-2

11.7K 704 83
                                    

Kepada seluruh pembacaku yang setia menunggu Ugly Royale,

Bab 18-2

“Idemu bagus sekali, sungguh.” Thalia bersedekap. “Idemu nyaris membunuhku tadi.”

Gideon menahan Thalia tetap merunduk di balik semak-semak dan mengawasi keadaan sekitar. Sebagian besar serdadu telah berangkat ke timur, menjadi pengecoh para tentara Reyes. Sedangkan yang lain menunggu di utara, akan menerobos ke dalam jalur. Mengamankan Tristan dan pesawatnya. “Sebaiknya kau tutup mulutmu.”

“Seharusnya kau tidak menyembunyikanku di kotak persenjataan,” ujar Thalia.

“Kau sampai. Itu intinya.” Gideon menyerahkan pada Thalia dua pistol serta sebuah belati. “Simpan, kau akan memerlukannya.”

Mulut Thalia membelah tak percaya. “Aku—tidak bisa. Belum terlalu mahir, kau tahu.” Thalia mengembalikan senjata tersebut ke tanah dekat Gideon.

Tak suka dibantah, Gideon mengerutkan dahinya. Ia menggeser senjata-senjata itu lebih dekat ke arah Thalia. “Kau tak perlu kemahiran untuk melindungi dirimu sendiri.”

“Kurasa aku bisa melindungi diriku sendiri.” Thalia menggeser kembali senjata tersebut.

Tangan Gideon menggesernya lagi. “Kau tak akan berhasil melawan para petarung jarak dekat.”

“Aku akan menjaga jarak dari musuhku.” Thalia masih bersikukuh menolak senjata itu.

Gideon menggenggam kesemuanya dan menjatuhkannya di pangkuan Thalia. “Aku tidak suka dibantah.”

“Aku akan baik-baik saja tanpa semua ini.” Thalia meraup semua senjata itu dan hendak mengembalikannya. Namun, keras kepalan Gideon mencengkeram pergelangan tangannya.

“Kau tak akan suka melihatku marah.” Cengkeramannya melonggar.

Thalia menepis cengkeraman Gideon dan menggunakan zahlnya, menyentak kepala Gideon ke belakang. Pria itu terjengkang, dari bibirnya terselip sebuah seruan kecil. Matanya membelalak, namun kemudian memicing jengkel pada Thalia. “Sialan,” umpat Gideon.

Mengabaikannya, Thalia mulai menyelipkan kedua pistol di pinggang. Belati tersembunyi di balik bot. “Lihat? Aku—“

Sebuah gejolak menjijikan naik dari perut, melalui tenggorokannya dan berakhir menimbulkan sensasi tak mengenakan. Thalia memeluk perutnya sendiri, sementara sebelah tangannya menahan mulutnya sendiri. Menahan isi perutnya tetap terjaga di lambung. Tapi itu percuma.

Gejolak itu kian kasar mendobrak pertahanan Thalia. Dan sedetik kemudian, cairan menjijikan itu meracuni tenggorokannya, memenuhi mulutnya. Keluar dari rongga itu, menabrak tanah bersalju. Hidung Thalia pedih seakan setelah melakukan itu, seluruh udara masuk melalui hiudngnya. Menusuk dan menyayat hidungnya.

Bau asam memenuhi penciuman Thalia. Pelupuk mata Thalia berair. Pandangan Thalia kabur akan cairan kental di bawahnya. Seolah dihalangi sebuah kaca buram. Thalia mengerjapkan matanya berkali-kali, berusaha menjernihkan pandangannya. Namun, ia malah mendapati cairan itu perlahan berubah merah—merah darah.

Dan, wajah ayahnya kembali terbesit.

Dan, pembunuh ayahnya kemungkinan besar ada  di sisi lain lapangan udara ini.

“Sudah berhari-hari kau terus memuntahkan isi perutmu. Apakah kau yakin kau tak berniat membanjiri dunia dengan muntahan?” Suara Gideon menyadarkannya.

Thalia mengusap daerah sekitar bibirnya dengan punggung tangan. Matanya mendelik pada sosok penuh pesona Gideon yang tak menjauhi Thalia sedikit pun. Orang-orang pasti langsung menghindari para pemuntah. Tapi, Gideon tidak. Entah apa maksudnya.

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang