Bab 19-2

11.6K 746 112
                                    

Bab 19-2

            Rasa sakit di lengannya bagai tamu yang tak diduga, tak diundang. Menusuk menembus kulitnya. Memecahkan pembuluh darahnya. Cairan merah itu hangat menyisiri lengan jaket, membasahi hitam dengan merah. Perlahan menetes turun melewati sela-sela lipatan pakaian sebelum akhirnya jatuh menodai hamparan salju putih.

            Bukan darah Anastasia yang menetes, itu darahnya. Darah Thalia.

            Wajah Thalia pucat, beku dalam keterkejutan. Sakit yang menjalar ke ujung-ujung tubuhnya terasa sungguh asing. Hingga butuh beberapa saat baginya untuk menyadari bahwa ia tertembak. Seorang anjing Reyes meletuskan pelurunya. Pistolnya lepas dari genggaman. Waktu berdetik begitu lambat dan Thalia menunggu pistol dari pegangannya jatuh melepaskan diri ke tanah bagai granat yang dinantikan meledak.

            Dan kemudian, segalanya meledak. Waktu mendadak berkelebat kencang, mengacaubalaukan proses pikiran Thalia. Thalia merasakan detak jantungnya berdentum lambat—namun, orang-orang di sekitarnya begerak cepat.

            Anastasia menggunakan kesempatan itu untuk merunduk menggapai pistol yang dijatuhkan Thalia. Sementara Tristan menembaki satu demi satu gerombolan anjing Reyes yang datang berlari. Thalia mengamati Anastasia yang berusaha membidik Tristan. Namun, karena upayanya nyatanya tak berbuah hasil, wanita itu mengangkat kaki dengan enggan. Menyelinap di balik putih kabut.

            Tristan cekatan mengisi peluru sementara sebelah tangannya merangkul Thalia erat, rapat. Kelumpuhan yang dialami Thalia lenyap berkarat ketika Tristan berucap, “Seharusnya kau bisa mengeluarkan peluru itu sendiri dari lenganmu.”

            Zahl Thalia mengaduk-aduk dagingnya, dalam usaha mencari peluru. Tristan mendekapnya sementara mereka mulai berlari, menghindari rentetan tembakan api. Baru setengah jalan, Thalia berhasil mengeluarkan peluru itu. Lalu, didorong kemarahan atas kali pertama ia tertembak, Thalia meluncurkan peluru itu ke balik punggungnya. Ke salah satu anjing Reyes.

            Thalia nyaris berhenti berharap bahwa bidikannya meleset (karena ia sama sekali tak menoleh dan ia tak yakin peluru itu sampai ke tujuan), salah seorang prajurit Reyes menjerit.

***

            Alec Zachary of Reyes ada di hadapannya dan Gideon Christopher of Reyes tak berani berharap bahwa kakaknya itu mengenalnya. Mengingatnya. Atau bahkan, sekedar mengetahuinya. Beribu memori melaju simpang siur di dalam benaknya. Didominasi kebahagiaan dan tak jarang ketakutan. Orang-orang pasti sudah menangis mengingat kejadian mengerikan itu, tapi tidak bagi Gideon. Ia tidak tahu pasti, apakah air matanya sudah mengering atau ia terlampau kuat, menangkis segala sengsara nelangsa yang dulu sering menimpanya.

            Wajah Warisan Dietrich itu memandang Gideon heran. Matanya berubah biru, sinar redup menghiasi kecemerlangannya. Dahinya mengerut samar-samar dan alisnya membusur nyaris seperti bertanya: Membidikku? Gideon mengeratkan pegangannya pada gagang pistol, jarinya seolah telah terlatih menguatkan tekad pada pelatuk meski itu artinya menghabisi nyawa kakaknya.

            Salah, koreksi Gideon. Alec bukan lagi kakaknya. Sudah empat belas tahun terlampau, sejak hari di mana Gideon menyaksikan bukti kekuatan zahl forming yang mengubah hidupnya. Mengguncang keyakinannya bahwa Alec dan dirinya akan tubuh besar bersama. Semuanya hancur dalam satu malam hanya karena Marilyn tahu tak ada gunanya membesarkan maupun membunuhnya.

            “Bocah, aku tidak bisa melihat masa depanmu. Mengapa?” Dan dengan itu Alec dibawa pergi. Sementara ia terduduk di atas genangan darah ayahnya, terbalut kain satin piyama putih.

UGLY ROYALETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang