FRASA [✓]

By helicoprion_

34.3K 8.3K 9.8K

#1 Frasa [08/04/21] #2 Aksara [11/01/22] Frans Amnesia Musibah tak diminta itu tidak hanya menghilangkan inga... More

Prolog
Part 1: Frasa
Part 2: Titipan
Part 3: Pembawa sial
Part 4: Pindah
Part 5: Larangan
Part 6: Pemberhentian
Part 7: Salah langkah
Part 8: Nanti
Part 9: Lo siapa?
Part 10: Rindu
CAST 💙
Part 11: Salah Paham
Part 12: Pelukan
Part 13: Maaf
Part 14: Genggaman
Part 15: Pilihan
Part 16: Penantian
Part 17: Kecewa
Part 18: Bayangan
Part 19: Rasi
Part 20: Memori
Part 21: Bullshit
Part 22: Isu
Part 23: Tugas Akhir
Part 24: Kecewa
Part 25: Rasa
Part 26: Peringatan
Part 27: Ketakutan
Part 28: Penyebutan
Part 29: Terungkap
Part 30: Keadilan
Part 31: Perintah
Part 32: Pengakuan
Part 33 : Pertanyaan
Part 34: Kekhawatiran
Part 35: Rasa Bersalah
Part 36: Perdamaian
Part 37: Tunda
Part 38: Be mine
Part 39: Status Kepemilikan
Part 41: Perubahan
Part 42: Perlawanan
Part 43: Happy Valentine 💙
Part 44: Tanda pengenal
Part 45: Kalung
Part 46: Paket
Part 47: Kesempatan
Part 48: Kenyataan
Part 49: Akses
Part 50: Perihal Rasa
Part 51: Pamit
Part 52: Lima Belas Juta
Part 53: Pesaing
Part 54: Setelah semua
Part 55: Permintaan
Part 56: happy birthday, Frans (1)
Part 57: Happy Birthday, Frans (2)
Part 58: Aku pulang, ya?
Part 59: Pergi!
Part 60: Titik balik
Part 61: Fakta
Part 62: Menyerah
EPILOG
KARSA

Part 40: Lelah

390 85 110
By helicoprion_

Perhatian!

Diharapkan melihat dan meresapi makba foto fi multimedia dulu ya💙

Oiya satu lagi, jangan lupa baca note di akhir part ini💙

•|FRASA|•

"Frans!"

Pagi ini balkon kelas XI IPA 5 cukup ramai. Guru olahraga yang tidak masuk membuat murid murid kembali ke kelas lebih cepat. Dinding-dinding kokoh berhiaskan jendela kaca siap bersaksi dalam kebisuannya. Menonton dalam diam kelakuan seorang siswi berkulit putih pucat dengan gelombang laut coklat yang menjelma menjadi surai lebat di kepalanya.

Ya. Siswi itu yang baru meneriakkan nama Frans. Pemilik lima huruf nama panggilan yang sejak tadi pagi menjadi sasaran empuk gosip sekolah.

"Frans! Tunggu dulu."

"Frans, ih. Kenapa, sih? Katanya udah damai? Sekarang aku manggil aja engga mau noleh." Aksara terus saja menggetarkan pita suara tanpa tau tempat. Sedangkan sasaran utama gelombang suara itu langsung berhenti. Memutar kaki untuk membawa seluruh tubuhnya menghadap para pemain monopoli yang terduduk tak beraturan di lantai balkon.

"Frans. Aku mau tanya, boleh enggak?" Cewek dengan dasi kupu-kupu sengaja dilonggarkan itu berdiri. Melangkah ke tempat Frans berada.

"Gue udah bilang itu bener, Sa. Mending lo jangan nyari ribut deh," Nata memberi interupsi. Malas jika permainan monopoli nya harus terganggu dengan permasalahan tidak berguna ini. Enggan juga menangani atau sekedar menonton keributan yang akan Aksa buat entah sadar atau tidak.

"Mau nanya langsung ke Frans," –Aksara memalingkan muka.

Teman-temannya merutuk dalam hati. Siapa pula yang tidak tau kalau dirinya tengah berusaha bertanya langsung pada Frans? Hanya gadis bodoh seperti Aksara lah yang perlu diberitahu lebih dulu.

Aksara berpaling dari Nata. Menjadikan sahabatnya ini sebagai satu-satunya objek lihat. "Jujur, Frans. Itu hoax, kan?"

Frans menghela nafas tanpa suara. Detik berikutnya ia menggeleng. Paham betul arti kata ganti "itu" yang dimaksudkan Aksara.

"Heh? Kamu denger nggak aku tanya apa?"

Andai makian pada perempuan adalah suatu hal yang halal, Frans akan melakukannya. Jelas jelas gelengan barusan adalah jawaban. Sedangkan cewek lugu ini malah menganggapnya tuli.

"Denger."

"Jadi itu bener?"

Frans mengangguk kaku.

Semua terjadi begitu cepat hingga pasokan udara di sekitar Aksa langsung terkuras habis. Dadanya sesak. Telinganya berdenging. Tak kuat menangkap gelombang suara apapun di sekitarnya. Mata Aksa berkunang-kunang. Belum lagi air mata yang membuat pandangannya mulai memburam. Aksa bahkan tidak tau berapa lama lagi kakinya akan kuat menjadi penopang tubuh. Harap-harap cemas, berdoa semoga kakinya tidak terserang osteoporosis dadakan.

Kalian pernah merasakan gejala-gejala akan pingsan? Seperti itulah Aksa sekarang.

Aksa menangis. Iya. Satu persatu bulir air dari kedua mata jernihnya mulai berjatuhan. Jika biasanya Aksa benci dikasihani, kali ini tidak.

Aksa berharap dengan menangis, Frans akan berhenti berbohong. Berharap dengan memelas, Frans akan mengatakan bahwa berita yang sudah tersebar sejak pagi tadi hanyalah sebuah lelucon. Berharap dengan menunjukkan kelemahan, Frans akan mengasihaninya dan kembali menjadi Frans-nya.

"Becanda, kan?"

Frans lagi lagi menggeleng. Dengan wajah datar tanpa ekspresi dan mata tajam sejak lahir, Frans juga enggan angkat suara. Gerakan tubuh ia rasa sudah cukup untuk menjawab semua. Siapa sangka, jika dalam kedua saku celananya, tangan Frans terkepal begitu kuat tanpa alasan.

"Kamu bercanda." Aksa berusaha mengelak fakta. Mengulang pola kalimat yang ia gunakan pada Leon kemarin sore.

Kali ini bukan hanya gesture tubuh, Frans juga mengeluarkan suara berupa helaan nafas berat. Tangannya ia keluarkan secara perlahan. Lantas tiga detik kemudian sudah mendarat pelan di kedua bahu Aksa.

"Maaf kalo gue harus jujur. Tapi apa yang lo denger, itu semua bener."

Aksara menggigit bibirnya kuat-kuat. Menahan isakan. Yang nyatanya tidak berguna sama sekali.

Ketika sadar tidak akan ada yang jadi lebih baik dengan menahan isak, siswi kelas sebelas yang terlihat cukup berantakan itu cepat-cepat mengusap pipinya. Menghapus air lengket yang menjadi bukti bahwa sekarang Aksa sedang tidak baik-baik saja.

Ia tersenyum. Mencari sasaran lain untuk ditatap. "Oke," katanya. "Makasih udah dijawab."

Tidak ada respon yang ia terima dari pemuda amnesia itu. Padahal Aksa sangat sangat sangat berharap Frans akan memberikan penjelasan lebih lanjut. Ternyata tidak. Ia menertawakan dirinya sendiri.

Bodoh.

"Ngg, enggak ada yang mau kamu omongin lagi? Aku udah pusing soalnya. Kalo kelamaan berdiri bisa pingsan." Aksa masih berharap dengan beberapa kata terlalu jujur miliknya. Dan Frans masih tidak berminat memberi penjelasan.

"Iya udah. Kalo gitu aku mau ngomong dikit lagi, ya?"

Frans masih menatap datar tanpa respon. Menandakan bahwa dirinya siap mendengar ucapan Aksa berikutnya.

"Aku benci kamu."

Mata Frans membola. Ucapan teman sekelasnya ini benar benar di luar topik pembahasan. Refleks, Frans mundur satu langkah. Menjauhkan kedua tangannya dari bahu Aksa yang terkulai lemas. Dengan netra yang masih setia menyelami sepasang mata bening di hadapannya ini, Frans dibuat mematung.

Detik berikutnya, Aksa sudah mengambil langkah, tapi segera diurungkan oleh wanita itu. "Oh iya, Frans. Satu lagi, deh."

"Long last, ya!" Aksa menyumbangkan senyuman. Berusaha ikhlas.

Sungguh, dua detik setelah itu Aksa tak lagi kuat berdiri. Kesadarannya hilang di tengah tatapan belasan murid Lunar.

Kalau saja tangan Frans tidak sigap menangkap tubuhnya, bisa dipastikan kepala Aksa sudah terbentur pembatas balkon yang terbuat dari besi.

"Minggir, lo!" Nata terlihat sangat kesal. Merepotkan.

"Gue mau bawa dia ke UKS."

"Terus lo pikir gue mau bawa dia ke rumahnya Donald Bebek?" sarkasnya. "Pacar kesayangan lo itu masih di UKS. Mikir dikit kalo mau bawa Aksa ke sana," lanjutnya terlihat sangat geram. Padahal beberapa detik lalu masih cengengesan dengan monopoli kebanggaannya.

Nata menoleh pada Aurel yang kebetulan memiliki posisi paling dekat dengannya. "Nanti kalo Leon tanya bilang aja Aksa pingsan soalnya emang masih sakit."

Bukan apa-apa. Nata tidak sepeduli itu pada Aksa. Dia tidak terlalu suka ikut campur urusan orang lain. Hanya saja, Nata malas menonton keributan lagi.

"Bawa ke UKS bawah aja," balas Aurel setelah mengangguk.

"Iya iya, tau. Gue juga nggak bego kali."

Nata berlalu pergi. Berjalan cepat sambil menggendong Aksa menuruni tangga lantai dua.

"Udah puas, Frans?" Aurel menatap Frans jengah. "Udah puas lo bikin Aksa sakit? Nggak cukup bikin dia sakit hati, lo sekarang bikin dia sakit fisik!"

Frans tak menjawab. Dadanya bergemuruh hebat. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia tidak bersalah. Berusaha mendoktrin otaknya bahwa dia juga memiliki hak untuk mengambil keputusannya sendiri sebagai manusia.

Tapi tidak bisa. Rasa bersalah. Kekhawatiran. Kekecewaan. Kebingungan. Juga bantahan.  Semuanya bercampur jadi satu.

"Kenapa diem? Gue kira dokter yang nanganin lo di rumah sakit udah bikin praktek ilegal. Gue kira dia salah kalo ngasih tau semua orang lo lagi amnesia."

"Karena kalo lo mau tau salah satu ilmu biologi, amnesia itu kehilangan ingatan, Frans. Bukan kehilangan nurani!" Aurel sengaja menggurui.

Sedangkan di sisi lain, Frans hanya bisa terdiam sebagai tanggapan dari kejadian barusan. Frans juga hanya bisa diam membalas orang-orang di sekitarnya yang kini menatap jijik. Mau bagaimanapun, ia sama sekali tidak menyangka kalau efek penerimaan dari Aksara akan segitunya. Frans tidak mengira kalau Aksara bahkan sampai pingsan hanya karena Frans baru saja mengkonfirmasi berita yang beredar di sekolah.

Apakah Frans telah melakukan sebuah dosa hanya karena memilih jalannya sendiri dan berkata jujur? Ia kira tidak.

Tapi kenapa sekarang justru dirinya yang diliputi rasa kecewa?

Langit mendung menaungi setiap sudut ibu kota. Namun tak sedikitpun mendiskon jumlah kendaraan bermotor yang terus berlalu lalang silih berganti.

Frans memutar leher. Bergantian menoleh antara jok di sampingnya dan jalanan depan. Aksara sejak tadi terus saja diam sambil melihat kosong ke arah luar. Terlihat gelisah. Atau..., kesal? Entahlah. Frans harus bertanya untuk memastikan.

"Hei! Kenapa, sih?"

"Frans sukak sama siapa?" tanya Aksa to the point.

Di tempatnya mengemudi, Frans terkejut. Pertanyaan terlalu frontal dan terdengar tanpa dipikirkan sama sekali itu berhasil membuatnya bingung.

Ini bocah ngapa dah tiba-tiba? Batinnya bertanya entah pada siapa.

"Gue?"

"Udah denger ngapain masih nanyak?"

"Kenapa emang?"

"Aku nanya duluan. Jadi harusnya kamu jawab duluan."

"Gue? Sukak sama siapa? Emang perlu ya gue jawab?"

"Frans! Kalo nggak perlu juga nggak bakal aku tanyain."

"Sama lo."

"Ihhh maksudku bukan itu. Sukak sebagai cowok ke cewek."

"Lah lo pikir gue suka sebagai bapak ke anak? Lawak lo, bocah."

Aksa berdecak kesal. Hanya untuk mendapat satu jawaban saja rasanya Frans terlalu berbelit-belit.

"Serius, Frans!"

"Iya iya maap. Nggak suka siapa siapa. Kenapa emang?"

Alis sebelah kiri Frans terangkat naik. Sambil memperhatikan jalan raya di depan yang sebentar lagi akan berujung di pertigaan, Frans melirik Aksa sesaat lantaran tidak terdengar jawaban apapun. Gadis itu tengah memicing tak percaya. Menjadikan dirinya sebagai tawanan mata yang siap dieksekusi mati.

"Kenapa, Sa? Kalopun gue sukak sama cewek, itu lo orangnya."

Aksara tak menjawab. Menyulam pertanyaan mengapa yang semakin memburu di benak Frans.

"Sa? Gue ada salah, kah?"

"Nggak. Cuma tanya doang."

"Kenapa tanya gitu?"

"Katanya Kak Sya tuh, kalo Frans sukak sama cewek nanti yang ada ngurusin ceweknya terus. Apalagi kalo sampe pacaran. Parahnya nanti aku dimusuhi sama pacarmu."

Pertanyaan dalam diri Frans langsung sirna. Digantikan keinginan tertawa yang masih berusaha ia tahan. "Tukang julid kok dipercaya," ujar Frans.

"Ih! Mana ada? Kan kalo dipikir-pikir bener jugak. Kalo kamu punya pacar nanti supir pribadiku ilang. Mau ngerjain tugas bareng nggak boleh. Nginep di rumah juga nggak boleh. Mau ke kafe aja nggak boleh. Pasti ribet entar."

Mendengar penuturan yang selalu polos itu, satu sudut bibir Frans terangkat. Tertawa kecil. Namun tidak mengatakan apapun. Biarkan sebentar saja. Setidaknya sampai ia selesai memberhentikan mobilnya di parkiran Black Room.

Mobil telah terparkir dan tidak ada satupun diantara mereka yang keluar.

"Lo nggak percaya sama gue?" Frans bertanya terdengar serius. Tidak seperti beberapa detik yang lalu. Tangannya masih tergeletak di kemudi mobil dengan tatapan kosong ke depan.

Aksa menggeleng polos. "Sebenernya percaya percaya aja sih. Tapi kalo Kak Sya yang bilang jadi agak ragu."

Frans mendekat. Memperhatikan wajah Aksa yang terlihat sangat menggemaskan jika dilihat dari dekat. "Gue nggak suka siapa-siapa, Sa." Frans berbisik.

"Iya sekarang. Nanti kan juga pasti sukak orang lain. Nggak normal kalo kamu nggak sukak cewek."

Frans kembali tertawa. "Berarti harusnya gue pake analogi dan pertanyaan yang sama dong buat lo?"

"Ya nggak bisa gitu. Kalo aku kan udah pasti nggak bakalan sukak sama orang."

"Berarti lo yang nggak normal."

"Katamu nggak boleh, kan?"

"Mau taruhan? Kalo ternyata nanti lo yang nemu pacar duluan gimana?"

Aksa tampak berpikir. Diam sejenak. "Ya enggak gimana gimana," ucapnya beberapa detik kemudian.

"Ribet emang kalo urusan sama cewek."

"Kamu tuh yang ribet. Kan nggak adil. Kamu kalo ngga ada aku tetep bisa jaga diri. Tapi aku kalo ngga ada kamu kan bakal repot." Aksara mengeluh.

Helaan nafas panjang Frans hembuskan. Diiringi tangannya yang menarik keluar kacamata Aksa agar lebih leluasa menatap netra bening itu.

"Sa. Lo liat mata gue?" tanya Frans.

"Aku enggak buta."

"Nggak buta, kan? Lo liat di sana ada apa?"

"Kornea, Iris, Pup—"

"Sa," panggil Frans.

"Hng?"

"Gue nggak lagi nanya itu."

Aksara membuang muka. Memalingkan wajah dan bergeser ke arah pintu mobil untuk menghindari tatapan intens milik Frans. Yang mana mungkin sebentar lagi dirinya bisa tersedot ke dua lubang hitam itu. "Terus apaan?"

"Lo liat disana ada siapa?"

"Nggak ada siapa-siapa."

Tangan Frans beralih menarik kencang hidung Aksara. Membuat perempuan yang masih berseragam putih abu-abu itu kembali menatapnya. Tak peduli mendapat protes dari gadis yang hidungnya mulai sedikit memerah tersebut.

"Frans apaan, sih?!"

"Makanya kalo disuruh liat itu yang bener. Nggak usah sok-sokan liatin keluar."

"Suka suka aku dong. Aku yang punya mata."

"Gitu kah? Emang di luar liat apaan?"

"Tuh Ferarri," Aksa menuding kendaraan mahal yang terparkir di sebelah mobil sahabatnya itu menggunakan dagu. Walaupun sebenarnya jelas bukan itu yang Aksa lihat. Sama sekali tidak tertarik. Aksa bahkan bisa membelinya sekarang juga. Hanya saja, alibi adalah hal yang wajib menemaninya jika sudah berhadapan dengan Frans yang berucap mulai serius.

"Ferrari nya mau parkir atau lewat dimana aja juga pasti banyak yang liat. Itu mobil nggak kurang-kurang diliatin orang," kata Frans. Ia tau betul Aksara tidak akan peduli dengan apapun barang mahal di sekitarnya.

"Beda sama gue. Itu Ferarri selalu jadi pusat perhatian. Kalo lo jugak merhatiin dia, terus gue siapa dong yang merhatiin?

"Iya iya! Berisik banget jadi orang."

"Ada siapa?" Frans mengulang pertanyaannya untuk ke sekian kali. Masih menuding kedua matanya sendiri.

"Aku."

"Terus? Siapa lagi?"

"Aku doang."

"Nah. Itu tau," —Frans mundur untuk melepas sabuk pengamannya. "Ayok keluar."

"Keluar? Diluar banyak orang. Kalo tadi cuma ada aku, otomatis kalau kamu keluar bakal banyak yang kamu liat, kan? Aku suruh liatin kamu terus. Kamu ngajak keluar biar bisa liat orang lain. Adil banget si jadi orang?" Aksara menyindir.

Siswa yang baru saja hendak membuka pintu mobil itu berhenti sejenak. Mengulum bibir dan menahan tawa. Bukannya ikut mendebat kekesalan Aksa, Frans justru merasa sangat gemas. Jarang jarang Aksa akan protes dengan sesuatu yang terdengar sangat sepele begini. Nanti, Frans akan berterimakasih pada Risya.

"Segitu nggak percayanya, ya?" —Frans terkekeh pelan. "Atau lo segitu nggak maunya kehilangan gue?"

Damn. Frans sudah tau jawabannya saat melihat ekspresi wajah Aksa yang sudah sangat dia hafal. Pemuda itu tertawa lepas seketika. "Oalah... Sa, Sa. Kita tuh temenan udah dari bayi. Lain kali kalo cemburu bilang aja. Nggausah malu-malu." Frans merapikan Surai coklat gelap sahabatnya.

"Siapa jugak yang cemburu. Orang aku cuma nanya kamu sukak sama siapa. Lagian nggak ada yang harus aku cemburuin jugak. Buang buang waktu."

"Lupa ya kalo lagi ngomong sama dukun?" tanya Frans pongah. Semakin melebarkan senyumnya.

Tangan Frans menarik kunciran rambut Aksa tanpa aba-aba. "Kalo gitu kita buat kesepakatan." Frans tertawa pelan. Menampilkan gurat wajah yang begitu manis.

"Lo punya gue. Dan gue punya lo."

Aksara reflek membalas tatapan hangat Frans yang sejak tadi tidak teralih sedikitpun darinya.

"Nggak satupun diantara kita boleh pacaran, kecuali gue yang nembak lo duluan," lanjut Frans.

Meneguk salivanya. Ragu. Itulah yang Aksara lakukan sekarang. "Janji?"

"Janji."

Seorang siswi yang sejak dua jam lalu terbujur kaku di UKS lantai satu baru saja membuka kelopak matanya.

Hening.

Suara nafasnya pun tidak terdengar. Berusaha menikmati ketenangan yang ada di sekitar sekarang. Berharap perasaannya membaik.

Tapi apa semua semudah itu?

Ternyata tidak.

Aksara Aurellin Pradikta namanya. Ia mengalihkan pandangan. Melirik jam dinding yang terus saja berdetak tanpa kenal lelah.

Ah... Tanpa kenal lelah. Aksa memaki dalam hati. Pantaskah kalimat itu digunakan untuk menggambarkan suatu hal yang bukan malaikat? Aksa kira tidak. Bahkan jam dinding sekalipun akan lelah suatu saat nanti. Seperti Aksa sekarang.

Jika yang lalu semua perkataan dan perilaku Frans masih bisa ia toleransi, sekarang tidak lagi. Keduanya sama sama pernah melanggar janji dan Aksa kira ini semua sudah impas. Bahkan terlalu berlebihan.

Selama ini Aksara diam karena ia sadar semua yang terjadi adalah karena kesalahannya. Dan yang paling penting, Aksara menyayangi Frans tanpa perlu alasan. Tapi sekarang, keadaan sudah berbalik. Justru terlalu banyak alasan yang memaksanya untuk berhenti.

Hari ini Frans sudah benar benar memilih. Dan Aksa kira, dirinya juga harus segera melakukan hal yang sama. Kalau Frans mengambil tindakan yang bisa melukainya, Aksa sama. Ia akan mengambil tindakan untuk melindungi hatinya. Dan paling tidak satu hal yang Aksa tau. Bahwa perilakunya tidak akan seburuk Frans. Paling tidak pilihan yang Aksa ambil tidak akan melukai siapapun. Paling tidak pilihan yang ia ambil tidak akan membuatnya tampak egois seperti yang dilakukan Frans.

Kalau ditanya siapa yang lebih baik antara dirinya dan Frans, dulu Aksa akan selalu menjawab kalau ia bukan apa-apa tanpa Frans. Namun sekarang keliru. Aksa bisa berdiri sendiri. Lebih tepatnya, Aksara harus bisa berdiri sendiri. Beberapa bulan Frans amnesia dirasa cukup untuk memberikan latihan hingga Aksa benar benar harus lepas tangan.

Dan kini, hari itu tiba. Sekarang, hari itu telah sampai di hadapan Aksara. Yang artinya mau tak mau Aksara harus memilih.

Aksara memilih berhenti.

"Kok kesini?"

"Aku?" Aksa menunjuk dirinya sendiri.

"Iya lah."

"Aku ke sekolah buat belajar. Bukan buat tiduran di UKS cuma gara-gara masalah sepele," jawab Aksa cuek. Terlihat tidak ingin membahas.

"Tapi lo masih sakit. Masih pucet gitu. Apa mau pulang aja? Gue anterin."

"Leon!" tegas Aksa. "Aku bukan bayi yang lecet dikit langsung ngerengek minta gendong!"

Beberapa teman sekelasnya yang paham dengan ucapan Aksa menahan tawa. Ada juga yang terang-terangan mengompori.

"Sa, lo beneran gapapa?" Leon masih tak yakin. Yang ia tanyakan bukan karena Aksa sedang sakit. Tapi tentang berita yang membuat perempuan itu sakit.

"Muka aku keliatan baik-baik aja, nggak?"

"Enggak," jawab Leon jujur.

Padahal bukan itu jawaban yang Aksa harapkan. Siswi itu mendengus malas. "Aku nggak papa. Nggak penting jugak buat dibahas."

"Tap–"

"Leon..." –Aksa menatap jengah. "Udah, ya? Gausah dibahas."

Leon akhirnya setuju dengan permintaan Aksa. Mungkin memang Aksara butuh waktu. Dan ada kalanya Leon tidak berhak untuk ikut campur terlalu jauh. Ini sudah diluar batas teritorial urusannya.

Leon menoleh ke bangku belakang. Ingin mengetahui ekspresi Frans ketika Aksa baru saja kembali dari UKS. Tapi sepertinya pria itu tampak tak tertarik memperhatikan. Lebih sibuk menulis sesuatu di buku yang Leon bahkan tak peduli dan tidak akan pernah peduli tentang apa itu.

"Oh iya. Nanti kamu pulang sendiri ya, Leon."

"Nggak jadi gue anterin?"

Aksa menggeleng. "Ada urusan."

"Sama Frans?"

"Aku nggak gila, kali." Aksa memutar bola mata.

"Oh... Sama..."

Tanpa perlu melanjutkan, Aksa sudah mengangguk mengiyakan. Tak perlu diberitahu juga ia mengerti nama siapa yang akan Leon ucapkan.

"Maaf, ya?"

"It's your choice," –Leon mengelus rambut Aksa pelan. "Btw Frans tau tentang ini?"

"Bukan kepentingan dia buat tau dan bukan kewajibanku buat ngasih tau," jawab Aksa terdengar sangat lelah. "Lagian ngasih tau dia jugak percuma. Aku udah bisa nebak jawabannya."

Leon menatap Aksa tak enak. Merasa bodoh sudah menanyakan hal tersebut di situasi yang kurang menguntungkan ini. "Yang kuat, ya?" Leon mencoba menyemangati.

"Nggak!" sergah Aksa cepat.

"Udah nggak bisa kuat lagi. Capek, Leon."

"Jadi?"

"Kamu pernah bilang kalo capek suruh istirahat, kan? Aku nggak mau istirahat."

Leon masih tak mengerti. Namun memilih untuk menyimak dan menjadi pendengar yang baik untuk ke sekian kalinya.

"Aku maunya berhenti."

Oh, itu... ucap Leon dalam hati. Ia tersenyum maklum.

"Nggak apa-apa. Wajar kok, Sa. Wajar banget malah. Dan gue ngga kaget kalo misalnya emang lo milih berhenti. Udah sejauh ini dan capeknya juga pasti ngga kehitung." Leon membasahi bibir. Memberi jeda.

"Jadi gue ngga bakal kaget kalo misalnya lo lebih milih buat berhenti."

Aksa menatap manik mata Leon dalam-dalam. Membayangkan apa yang akan terjadi jika Leon tidak ada disini.

•|FRASA|•

Tuh yang kemaren-kemaren pada protes Aksa bego, Aksa kebaikan, Frans kejam, Sania ngeselin, dan kawan-kawannya👻

Udah aku turutin permintaan kalian. Akhirnya setelah menunda kekesalannya Aksa untuk beberapa part, sampai juga di part "Lelah"

Udah capek Aksa nya👻

Udah wakunya Frasa selesai👻

Mau minta pendapat serius dong. Jawaban kalian akan berpengaruh terhadap kelanjutan dari Frasa :")

Jadi jawab jujur dan tolong dijawab ya teman-teman 🌧️

Sejauh ini, aku tau readers Frasa banyak yang pasif dan aku ngga masalah tentang itu.

Tapi aku minta yang kali ini tolong jawab di kolom komentar sebagai pertimbanganku sendiri ya :"
Jawab satu kata aja gapapa kok. Dan kalau misalkan kalian ngga ada minat ke cerita ini, ngga perlu dibalas. Jadi pertimbanganku akan menyesuaikan jumlah komentar kalian di bawah 👻

Cuma aku pingin tau, seberapa pingin kalian Frasa aku lanjutin?

Rate Frasa 1-10

Sekian, terimakasih💙

Sampai jumpa di part 41

Continue Reading

You'll Also Like

Lazy Boy By MARE

Teen Fiction

3.2K 776 36
Kinan merutuki nasibnya gara-gara didepak oleh sekolah dari perwakilan olimpiade sains. Ini semua akibat kesalahan yang dilakukannya di tahun lalu. A...
2.2K 1.8K 54
Mengisahkan tentang murid kelas 10, yang menyukai guru PPL nya. ✦ ✦ ✦ ❝ terkadang labirin luka itu harus kau tinggalkan, apakah tidak tertarik denga...
10.2K 793 42
Judul awal "Love Me, Please" Senandung nada "Syair Dukacita" merupakan musik yang hanya dapat didengarkan, dunia terus berputar. Namun, mengapa rind...
5.7K 927 53
sabtu, 9 mei 2020 SEPENGGAL CERITA INI BERDASARKAN KISAH NYATA KEHIDUPAN PENULIS. FOLLOW DULU SBLM BACA YUK terkadang banyak orang yang iri dengan or...