FRASA [✓]

By helicoprion_

34.3K 8.3K 9.8K

#1 Frasa [08/04/21] #2 Aksara [11/01/22] Frans Amnesia Musibah tak diminta itu tidak hanya menghilangkan inga... More

Prolog
Part 1: Frasa
Part 2: Titipan
Part 3: Pembawa sial
Part 4: Pindah
Part 5: Larangan
Part 6: Pemberhentian
Part 7: Salah langkah
Part 8: Nanti
Part 9: Lo siapa?
Part 10: Rindu
CAST 💙
Part 11: Salah Paham
Part 12: Pelukan
Part 13: Maaf
Part 14: Genggaman
Part 15: Pilihan
Part 16: Penantian
Part 17: Kecewa
Part 18: Bayangan
Part 19: Rasi
Part 20: Memori
Part 21: Bullshit
Part 22: Isu
Part 23: Tugas Akhir
Part 24: Kecewa
Part 25: Rasa
Part 26: Peringatan
Part 27: Ketakutan
Part 28: Penyebutan
Part 29: Terungkap
Part 30: Keadilan
Part 31: Perintah
Part 32: Pengakuan
Part 33 : Pertanyaan
Part 34: Kekhawatiran
Part 35: Rasa Bersalah
Part 37: Tunda
Part 38: Be mine
Part 39: Status Kepemilikan
Part 40: Lelah
Part 41: Perubahan
Part 42: Perlawanan
Part 43: Happy Valentine 💙
Part 44: Tanda pengenal
Part 45: Kalung
Part 46: Paket
Part 47: Kesempatan
Part 48: Kenyataan
Part 49: Akses
Part 50: Perihal Rasa
Part 51: Pamit
Part 52: Lima Belas Juta
Part 53: Pesaing
Part 54: Setelah semua
Part 55: Permintaan
Part 56: happy birthday, Frans (1)
Part 57: Happy Birthday, Frans (2)
Part 58: Aku pulang, ya?
Part 59: Pergi!
Part 60: Titik balik
Part 61: Fakta
Part 62: Menyerah
EPILOG
KARSA

Part 36: Perdamaian

433 85 61
By helicoprion_

•|FRASA|•

Disinilah Risya sekarang. Di dalam mobil hitam disertai hujan menyelimuti setiap sudut ibu kota. Dengan kilat marah pada mata yang berapi-api. Mahasiswi jurusan sastra tersebut memukul setir mobilnya kesal. Semua berantakan.

Risya menyayangi adiknya. Sangat sayang. Itulah sebabnya Risya benci ketika Frans berubah hanya karena kondisi yang tidak berpihak pada mereka. Dan untuk ke sekian kali, Risya dibuat cukup heran dengan tingkah adik satu-satunya. Bagaimana mungkin Frans bisa begitu percaya pada Sania, ketika bahkan semua orang di sekitarnya mengatakan Aksara adalah sahabatnya.

Apa suara semua orang kalah dengan suara Sania? Memangnya kita sedang membahas wakil rakyat?

Risya melirik ponselnya yang masih saja berdering. Dimana awal deringan ponsel ini beberapa menit lalu membuatnya berhenti di depan gang perumahan.

Frans menelfon.

Setelah semua yang terjadi hari ini? Oh ayolah.... Risya bahkan bingung harus bilang apa pada Aksara nanti. Apalagi pada keluarganya. Dan yang Risya tau, hari ini ada tamu. Keluarga Alfa katanya. Yang jika melihat pada Fakta, Risya tak kenal siapa mereka.

Sengaja. Iya. Risya sengaja mengatakan pada Frans bahwa hari ini akan ada tamu dari luar negeri. Agar Frans tidak mencari alasan ketika disuruh menjemput Aksara di bandara. Dan benar saja. Frans setuju. Mengiyakan tanpa syarat layaknya Jepang yang menyerah pada sekutu.

Tapi sekarang, Risya kelimpungan. Merasa bersalah. Risya sadar mungkin jika dirinya tidak memiliki ide gila untuk berbohong pada Frans, Aksa akan baik-baik saja. Pulang bersama Pak Jov seperti sebagaimana mestinya. Tanpa melibatkan seorang Frans Arelta yang nyatanya hanya berujung luka.

Flashback On

Dua jam sebelumnya

"San. Gue beneran ngga enak kalo harus ninggalin Aksa."

"Kan bisa nyuruh satpam?"

"Masalahnya yang janji gue, bukan Pak Jov," ucap Frans membantah.

"Lo dulu juga janji ke gue perasaan, tapi juga batal, tuh."

"Besok aja gimana? Janji. Sumpah janji," ucap Frans masih memaksa.

Mau tak mau, Sania mengiyakan apa yang Frans minta. Mereka kembali masing-masing. Pulang sendiri sendiri dengan agenda dadakan yang lagi lagi tidak terjadi.

Melihat jam yang masih menunjukkan pukul setengah satu siang, Frans memilih pulang dulu. Paling tidak untuk mengganti baju dan menukar motornya dengan mobil. Siang ini tidak terlalu cerah. Dan sepertinya akan hujan. Selain itu ia ada niatan untuk makan di luar saja. Sambil mencoba memastikan ada apa dalam dirinya.

Setelah sampai di teras, Frans menatap heran beberapa sepatu yang tertata rapi. Ah iya, Frans baru ingat bahwa hari ini akan ada tamu. Dari Sidney katanya? Akhirnya, ia memilih masuk melalui pintu belakang.

Namun belum sempat berbalik, Frans tak sengaja mendengar tawa ayahnya yang dibarengi beberapa orang.

"Masih proses, om. Doa in aja anaknya mau."

Kenal. Frans kenal suara itu milik siapa. Kakak kelas yang sudah beberapa kali membuatnya kesal. Termasuk ketika membawa Aksa pulang malam sembarangan.

"Ya pasti, lah."

Oh..., batin Frans. Jadi itu orang serius sama Aksa? tanya lagi entah pada siapa.

Mood Frans untuk memasuki rumah ini seketika raib. Padahal, ayahnya bilang akan ada kolega dari luar negeri. Tapi sekarang, kenapa justru kakak kelas menyebalkan ini yang ada di rumahnya? Cuih..., malas sekali. Apalagi jika topik pembahasannya tentang Alfa dan Aksara. Sama sekali tidak berguna. Frans akan lebih memilih rumahnya dijadikan tempat penampungan kucing daripada tempat singgah seorang Alfa yang nama panjangnya saja ia tidak tau.

Lagian baru hari pertama di semester dua. Apa pria itu tidak sekolah? Apa orang itu tidak ada kerjaan selain menghancurkan mood Frans?

Beberapa detik berlalu, hanya ada suara pria paruh baya yang tengah menelfon seseorang. Frans masih setia menguping di pinggir jendela. Walaupun dari sini, suara pria itu tidak terdengar jelas. Berbeda dengan suara Alfa dan ayahnya tadi.

"Apa mau saya jemput, om? Barangkali Frans nya capek. Disuruh pulang duluan aja."

Oh Tuhan.... Frans memutar bola mata jengah.

Modus! batin Frans memaki. Gak punya muka, ya, mas? Kok harus nyari dulu?

Ah sudahlah, lagipula ayahnya pasti mengiyakan. Mungkin ini akibat dari Frans yang tidak pernah menepati janji pada Sania.

Urusan Aksa, biar Alfa yang menyelesaikan. Toh, cewek itu bukan anak kecil. Dan jika pembahasan disini saja tentang Alfa dan Aksa, seharusnya tidak ada alasan penolakan untuk menjemput Aksara. Lagipula dia sendiri yang menawarkan.

Dalam diam, Frans jadi teringat percakapannya dengan Leon di rumah sakit.

Tentang Leon yang menyukai Aksara. Tentang Aksa yang menyukainya. Tentang Leon yang mengatakan dia bukan siapa siapa selama di hidup Aksa ada dirinya. Tentang Leon yang menitipkan Aksara padanya. Walaupun di ujung percakapan Frans sudah menegaskan bahwa tidak bisa mempercayai Aksara sedikitpun, kali ini Frans tau satu hal.

Bahwa yang seharusnya diajak bicara oleh Leon bukanlah dirinya. Tapi kakak kelas yang saat ini tengah bertamu ke rumahnya.

Bagi Frans, orang yang ditakdirkan untuk menjaga Aksara adalah Alfa. Bukan Frans.

Aksa menoleh. Mendapati Risya yang masuk ke kamarnya sambil membawa bungkusan plastik putih.

"Lo nggak papa?"
.
"Ck! Kenapa sih pada heboh? Aku tuh cuma kehujanan," keluh Aksa serius.

Kembali ke fakta, Aksa tidak suka dikasihani. Karena pada dasarnya Aksara yakin, kalau saja orang tuanya masih ada dan Frans tidak hilang ingatan, semua orang tidak akan se peduli ini padanya.

Sekarang entah apa yang harus Aksa rasakan. Miris karena sadar bahwa dirinya tidak punya siapa siapa?

Atau justru bersyukur masih banyak orang yang sayang padanya?

Karena.... Tidak bisa dipungkiri bahwa ketika satu persatu orang yang Aksa sayang telah pergi, atensi semua orang mulai beralih padanya. Seolah menunjukkan bahwa Aksa butuh orang-orang untuk berada di sekitarnya.

"Belum makan, kan? Nih!"

"Apa ini?"

"Sejak kapan lo tanya-tanya soal makanan? Biasanya oke oke aja tuh."

"Mana ada. Aku nggak makan seafood."

"Ya kalo itu gue juga udah tau kali," –Risya memutar bola mata, "nih makan."

"Ngapain repot-repot? Aku bisa masak sendiri."

"Tengil banget jadi orang. Kalo bisa tapi nggak mau juga apa gunanya, dodol?"

"Cari duit susah, Kak Sya."

"Duit gue banyak. Sampe bingung ngehabisinnya gimana."

"Dih, tengil banget jadi orang?" Aksa menahan tawa. Menirukan ucapan Risya beberapa detik lalu. Tangannya membuka bungkusan plastik yang dibawa Risya.

Dua cup rice box, satu termos besar, yang Aksa duga isinya adalah minuman bermerk rasa oreo, juga lengkap dengan dua gelas plastik kecil di atas cup rice box.

"Di rumah aku juga ada gelas kali  Aksa lagi.

"Berisik banget lo. Tinggal makan aja ribet."

Kepala Aksa ia tolehkan pada tetangganya tersebut. Ternyata Risya tengah membaringkan tubuh di kasur queen size miliknya.

"Kak Risya jugak belum makan, kan?"

"Gue udah."

"Lah ini dua buat siapa?"

"Buat lo semua. Masak buat Kayla?"

"Ya nggak habis lah, Kak."

"Ya Allah.... Berisik banget ini orang. Udah, diem! gue mau tidur!"

Aksa mengangkat alis. Aksa sangat mengenal Risya. Ia tau Risya tidak serius dengan marahnya dan segala ucapannya barusan. Tapi Aksa tau kalau Risya tengah emosi hari ini.

Gadis itu tidak bertanya lebih jauh. Nanti, Risya akan bercerita dengan sendirinya jika dirasa perlu. Sedangkan kalau Risya tidak cerita, berarti itu bukan hal yang perlu Aksa tau. Aksara Aurellin Pradikta cukup sadar batasannya sampai dimana.

"Aneh, ya, gue?"

"Hng?" Lagi lagi Aksa mengalihkan atensinya pada Risya. Sambil menyeruput segelas minuman yang ternyata benar adalah hot choco oreo.

"Lo tau Frans kemana?"

"Kalo tau aku nggak akan nunggu kali, Kak," ucap Aksa tanpa beban. "Kenapa emang?"

"Nggak papa. Binder gue di pinjem buat tugas bahasa minggu lalu. Sampe sekarang belum dikembaliin, padahal kan gue butuh."

Alis Aksara kembali terangkat naik. Gelombang gelombang tipis mulai terbentuk di dahinya. "Tugas bahasa?"

"Heem." Risya bergumam.

"Tugas bahasa apaan deh, kak? Masuk sekolah juga baru hari ini. Dan selama liburan kita nggak dikasih tugas bahasa, kok."

Nah loh.

Berniat keluar dari topik pembahasan yang keliru ia pilih, Risya justru semakin salah bicara. Gadis itu menggigit bibir. Memutar otak. Berpikir cepat.

"Lah? Kagak ada? Berarti gue yang dibohongin dong?"

Oke. Risya dan segala ucapan melanturnya. Mau tidak mau memfitnah Frans harus ia lakukan sekarang. Daripada nanti Aksa harus tau apa yang dilakukan Frans kali ini, kan?

"Kesel banget, ya?"

"Iya lah anjir. Gue butuh buat nyusun skripsi."

"Em–"

"Sa..."

Dua perempuan dengan selisih umur tiga tahun itu saling tatap. Sama sama hafal itu suara siapa.

Ya. Frans namanya. Frans Arelta Dwi Sanjaya.

"Aksa...," panggil pria itu lagi dari luar pintu. "Lo lagi tidur?"

Aksa masih menatap Risya. Alisnya diangkat sesaat, meminta pendapat apa yang harus ia lakukan. Menjawab, atau pura pura tidur.

"Berani?" tanya Risya yang paham arti tatapan Aksa.

"Enggak," jawab Aksa kelewat polos. Ia menggigit bibir dalamnya.

Mendengar jawaban pemilik kamar ini, Meirisya memutar bola mata malas. "Emang sama sama bocil," gumam Risya pelan.

"Gue nggak bisa di sini. Lo selesaiin berdua."

"Keluar gih, kak. Bilang aku perlu istirahat."

"Oke."

Risya turun dari kasur. Menatap Aksa sebentar, lantas berjalan untuk membuka pintu. Melihat itu, Aksa meletakkan rice boxnya. Merebahkan tubuh di sofa panjang dengan rambutnya yang terurai.

"Ditunggu Aksa. Awas aja sampe bikin nangis lagi!" ancam Risya di depan kamar.

Mendengar hal itu, Aksa terjengkang kaget. Langsung secepat mungkin mengembalikan posisinya seperti sedia kala. Bahkan sekarang, gadis itu duduk dengan begitu tegak. Secepat mungkin meraih ponsel ketika pintu lagi lagi terbuka dari luar. Aksa menyalakan benda pipih tersebut sebagai pengalih perhatian.

"Sa?"

"Hng?"

"Gue boleh masuk?"

"Boleh."

Netra bening Aksa memerhatikan Frans yang semakin mendekat. Rambut kecoklatan pria itu sedikit basah. Dari sini, Aksa sadar satu hal. Bahwa seragam putih abu-abu masih melekat di tubuh Frans.

"Ada apa?"

Bukannya menjawab, Frans malah melirik meja belajar Aksa. Rice box yang sudah terbuka namun isinya masih penuh.

"Kenapa nggak dihabisin?"

"Nggak mood."

"Gara-gara gue?"

Aksa tampak berpikir. Wajahnya sedikit merah. Bukan karena malu, tapi karena suhu tubuhnya mulai naik sekarang.

"Kayaknya sih gitu," duga Aksa. Tak berminat bohong sama sekali.

"Kalo gue keluar? Lo mau makan?"

"Kayaknya sih tetep enggak."

"Kenapa?"

"Lidah aku agak pait."

"Lo sakit?"

"Menurut kamu?"

Helaan nafas panjang Frans hembuskan. Iya. Memang disini dirinya yang salah. Frans tidak akan memungkiri itu. Dan seharusnya, Frans tidak perlu bertanya kondisi Aksa. Karena sudah terlihat jelas. Sweater rajut hitam polos dengan rambut agak basah terurai rapi. Wajah pucat yang sedikit memerah. Hidung dan mata juga cukup merah. Lengkap dengan kantung mata yang menghitam.

Frans meraih rice box tersebut. Kemudian duduk di sofa sebelah Aksa tanpa dosa. "Makan, Sa."

"Aku udah bilang enggak mood."

"Sa."

"Kalo kesini cuma buat maksa aku makan, mendingan enggak usah. Aku makin nggak nafsu kalo ada kamu."

"Oke," jawab Frans. "Gue keluar."

Aksa mengangguk. Berusaha tak peduli.

"Tapi sebelum itu, gue mau minta maaf."

"Minta maaf? Untuk?"

"Harusnya tadi siang gue jemput Lo ke bandara, kan?" –Frans tersenyum sungkan. Pria itu tampak membasahi bibir. Melihat kondisi makhluk menyebalkan di depannya sekarang membuat hati Frans agak tergores.

"Harusnya? Emang siapa yang ngeharusin?"

Frans mengangkat sebelah alis. Tak mengerti.

"Nggak usah minta maaf. Bukan hak ku buat ngatur kamu mau jemput apa enggak."

"Tapi lo punya hak buat nagih janji gue, Sa."

Di tempatnya, Aksa mulai heran sendiri. Bukankah seharusnya keadaan ini terbalik? Seharusnya Aksa yang mengomel karena tidak dijemput. Dan Frans yang membantah keras kepala dengan argumen bahwa itu bukan kewajibannya.

"Kamu nggak janji ke aku. Aku aja enggak tau kalo kamu yang mau jemput."

"Tetep aja, Sa."

Ya Tuhan..., ngeyel sekali makhluk-Mu yang satu ini. Apa dunia sedang melawak sekarang?

"Lupain."

"Lo nggak papa?"

Enggak, ujar Aksa dalam hati.

"Cuma butuh istirahat."

"Beneran?"

"Kok jadi cerewet, sih?"

Frans tak menjawab dengan suara. Malah mengangkat tangan, yang detik berikutnya sudah menempel di jidat Aksa.

"Lo panas."

"Terus?"

Iya juga sih, terus kenapa emang kalo dia panas? tanya Frans dalam hati. Dan berakhir ia yang kelimpungan mencari jawaban.

"Lo maafin gue, kan?"

"Nggak ada yang perlu dimaafin karena kamu enggak salah."

"Sa."

"Ya?"

Frans bingung. Apa lagi yang harus dia katakan? Walaupun sejak tadi ia mendapat respon dari Aksa, rasanya masih tidak nyaman. Dan Frans sangat merasa bersalah.

Ditambah lagi, pikiran Frans yang dihantui hal hal tidak berguna akhir-akhir ini. Membuat kepala Frans sedikit berat. Jika kalian kira amnesia ini sangat menyiksa, maka ya. Kalian benar. Sangat benar malah.

Frans merasakan hal tersebut. Terapi yang ia ikuti entah berhasil atau tidak. Yang jelas, Frans mengingat beberapa potongan hal. Ia juga tidak paham. Sebenarnya memang ada beberapa jenis amnesia, atau semesta yang sama sekali tidak berpihak padanya? Karena di setiap kejadian yang ada di mimpi Frans, selalu saja masih belum bisa mengingat personil personil pendukung dalam kejadian tersebut. Frans bahkan harus berpikir keras untuk memperkirakan, bahwa itu hanya sekedar bunga tidur atau memang memori yang sedikit terlintas dalam otaknya.

Dan entah kenapa, berada bersama Aksa sekarang membuatnya merasakan kembali mimpi mimpi itu. Membuatnya mengingat bagaimana setiap pukul sebelas malam dia harus terbangun untuk mematikan alarm, dan berakhir dengan sadar bahwa mimpinya terasa nyata.

Padahal, itu sama sekali tidak penting untuk di pikirkan sekarang.

"Nggak jadi ngomong?"

Tidak ada jawaban. Pemuda di hadapannya ini masih saja memperhatikannya tanpa ekspresi. Menyelami mata bening Aksara yang di dalamnya hanya ada Frans seorang.

"Frans? Denger, nggak?"

"Denger kok," balas Frans penuh kesadaran.

"Mau ngomong apaan?"

"Kalo misalnya besok besok gue bikin kesalahan lagi, Lo mau maafin, nggak?"

"Ada gitu ya kesalahan direncanain?"

Mendengar jawaban sekaligus pertanyaan Aksa, Frans terkekeh pelan. Menampilkan estetika yang semakin menjadi jadi di wajahnya. Membuat Aksa mengangkat alis keheranan, namun ikut tersenyum tanpa sadar.

Iya. Aksa menjadi alasan Frans tertawa hari ini.

Walaupun cewek itu tidak tau apa yang ditertawakan Frans, tapi cukup membuat hatinya menghangat.

"Gue nggak ngerencanain kok. Cuma antisipasi aja. Kayaknya kesalahan gue banyak banget."

"Sadar?" sarkas Aksa.

"Iya sadar."

"Tapi nih ya, kayaknya aku deh yang lebih banyak salah ke kamu. Coba pikir? Kalo kamu yang marah, berarti aku yang salah, kan?"

Oke. Kembali lagi Frans harus merajut tanda tanya besar dalam benaknya. Mempertanyakan pola pikir Aksa. Mempertanyakan kepribadian Aksa. Mempertanyakan kebenaran tentang sifat gadis di hadapannya.

Apa memang inilah Aksara?

Atau, hanya untuk mencari muka?

Tidak. Jangan salahkan Frans jika otaknya bertanya tanya. Karena untuk yang ke sekian kali, Frans kembali dibuat berspekulasi. Bukan apa-apa. Tapi memang bagi Frans, pola pikir Aksara sangat tidak normal sebagai seorang manusia.

Coba saja pikir. Semua orang berdebat untuk saling lempar batu sembunyi tangan. Saling menuduh dan mengalihkan kesalahan. Merasa paling suci dan menjadi simbol kebenaran.

Tapi tidak dengan Aksara, tuh. Gadis ini seolah haus kesalahan. Merasa bahwa semua adalah salahnya dan semua yang dilakukan orang lain adalah hal yang wajar. Tidak normal, kan? Jadi jangan salahkan kalau kalau Frans mempertanyakan.

"Lo belum jawab pertanyaan gue."

"Yang mana?"

"Kalo nanti gue ada kesalahan lagi, Lo masih tetep mau maafin?"

Aksa tampak berpikir lagi. "Iya," katanya.

"Kalo kesalahan gue fatal? Hari ini aja gue bikin lo sakit."

"Kemaren kemaren juga udah bikin sakit kok, Frans."

Yang diajak bicara tersenyum kecut. Benar, terlalu banyak Frans menyakiti hati gadis di hadapannya. Bahkan sekarang, berani beraninya Frans menyakiti Aksa secara fisik.

"Maaf."

"Nggak usah di ulang-ulang. Polusi suara."

Netra tajam Frans memerhatikan Aksa yang fokusnya teralih ke arah ponsel. Pria itu ikut melirik, mendapati nama Leon di room chat Aksa kali ini. Dan Frans memilih diam. Menunggu. Seketika teringat akan kontak Aksa yang masih ia blokir. Hingga selang beberapa detik, Aksa kembali menoleh ke arahnya.

"Frans."

"Apa?"

"Mau tau sesuatu, nggak?"

"Kalo tentang Leon mendingan enggak deh."

"Bukan. Tentang kamu."

"Gue? Kenapa?" –Frans mengangkat alis tebalnya.

"Kamu aneh hari ini."

Oke. Bukan hanya Aksa yang merasa seperti itu. Frans juga merasa dirinya aneh. Memalukan. Setelah tiga Minggu tidak bertemu dan berhubungan dengan Aksa sana sekali, Frans mulai memikirkan banyak hal. Termasuk apa yang akan ia sampaikan sekarang.

"Iya. Gue aneh. Sekarang mau gantian, nggak?"

"Hah?"

"Gue yang ngomong."

"Nggak paham." Aksa mengadu. Menuntut penjelasan Frans secara halus.

"Lo mau tau sesuatu?"

"Apa?"

"Gue pingin damai."

"Maksudnya? Kamu mau mati?"

Frans menggeleng. Tidak tertawa sama sekali dengan respon Aksa yang lebih mirip lelucon.

"Damai, Sa."

"Apa, sih? Nggak ngerti aku."

"Ayo damai, Aksara."

•|FRASA|•

Hwehweee... Cukup di sini aja jangan endingnya? Udah damai nih 💙

Atau, maunya kalian gimana?

Damai?

Atau jangan?

See you next chapter 💙

***

Oiya, mau ngomong sesuatu:)

Semangat yang mau UAS. Kalau kalian masih UAS, tolong seberapa banyakpun Frasa update kalian jangan baca dulu ya. Fokus ke UAS kalian dulu. Yang kuliah juga gitu. Bacanya kalau Free aja ya :"

Seriusan, aku seneng kalo kalian nunggu Frasa update, tapi aku ngga seneng kalo gara-gara aku kalian jadi lupa sama tugas utama.

Oke? Deal? Semangat ya yang lagi belajar, lagi kuliah, atau udah kerja.

Semangat buat kalian semua yang masih hidup💙

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 123K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
73.2K 7.3K 73
Naura Rafia Hayden memiliki arti bunga dan cahaya. Dulu ia berjanji akan memberikan cahaya kepada orang lain layaknya kunang-kunang dan ingin seperti...
566K 27.2K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...