FRASA [✓]

Por helicoprion_

34.3K 8.3K 9.8K

#1 Frasa [08/04/21] #2 Aksara [11/01/22] Frans Amnesia Musibah tak diminta itu tidak hanya menghilangkan inga... Más

Prolog
Part 1: Frasa
Part 2: Titipan
Part 3: Pembawa sial
Part 4: Pindah
Part 5: Larangan
Part 6: Pemberhentian
Part 7: Salah langkah
Part 8: Nanti
Part 9: Lo siapa?
Part 10: Rindu
CAST 💙
Part 11: Salah Paham
Part 12: Pelukan
Part 13: Maaf
Part 14: Genggaman
Part 15: Pilihan
Part 16: Penantian
Part 17: Kecewa
Part 18: Bayangan
Part 19: Rasi
Part 20: Memori
Part 21: Bullshit
Part 22: Isu
Part 23: Tugas Akhir
Part 24: Kecewa
Part 25: Rasa
Part 26: Peringatan
Part 27: Ketakutan
Part 28: Penyebutan
Part 29: Terungkap
Part 30: Keadilan
Part 31: Perintah
Part 32: Pengakuan
Part 33 : Pertanyaan
Part 34: Kekhawatiran
Part 35: Rasa Bersalah
Part 36: Perdamaian
Part 37: Tunda
Part 38: Be mine
Part 39: Status Kepemilikan
Part 40: Lelah
Part 41: Perubahan
Part 42: Perlawanan
Part 43: Happy Valentine 💙
Part 45: Kalung
Part 46: Paket
Part 47: Kesempatan
Part 48: Kenyataan
Part 49: Akses
Part 50: Perihal Rasa
Part 51: Pamit
Part 52: Lima Belas Juta
Part 53: Pesaing
Part 54: Setelah semua
Part 55: Permintaan
Part 56: happy birthday, Frans (1)
Part 57: Happy Birthday, Frans (2)
Part 58: Aku pulang, ya?
Part 59: Pergi!
Part 60: Titik balik
Part 61: Fakta
Part 62: Menyerah
EPILOG
KARSA

Part 44: Tanda pengenal

281 65 18
Por helicoprion_


Kangen Frasa?

Yang udah lupa bisa cek satu atau dua part sebelum part ini ya 🌊

Dan, oh iya. Jangan lupa baca penjelasan di akhir part ini.

Siap?

•|FRASA|•

"Lo dimana emang?"

"Di kamar."

"Kesini bentar doang napa. Pelit amat."

"Kenapa, sih? Habis ini aku mau keluar."

"Frans sakit, Sa."

"Iya iya iya aku tau. Kak Sya udah bilang itu empat kali. Yang aku tanyain kenapa harus ke sana?"

"Ya... Ya enggak apa-apa. Biasanya kalo Frans sakit lo yang pertama tau."

"Biasanya? Dulu maksudnya?"

"Hmm. Sama aja."

"Dulu ya dulu. Sekarang ya sekarang. Waktu aja berubah apalagi orang."

Risya hanya menghela nafas berat. Sepertinya Aksara benar benar tidak ingin keluar hanya sekedar untuk melihat keadaan Frans. Dan Risya cukup sadar untuk tidak menyalahkan gadis itu atas sikap yang dipilihnya sekarang.

"Bentar aja, Sa," paksa Risya pelan.

"Enggak deh! Aku belum ijin, Kak Sya."

Hening melanda keduanya untuk sesaat. Aksara menunggu jawaban dari Risya. Begitu juga sebaliknya, Risya menunggu adiknya ini melanjutkan ucapan. Beharap akan berubah pikiran walaupun dirasa terlalu tidak mungkin.

"Lagian Frans cuma pingsan, belom mati."

"Lo doain Frans mati?"

"Engga jugak. Udah dulu ya, Kak Sya? Aku mau keluar."

Frans membuka mata perlahan. Kepalanya masih pusing walaupun tidak separah tadi. Frans dengar. Frans mendengar semua yang tetangganya ucapkan di balik telfon Risya.

"Bangun, lo? Gue kira mati."

Frans tidak memedulikan sapaan Risya. Rambutnya yang terurai tak rapi mengiringi tubuh remaja tersebut yang kini beranjak duduk dengan tergesa-gesa.

"Argh!!" Keluh Frans pelan. Ternyata pusingnya masih sama.

Risya memutar boleh mata malas. "Manja banget sih, lo? Keluar sana! Ditunggu dokter Airin."

"Ngapain dokter Airin ke sini?" Frans bertanya sambil terus meringis kesakitan.

"Ngurusin titisan Dajjal!"

Lagi, Frans tidak berkomentar. Menanggapi kakaknya yang gila akan membuatnya gila juga. Pemuda itu menurut dan melangkah hati-hati ke sofa di luar kamar.

"Udah puas tidurnya? Kenapa nggak sekalian dilanjutin sampe pagi?"

"Pagi?"

"Kamu pingsan empat jam."

Pantas saja Risya menyebutnya mati tadi. Frans bahkan tidak sadar kalau diluar sudah gelap.

"Gimana, Frans?"

"Masih pusing, Dok." Frans mengambil duduk di singgle soffa yang terletak di sebelah pembatas tangga.

"Kamu tadi mikir apa?"

Ah Frans paling tidak suka bagian ini. Berhadapan dengan seorang psikolog selama beberapa bulan ternyata masih saja tidak membuatnya terbiasa.

"Cuma bad mood aja."

"Lo tadi maksa inget apa? Biasanya dibilangin malah ngeyel. Sekarang maksa buat inget. Aneh!" Risya tak henti-hentinya mencibir.

"Gue nggak maksa." Frans mengelak. Tak mau kalah.

"Tapi Dokter Airin bilangnya lo maksa."

"Apa yang coba kamu inget, Frans?"

Frans memaki dalam hati. Bisa-bisanya Risya memanggil dokter Airin hanya karena dirinya pingsan. Atau... Bundanya yang memanggil? Entahlah. Frans hanya tau bahwa dia sedang tidak nafsu menjawab pertanyaan apapun tentang dirinya ataupun apa yang ada di pikirannya. Privasi yang terlalu menyebalkan untuk dibahas.

"Aksara."

Kejujuran Frans membuat senyum licik Risya terbit. "Udah beli otak, lo?" sindirnya.

"Wajar, Risya. Ini bisa terjadi ketika Frans maksa buat manggil ulang semua memorinya dalam satu waktu."

"Aku enggak maksa, Dok," bantah Frans tak terima. Memang itulah yang dia lakukan. Frans sama sekali tidak memaksakan otaknya.

Bukankah ini semua terjadi hanya karena valentine bodoh itu? Frans tidak macam-macam. Jadi jangan salahkan dirinya.

"Tapi, Dok? Bukannya Frans udah biasa ngelakuin ini?" Fransisca turut penasaran.

"Terapi yang Frans lakuin cuma bisa ngebantu otak Frans kerja buat nginget-nginget poin poin peristiwa. Bukan ngembaliin ingatannya." Dokter muda itu beralih menatap Frans. "Tapi kamu inget sesuatu kan sebelum pingsan?"

"Kayaknya sih inget, Dok. Tapi sekarang lupa lagi."

"Gimana sih, lo?! Katanya tadi Aksara?" Risya geram. Maklum saja. Risya adalah satu dari beberapa orang yang sangat gemas akan tingkah menyebalkan yang Frans miliki sejak amnesia.

"Gue ingetnya Ra doang."

"Bego kok dipelihara."

"Risya..." Fransisca memberi peringatan

"Apa lagi, Frans?"

Frans diam sejenak. Apa lagi? Hanya valentine yang Frans ingat. Jadi dirinya harus menjawab apa atas pertanyaan dokter Airin ini? Dan lagi, ini adalah pertanyaan yang membuat Frans selalu malas melakukan terapi. Apa lagi? Memangnya Dokter ini tau apa saja yang ada di otak Frans? Bercerita sekalipun dirinya tidak akan paham. Kurang lebih seperti itulah yang Frans pikirkan setiap mendengar pertanyaan tersebut.

"Nggak ada, Dok. Cuma inget sama anak kecil itu lagi."

"Ra?"

"Iya." Frans menoleh pada kakak semata wayangnya. "HP gue mana?"

Risya mengangkat bahu. Tampak sibuk memerhatikan kuku tangannya sambil bersandar di dinding. "Cari aja di kulkas."

"Ngapain, anjir?"

"Udah gue tukerin sama tomat tadi."

"Risya...," tegur Fransisca lagi.

Risya tak memperpanjang. Mengambil ponsel Frans yang sedikit lecet dari dalam saku, lantas memberikan pada pemiliknya.

Sedangkan Frans? Pria itu sangat ingat tentang valentine. Dan semua yang membuatnya harus kembali berurusan dengan dokter yang datang diluar jadwal lagi. Mungkin ini karma karena telah berbohong pada Sania dan mengatakan dirinya sedang terapi.

Ponsel Frans telah tiba di tangannya. Namun bukan membuka pesan yang tersemat di paling atas, Frans justru menekan tombol search.

Aksara

Hasil tidak ditemukan

Apa Frans tidak menyimpan kontaknya? Apakah sejak dulu Aksara memang pengganggu sehingga Frans tidak menyimpan nomornya?

Ah... Tidak. Frans ingat dulu ia sempat memblokir kontak dengan emoticon paus di belakangnya. Ara. Otak Frans masih menyimpan dengan baik nama itu. Nama yang sama, yang sekarang harus bertengger di kolom pencarian Frans.

Hasil tidak ditemukan

Pemilik hidung mancung dan kulit putih bersih itu mengernyit panik. Seketika memeriksa tiga huruf yang barusan diketiknya barangkali ada typo. Ternyata tidak.

Ara

Ara

Ara

Frans bahkan membacanya berulang-ulang dan tulisan disana masih saja sama. Tidak berminat untuk geser ataupun raib dengan sendirinya. Lagi, Frans mengganti kata kunci sinonim huruf seperti sebelumnya. Aksara. Meneliti satu persatu jajaran alfabet tersebut demi melihat tulisan yang terus saja sama.

Hasil tidak ditemukan

Belum juga menyerah, tombol backspace kini menjadi pilihannya. Berharap dengan menghapus huruf A dan R di belakang, nama itu akan ditemukan.

Nihil

Ternyata hasilnya tetap sama.

Remaja dengan rompi coklat itu sangat yakin kalau dulu ia hanya memblokir kontak bernama Ara, tidak menghapusnya. Lalu kemana perginya nomor itu sekarang?

"Dok, kejadian kayak gini besok-besok bisa terjadi lagi nggak, ya?"

"Bisa kalau kamu maksa buat nginget sesuatu atau nggak sengaja inget yang berat-berat."

"Maksudnya, dok?"

"Otak manusia kan juga bisa capek, Frans. Normalnya semakin kamu menganggap kejadian itu penting, pastinya bakal lebih gampang diinget. Memori kecil-kecil bakal tersingkir dan butuh jangka waktu lama. Tapi kalau kamu maksa inget, kapasitas otakmu belum memungkinkan buat manggil semua memori itu di waktu yang bersamaan."

Apa gue emang maksa buat inget, ya? batin Frans bertanya. Untuk detik berikutnya pria itu menggeleng pelan. Masih saja beranggapan bahwa pusingnya ini adalah karena valentine bodoh esok hari.

Seorang pemuda berambut hitam legam dengan tubuh terbalut kemeja abu-abu tengah bersandar di mobil pribadi sambil bermain ponsel. Menunggu pemilik rumah besar di hadapannya keluar rumah. Fokusnya mulai teralih ketika seorang kurir mendekati rumah yang sama yang pemiliknya tengah ia tunggu.

"Pak!" sapa pemilik alis tebal tersebut kepada Pak Jov yang sudah menerima kiriman paket berwarna merah muda. Terbungkus sangat cantik dengan pita putih di sudut kado.

"Lah? Masih disini, Mas Leon? Emangnya non Aksa belum keluar?"

"Masih ganti baju katanya," jawab Leon sopan. "Itu apa, pak?"

"Ooh. Paket buat non Aksa."

"Emang Aksa suka belanja online ya?" tanya Leon terlihat penasaran.

"Kayaknya enggak deh. Non Aksa nggak sukak beli barang yang nggak keliatan mata. Biasanya non kalo beli apa-apa atau mau belanja musti ngajak Non Risya atau Mbak Seva. Kenapa atuh, Mas?"

"Lah terus ini?" Leon menuding paket rapi tersebut dengan lirikan mata.

"Loh? Mas Leon nggak tau? Sama. Saya juga," Pak Jov cengar cengir setelah membuat jokes yang nyatanya sama sekali tidak lucu itu.

"Nggak tau, Mas. Non Aksa emang akhir-akhir ini sering dapet kiriman. Kurirnya sampe hafal sama rumahnya atuh."

"Kiriman? Mulai kapan?"

"Kapan, ya? Lupa saya atuh. Dari bulan Desember kayaknya."

"Orangnya sama? Atau beda-beda?"

"Mas Leon beneran enggak tau? Atau cuma mau basa basi sama saya aja, mas?" ucap Pak Jov lugu.

Sedangkan Leon? Ia tak menjawab. Sebaliknya, justru remaja dengan style kekinian tersebut masih menunggu jawaban.

"Kalo pengirimnya kurang tau saya, Mas. Kok jangankan saya. Non Aksa aja nggak tau siapa yang ngirim. Bungkusnya beda beda terus tiap dateng."

"Nggg... Ini udah sekitar paket ke tujuh atau delapan kalo nggak salah," imbuh Pak Jov lagi lantaran Leon tak juga mengajukan pertanyaan berikutnya.

"Aksa udah biasa kan nerima paket ini? Boleh saya aja yang ngasihin sama Aksara?"

"Ih saya aja atuh. Mas Leon nanti capek. Jalan dari sini ke pintu rumah non Aksa butuh seribu kilo kalori. Lagian ini tugas saya, Mas."

"Saya cuma mau nganterin paket doang, Pak. Bukan mau ngangkat gunung Bromo."

"Ngangkat gunung berat ya, Mas?" Pancing Pak Jov.

Leon memandang Pak Jov penasaran. "Berat, lah," jawabnya. Diiringi dengan embusan angin pelan dan cuaca sore cerah yang mengiri pembicaraan mereka.

"Berat mana sama ngambil hatinya majikan saya?"

"Ya lebih berat ngangkat gunung lah, Pak. Ngambil hati Aksa masih masuk akal."

"Sikat, Mas! Mumpung pawangnya masih lugu. Gatau apa-apa."

"Frans maksudnya?"

"Iya. Abang aja yang udah kenal dari lahir enggak bisa bikin non Aksa sukak. Mumpung ada kesempatan, nih!"

Leon menahan tawa. Ternyata benar yang diceritakan Aksa tentang satpam rumahnya adalah orang yang begitu menyenangkan dan tak pernah habis topik pembahasan.

"Emang Frans sukak sama Aksa, ya?"

"Yaelah masih nanya. Abang sukak sama non Aksa udah dari esempe."

"Ooh," jawab Leon kaku. Sama sekali tidak terkejut. "Yaudah sini, Pak. Saya aja yang nganter ke Aksara."

Pak Jov menurut saja. Memberikan paket berwarna merah muda yang lebih mirip seperti kado valentine ini.

Lima menit berlalu, Leon beranjak berdiri ketika melihat Aksa keluar dengan celana jeans longgar berwarna navy dan hoodie hitam serta rambut dikuncir satu. Lengkap dengan topi hitam dan slingbag yang juga berwarna hitam. Anak rambut disamping telinga tampak berayun pelan. Menghias wajah lugunya yang hanya berpoles bedak bayi.

"Nih!"

"Apa?"

"Hadiah valentine."

"Dari kamu?"

"Menurut lo?"

"Enggak."

"Yaudah. Dari Pak Jov. Tadi ada kurir yang nganter. Katanya sih nggak ada tulisan pengirim kayak biasanya."

Aksa melirik sekilas paket yang dibawa Leon. Kali ini berbeda. Kotak itu terlihat sangat manis dengan permukaan berwarna pink dan gambar gurita lucu yang tengah memanyunkan bibir.

"Ooh. Ayok berangkat," Aksa tampak tak peduli.

"Lah? Terus ini?"

"Kamu bawa pulang aja. Nggak minat."

"Kan orangnya ngirim buat elo, Sa."

"Berarti itu jadi punyaku, kan? Karena udah jadi punyaku, aku kasihin ke kamu nggak bakalan dosa, kan?" Aksara mengangkat alis. Memastikan bahwa pernyataan tersebut adalah suatu kebenaran.

"Gue nggak mau nerima."

"Kenapa nggak mau?"

"Ogah! Dari bungkusnya aja udah ping ping gitu. Gila aja gue nerima kado warna ping. Dari cewek lagi."

"Jangan liat sesuatu dari bungkusnya, Leon."

"Lah lo sendiri gimana? Belum liat isinya udah main ngasihin ke orang lain."

Aksara berdecak. Melihat paket itu saja membuatnya muak. Apalagi harus membuka isi seperti sebelum-sebelumnya. "Aku udah tau isinya apa," jawab Aksa. "Dan aku enggak perlu barang itu."

"Tapi hadiah kan nggak harus sesuai sama keperluan lo."

"Leon... Kamu nggak tau isi kotak itu apa. Dan aku enggak mau nerima."

"Gue tau apa isinya, Sa. Dan gue juga nggak mau nerima."

"Hadiah gaboleh dibalikin!" Aksa masih tak mau kalah.

"Tapi boleh ditolak."

Ah lupakan. Aksara tidak akan menang dalam perdebatan ini. Jadi jadi, apa lagi yang bisa dilakukan selain pasrah? Ia merampas paket yang lebih mirip kado itu dari tangan Leon, kemudian masuk sebentar untuk meletakkannya di meja ruang tamu.

"Ayok!"

Leon mengangguk, diikuti keduanya yang melangkah menuju gerbang.

22 Februari
19.31

"Kok cepet, ya, Leon?"

"Apanya?" Leon menoleh ke jok disampingnya sesaat, lantas kembali fokus mengemudi.

"Sekarang udah tanggal dua dua."

"Terus?"

"Berarti pensi satu minggu lagi, ya?"

Tubuh Leon menegang seketika. Pemuda itu berdehem sekilas. "Lo udah bilang Kak Alfa, kan?"

"Udah."

"Enggak. Maksud gue lo pulang jam segini udah bilang?"

"Ud-" Aksara diam seketika, "Leon Leon stop! Bergenti!" ucap Aksara heboh.

Mendengar interuksi membahana itu, Leon langsung meminggirkan mobilnya. Mau tak mau ikut panik walaupun belum tau apa yang terjadi. Leon semakin panik ketika Aksa melepas sabuk pengaman dan akan beranjak turun. Untungnya masih bisa ia tahan.

"Mau kemana?"

"Frans," jawab Aksa singkat. Lantas kembali berusaha membuka mobil.

Sedangkan di sisi lain, pria bermata sipit yang tengah bersama Aksa itu tak mau kalah. Di luar sedang hujan dan bisa-bisanya Aksa mau keluar sambil menyebut nama Frans. Yang bahkan... Leon sendiri masih belum mengerti ada apa.

"Apanya yang Frans?"

"Itu! Frans ada di Bar!"

"Heh?" –Leon mengernyit tak percaya. "Sa gue tau lo nggak bakal bisa lupain Frans secepet itu. Tapi ya nggak gini jugak caranya. Halu lo tuh kelewatan!"

"Nggak gini gimana maksudnya? Itu Frans beneran ada di bar!!!" Aksa tampak benar benar ingin turun dari mobil sekarang juga. Persetan dengan Leon yang tidak percaya. Karena sejujurnya, Aksa juga membenci matanya dan berharap ia salah lihat.

"Sa! Lo kenal Frans dari kecil, gue tanyak sama lo sekarang, lo percaya Frans pergi ke tempat kayak gitu?"

"Nggak dan sama sekali enggak! Makanya aku mau mastiin."

"Sa... Dengerin gue,"

"Iya aku dengerin. Tapi nantik, habisnya aku kesana."

"Lo mau kemana, Aksara!" Nada suara Leon meninggi. Memberi peringatan bahwa itu sama sekali tidak perlu. "Lo bilang nggak percaya kalo Frans ke sana. Terus apa yang mau lo liat?"

"Aku cuma mau mastiin kalo aku salah liat. Itu aja, Leon."

"Itu artinya lo ragu kan sama sifat Frans?" Mata Leon menatap milik Aksa yang bening berkaca-kaca. "Lo cuma mau mastiin, kan?"

Aksa diam tak menjawab. Hanya menantikan kalimat Leon berikutnya dengan harapan itu adalah kalimat yang akan mengizinkan dirinya untuk turun. Leon bahkan sudah mengunci pintu mobil.

"Lo cuma mau mastiin, kan, Sa?" ulang Leon.

Aksara mengangguk.

"Terus? Misalnya ternyata dugaan kalo lo lagi halu itu salah, lo mau apa?"

Hening

"Kalo itu beneran Frans, apa yang bakal lo lakuin?"

Masih hening. Tidak ada jawaban dari Aksa. Blank.

"Kalo itu beneran Frans... Gimana, Sa? Lo mau marah-marah dan nyuruh dia pulang kayak emak-emak yang nyusulin anaknya demo?"

Aksara membatin, iya juga, sih. Aku turun juga aku mau ngapain?

Aksa memang mengenal Frans sejak mereka balita. Aksa sangat tau siapa Frans dan yang mana seorang Frans. Ia tak mungkin salah liat. Yang tadi itu adalah Frans dan memang orang itu benar benar Frans. Aksara tidak akan pernah salah mengenali mantan sahabatnya. Walaupun kalau boleh berkata apa adanya, Aksa rela menghapus kebanggaan akan fakta kalau dirinya sangat kenal Frans dan akan selalu mengenali Frans. Aksa rela menghapus fakta itu asalkan matanya memang salah lihat.

Faktanya, Aksa tidak melihat Frans-nya sama sekali.

Karena jika orang itu memang Frans, maka tanda pengenal yang Aksa berikan pada pria itu sudah hilang.

Dengan artian, Aksa sudah benar benar tidak mengenal Frans yang sekarang.

Hanya saja, ucapannya pada Leon tadi hanya sekedar alasan. Dengan mengatakan bahwa dirinya hanya ingin memastikan, Aksa berharap Leon akan memberinya izin. Aksara tidak keberatan jika ujungnya Leon akan ikut turun karena itu sudah bisa dipastikan. Tapi sayangnya, itu cuma sebatas angan. Dengan alasan yang dibuatnya tadi, Aksara bukan diantar kesana, tapi justru malah terpojok dengan cecaran pertanyaan dari pemilik kulit putih yang satu ini.

"Lo nggak bisa ngapa-ngapain, Sa," ucap Leon penuh kebenaran.

Memangnya, Aksara bisa apa?

"Gue mohon... Sayangi hati lo sendiri. Lo turun ngga akan berarti apa-apa buat Frans. Justru yang bakal dapet kecewa lebih dalem lagi."

Bukan. Bukannya Leon ingin mengompori dan menyatakan bahwa Frans tidak lagi akan memedulikan Aksa. Namun bagaimanapun juga, disini yang terancam punah adalah ketenangan Aksara. Dan Leon tidak akan bisa menerima itu.

Leon tidak menyalahkan sikap Aksa. Sama sekali tidak. Tapi juga menjadi tanggungjawabnya untuk memastikan Aksara tutup mulut sekarang.

Tentang kebenaran Frans pergi kesana atau tidak, Leon tak peduli. Leon sama sekali tak peduli. Toh Aksa memang sedang banyak pikiran dan hampir semua dipenuhi oleh pria tidak tau malu itu. Dan semua ini sudah cukup. Benar benar cukup.

"Kalo emang itu beneran Frans, cukup  dia yang pergi ke tempat itu. Lo jangan."

•|FRASA|•

Halo selamat pagi, siang, sore , malam!

Kangen kah?

Atau enggak?:"

Aku suka kalo kalian ngirim dm ataupun komen di profil tentang kapan Frasa up. Sayang banget sama kalian T-T

Aku mau jelasin dulu. Sebelumnya makasih banget yang udah baca Frasa sejauh ini. Part part dari Frasa sudah aku ketik. Walaupun belum sampe tamat sih. Tapi untuk beberapa part kedepan sudah tinggal publish aja.

Lah? Tinggal publish kok lama banget? Iya maaf banget ya T-T Aju aja baru sadar kalo udah hampir 1 bulan ngga update. Part yang siap publish emang banyak, tapi aku lagi berhemat ini ceritanya T-T

Jangka waktu updatenya emang aku perpanjang biar nanti ngga bener bener berhenti di tengah jalan selama berminggu minggu. Kenapa? Soalnya beberapa minggu lalu dan beberapa minggu kedepan aku bakalan sibuk pake banget dan dalam jangka waktu yang belum bisa aku tentuin T-T Maaf banget ya T-T

Jadi aku takutnya kalau aku publish seminggu dua kali atau seminggu sekali dalam posisi aku sibuk, pastinya nanti akan ada waktu frasa hiatus bener bener lama mengingat part part lain belum aku rapihin dan belum aku revisi.

Tapi tapi, aku janji. Setelah part ini kalian baca aku bakal usahain buat ngga lama lama updatenya dan aku bakal usahain buat nyisihin waktu buat Frasa.

Oke? Sukses buat kalian semua 💙

Tenang, Aku janji Frasa bakal tamat...

Dan untuk itu aku bener bener butuh dukungan dari kalian. Satu aja vote dan satu aja komentar dari masing-masing kalian adalah alasan Frans sama Aksara bertahan sampe sekarang 💙

Jadi aku mohon dukungannya yang terbaik buat Frasa dari kalian semua.

Terimakasih yang sudah membaca. See you next chapter!!!

Seguir leyendo

También te gustarán

47.4K 11.2K 49
Siapa sangka wajah ayu nan kaku yang ia miliki ternyata topeng penutup ribuan diksi luka. Namanya 'Alkena' sebuah definisi kuat layaknya ikatan rangk...
73.2K 7.3K 73
Naura Rafia Hayden memiliki arti bunga dan cahaya. Dulu ia berjanji akan memberikan cahaya kepada orang lain layaknya kunang-kunang dan ingin seperti...
2.6M 130K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...