Bab 10-3

20.4K 915 23
                                    

Bab 10-3

KELOPAK matanya membuka. Ia tidak tahu di mana dirinya berada. Hanya saja tempat ini redup. Ruangan ini redup bahkan dengan penerangan berupa lima obor di tembok bata, tidak cukup mengusir kegelapan. Kepalanya menengadah, mencari sinar lurus matahari. Tidak adanya jendela dan udara yang terasa lembab serta terbatas mengindikasikan satu hal; ia berada di bawah tanah.

Asap api obor menyengat matanya. Keringat melapis di sekujur tubuhnya. Ketika hendak menyeka wajahnya, ia mendapati kedua tangannya dirantai di atas lengan kursi yang memenjaranya. Begitu pula kedua kakinya. Besi hangat menyiksa pergelangan kaki dan tangannya.

Dan yang paling mengejutkan ialah tubuhnya yang nyaris telanjang bulat. Seseorang telah menelanjanginya. Ia berusaha mengaburkan rasa malu yang mendadak menyerangnya. Ini penghinaan, ia ragu akan ada penghinaan yang lebih buruk dari semua ini. Ia menggusur bayangan seseorang, kemungkinan besar pria, merobek gaunnya. Merampas perhiasannya. Mengacaukan tatanan rambutnya. Menyisakan tidak suatu apapun kecuali dalamannya.

Samar-samar dengungan dua orang atau lebih mendekat. Suara itu tertahan di depan pintu yang terkunci. Bunyi gemerincing menelisik lubang kunci. Setelahnya, pintu karatan itu membuka, menggesek lantai apak. Empat orang. Tiga pria. Satu perempuan.

Tanpa perlu berpikir dua kali, ia tahu siapa perempuan di balik topeng hitamnya. Mata piciknya. Bibir angkuhnya. Dagu gigihnya. Mata hijaunya seolah menghujamkan tubuhnya dengan beribu rasa bersalah. Tapi, ia malah kian mengukuhkan tekad untuk bertahan. Meski tatapan itu menorehkan penghinaan. Meski tatapan itu tergelak, puas akan pemandangan kacau tubuhnya.

Salah seorang pria mendekat. Pria yang lainnya menjaga pintu. Pria di hadapannya mencengkeram dagunya. Memutar kepalanya ke kanan dan kiri. Mata cokelatnya buas; haus darah dan lapar gairah. Mencari sudut yang tepat bagi suatu penyiksaan. Bibirnya ditindik, beberapa kali bibirnya itu menelusuri wajahnya. Terkadang mencomot bibir keringnya.

Menelengkan kepalanya ke kanan, ia menghindar dari ciuman busuk pria itu. Bau amis. Barangkali ikan atau alkohol atau mungkin, darah. Ia bergidik. Bulu romanya bangkit dari keranahan tidur. Terbersit di ingatannya sebuah informasi mengenai seorang buronan. Buronan yang meminum darah korbannya.

Meski ruang itu seolah ditelan pekat kekejaman dan kegelapan, ia mampu menangkap kilat beringas itu di mata cokelatnya. Namun, sepersekian detik kemudian ia menyadari apa yang bersinar di hadapan mata pria itu. Pisau. Pria ini mengukur seberapa dalam luka yang bisa ditorehkan pisau itu.

Api obor seolah mengukus tiap tetes tangis yang mengalir di pelupuk matanya. Jantungnya berdentum menyakitkan. Sakit. Pisau itu menekan di sisi pipinya. Ia tidak berusaha menelan ludahnya. Takut menjajahnya; ia ngeri membayangkan apa yang akan diperbuat sebilah pisau apabila dirinya beringsut sedikit saja. Atau, apabila ia menelan ludahnya.

Tetapi, nyatanya, upayanya bergeming hanya membuahkan hasil yang kian buruk. Kian busuk. Darah timbul bagai orang ketiga di antara mereka, melurut masuk.

"Siap untuk beberapa hal lainnya, Putri?"[]

***

Alih-alih tidur, aku malah tergiur buat lanjutin Ugly Royale. Dimohon tanggapan dan kritiknyaa. juga votenya ;;)

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang