1. Angin Barat Mengibarkan Panji Sakti

9.3K 73 5
                                    

Malam semakin kelam.

Tiada rembulan, tiada bintang.

Serangga bercengkerama di antara semak ilalang, membuat suasana di hutan belantara terasa makin sendu, makin hening dan menyeramkan.

Dari balik kegelapan tampak berkelebat sesosok bayangan manusia, gerakan tubuhnya enteng bagai walet, cepat bagai sambaran kilat, ketika melihat panji sakti yang berkibar di hadapannya, dia segera melepas bajunya, membuka tali kepang rambutnya, dengan dada telanjang perlahan-lahan menjatuhkan diri berlutut, berlutut di hadapan panji sakti yang berkibar di tengah hutan itu, wajahnya nampak sendu, sedih dan murung.

Dia berlutut di depan panji itu, berlutut tanpa bergerak, kaku bagai sebuah arca.

Di tengah keheningan itu, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda yang ramai, menyusul kemudian seseorang menghardik dengan nyaring:
"Sudah datang?"

"Ada di sini!"

Dua rombongan manusia menunggang berkuda dengan debu beterbangan di angkasa bergerak mendekat. 

Rombongan di sisi kiri terdiri dari tiga orang dengan tiga ekor kuda, seorang di antaranya adalah lelaki setengah umur bertubuh jangkung tapi kekar, orang kedua adalah seorang pemuda kecil pendek dengan sorot mata tajam, sementara orang ketiga adalah seseorang berwajah hitam, mengenakan baju warna hitam dengan sebilah pedang tersoreng dipunggungnya, hanya sepasang matanya yang nampak jeli, berkilauan di tengah kegelapan.

Pemuda itu mencemplak kudanya maju lebih dulu ke depan, sambil merentangkan sepasang tangannya, dia segera berjumpalitan beberapa kali di udara dan melayang turun di depan panji itu.

Sementara pemuda kecil pendek bermata tajam itu segera menarik tali les kudanya, ketika lari kudanya mulai melambat, tampak dua sosok bayangan manusia kembali berkelebat, ternyata mereka adalah rombongan yang datang dari sebelah kanan, terdiri dari seorang kakek bercambang dan seorang gadis berbaju hijau.

Lelaki bertelanjang dada yang berlutut di depan panji masih berlutut tanpa bergerak, kakek bercambang itu dengan mengepalkan sepasang tinjunya segera berjalan menghampirinya, mendekat dengan wajah penuh amarah.

Pemuda berbaju hitam dan gadis berbaju hijau itu berdiri tanpa bicara di belakangnya, paras muka mereka nampak berat dan serius.

Angin malam berhembus makin kencang, di tengah deru angin yang memekakkan telinga, mendadak terdengar kakek bercambang itu membentak nyaring, telapak tangannya langsung dihantamkan ke dada lelaki bertelanjang dada itu.

Bentakan nyaring kembali bergema menyusul berkelebatnya sesosok bayangan.
"Toako, tunggu sebentar!"

Seorang lelaki setengah umur telah menangkis pukulan dahsyat itu.

"Mau apa kau?" hardik kakek bercambang itu gusar.

Tujuh tahun telah berlalu, apa salahnya menunggu sejenak lagi?" ucap lelaki setengah umur itu sambil menghela napas.

Dada kakek bercambang itu kelihatan naik turun tak beraturan, meski amarahnya telah memuncak, akhirnya dia turunkan kembali tangannya.

"Kuda pelaksana hukuman telah disiapkan?" ia menegur dengan suara dalam.

Begitu mendengar kata "kuda pelaksana hukuman", paras muka lelaki bertelanjang dada itu berubah hebat.

"Sam siok," buru-buru nona berbaju hitam itu berseru lirih, "Sute telah berhasil mendapatkannya, sementara Tecu pun telah berhasil membawa kemari kuda Wu im kay soat (awan gelap menutupi salju) milik cong piauthau perusahaan ekspedisi Thian bu Piaukiok, tapi hingga kini Samte dan paman Sim belum nampak juga bayangannya."

Pendekar Panji Sakti - Gu LongWhere stories live. Discover now