FRASA [✓]

By helicoprion_

34.3K 8.3K 9.8K

#1 Frasa [08/04/21] #2 Aksara [11/01/22] Frans Amnesia Musibah tak diminta itu tidak hanya menghilangkan inga... More

Prolog
Part 1: Frasa
Part 2: Titipan
Part 3: Pembawa sial
Part 4: Pindah
Part 5: Larangan
Part 6: Pemberhentian
Part 7: Salah langkah
Part 8: Nanti
Part 9: Lo siapa?
Part 10: Rindu
CAST 💙
Part 11: Salah Paham
Part 12: Pelukan
Part 13: Maaf
Part 14: Genggaman
Part 15: Pilihan
Part 16: Penantian
Part 17: Kecewa
Part 18: Bayangan
Part 19: Rasi
Part 20: Memori
Part 21: Bullshit
Part 22: Isu
Part 23: Tugas Akhir
Part 24: Kecewa
Part 25: Rasa
Part 26: Peringatan
Part 27: Ketakutan
Part 28: Penyebutan
Part 29: Terungkap
Part 30: Keadilan
Part 31: Perintah
Part 32: Pengakuan
Part 33 : Pertanyaan
Part 35: Rasa Bersalah
Part 36: Perdamaian
Part 37: Tunda
Part 38: Be mine
Part 39: Status Kepemilikan
Part 40: Lelah
Part 41: Perubahan
Part 42: Perlawanan
Part 43: Happy Valentine 💙
Part 44: Tanda pengenal
Part 45: Kalung
Part 46: Paket
Part 47: Kesempatan
Part 48: Kenyataan
Part 49: Akses
Part 50: Perihal Rasa
Part 51: Pamit
Part 52: Lima Belas Juta
Part 53: Pesaing
Part 54: Setelah semua
Part 55: Permintaan
Part 56: happy birthday, Frans (1)
Part 57: Happy Birthday, Frans (2)
Part 58: Aku pulang, ya?
Part 59: Pergi!
Part 60: Titik balik
Part 61: Fakta
Part 62: Menyerah
EPILOG
KARSA

Part 34: Kekhawatiran

416 86 93
By helicoprion_

|FRASA|•

"Sialan!"

Sania mengumpat untuk yang ke sekian kali. Sudah hari ke lima liburan dan Frans lagi lagi tidak bisa diajak bertemu. Memangnya apa yang akan dilakukan anak SMA ketika liburan selain rebahan? Ketika Sania tanya sekalipun, Frans menjawab dengan alasan yang berbeda setiap harinya.

Seperti saat ini. Gadis berparas ayu ini menatap ponsel gold-rose nya kesal. Tiga pesan yang baru saja masuk dari Frans membuatnya kembali naik pitam.

Frans✨

Maaf banget, San.

Gue hari ini mendadak nggak bisa.

Lain waktu, ya.

Sania tertawa miris. Bisa gila dia lama lama. Matanya menoleh ke arah cermin besar di pintu lemari.

Rambut lurus sebahu. Kulit putih. Dress sedikit di atas lutut berwarna hitam dengan blazer putih sebagai pelengkap. Tak lupa sling bag rotan berwarna putih tulang bermotif bunga.

Sania memperhatikan penampilannya sambil terus terusan tersenyum miris. Dua hari yang lalu juga terjadi hal yang sama. Frans membatalkan janji seenak jidat tanpa sekalipun memikirkan perasaannya.

Sesulit itukah meluangkan waktu untuk Sania?

Beberapa detik, Sania masih saja menatap cermin. Hingga nada dering ponsel membuyarkan lamunannya. Ia lagi lagi tersenyum, kali ini senyum remeh. Diikuti jarinya yang menggeser tombol terima panggilan dari Frans secepatnya. Tapi tak mengatakan apapun.

"San, gue minta maaf banget, ya? Bener bener mendadak."

"..."

"Gue janji besok."

"Nggak usah juga nggak papa," jawab Sania pelan.

"Beneran? Ya udah kapan kapan aja, ya? Bye, San! Duluan ya, gue buru buru."

"F-"

Tut!

Sania menatap layar ponselnya tak percaya. Segitu mudah? Tidakkah Frans sadar bahwa kalimat tadi hanya suatu sindiran? Dan cowok ini. Malah dengan santainya mengucapkan kalimat kalimat berikutnya tanpa rasa berdosa sedikitpun.

Lo kenapa, sih? tanya Sania dalam hati.

"Apa?"

"Santai, dong! Sewot amat."

"Cepetan atau gue matiin."

"Gue di rumah sakit, lo kesini bisa?"

"Emangnya lo bayi?"

"Yang nyuruh lo ngejenguk gue juga siapa? Ini tentang Aksa."

Frans mematung di tempatnya duduk kali ini. Membayangkan apa-apa kemungkinan yang terjadi pada tetangganya itu. Sudah tiga hari Aksara tidak pulang. Sudah tiga hari juga sejak Frans terakhir kali bertemu dengan Aksara pagi itu.

"Rumah sakit mana?"

Frans segera melepas sabuk pengaman yang tadi sudah terpasang. Ia turun dari mobil dan berlari kecil untuk mengambil sepeda motor biru nya. Semua orang tau betul bagi siapapun yang terburu-buru, sepeda motor jauh lebih efektif.

Sebelas menit berlalu sejak Frans memilih membelah jalanan kota dengan sepeda motor. Dan di menit ke dua belas inilah, ia baru sadar. Kalau hari ini ada janji dengan Sania.

Bahkan tadi, Frans sudah memasuki mobil untuk berangkat menjemput Sania. Pria itu berdecak sebal. Kemudian menepi untuk memberi kabar.

Maaf banget San.
Gue hari ini mendadak nggak bisa.
Lain waktu, ya.

Hoodie putih bertuliskan Nerdy membuatnya semakin gerah ketika tau pesannya hanya dibaca oleh Sania. Enggan mencari masalah dan berlama-lama, pilihan Frans adalah menelpon sahabatnya tersebut.

"San, gue minta maaf banget, ya? Bener bener mendadak."

"..."

"Gue janji besok."

"Nggak usah juga nggak papa"

"Beneran? Yaudah kapan kapan aja ya? Bye, San! Duluan ya, gue buru buru."

"F-"

Tut!

"Maaf, San. Lain waktu," gumam Frans bermonolog. Ia secepatnya menyalakan mesin motor menuju ke rumah sakit tempat Leon berada saat ini. Ia bersyukur Sania bisa menerima kejadian pagi ini.

Buku biru bercover paus yang ada di pangkuan Aksa baru saja tertutup. Gadis itu tersenyum simpul.

Suara deburan ombak menyentuh lembut gendang telinganya secara berkala. Angin kencang dengan matahari bulat bersinar terik tepat di atas kepala. Laut itu menyenangkan. Bahkan hanya dengan menatapnya, Aksa bisa merasakan ketenangan. Seperti Frans dulu.

Senyum di bibir Aksa belum juga menghilang. Jari-jari kaki perempuan itu menyisir pasir di bawah gazebo yang tengah ia duduki.

Hari ini menyenangkan. Sangat menyenangkan malah. Sayangnya, gadis dengan celana jeans hitam dan kaos katun lengan panjang bergambar ilustrasi pohon kelapa membuatnya kepanasan ini tidak terlalu bersemangat.

Siapapun yang melihat pasti langsung tau kalau Aksa sedang banyak pikiran. Entah pikiran yang membuatnya bahagia, ataupun malah memberatkan kepala. Kerjaannya cuma sebatas melamun sambil tersenyum simpul. Sebentar lagi tertawa hambar dengan tatapan kosong.

Cewek ini. Yang biasanya akan selalu ceria dan mudah bergaul, hari ini hanya sebatas berkenalan dan mendengarkan materi. Sebelum besok, dirinya harus mulai bertanggungjawab dengan observasi dalam tiga hari ke depan.

"Hei! Anything wrong?"

"Eumh? Nothing, master! Sorry," jawab Aksa pelan. Wajahnya menunjukkan gurat rasa bersalah.

"My i sed here?"

"Your place, Master."

"What's wrong? Is that about your boyfriend?"

"No. I don't, miss. He's not my boyfriend," ucap Aksa disertai gelengan pelan, "but my best Friend."

"Ooh. Friendzone."

Aksa menoleh pada wanita di sebelahnya yang tengah tertawa jenaka. Tak paham.

"Call me Ana." wanita itu menjulurkan tangan. Yang mana langsung disambut Aksa dengan senyum ramah.

"And you are?"

"Aksa. Aksara Aurellin Pradikta. I think it must be better if i call you master, right?"

"What a beatutiful name," Ana tersenyum antusias.

"Jadi, bisa kita berbicara bahasa Indonesia saja?"

"I can speak Indonesia. I understand what have you said. But it's hard to pronounce it."

Aksa menyetujui. Ia paham maksud Ana. Karena dia pun begitu. Mengerti jika ada orang lain berbicara bahasa Inggris, tapi sangat sulit mengucapkan. Yang mana mungkin, nantinya akan terdengar lucu.

"So, what's happened with your Friend?"

"Dia amnesia."

Dua kata yang Aksa ucapkan membuat Ana meringis.

"And you gonna be here right now?"

"Bukan itu masalahnya," -Aksa menarik nafas berat. "He didn't know who i am. Even i said that my name is Aksa and i'm is her best friend, he was hated me more and more."

"What are you doing on here?! Aylmer has been looking for you."

"Right now?"

"As i said!" Jawab pria itu tegas. Aksa memperhatikan kedua orang tersebut yang terbilang mirip dari segi wajah.

"Sorry," ucap Ana. "Senang berkenalan denganmu. Dan pasti akan menyenangkan mendengarkan cerita tentang sahabatmu. Tapi pimpinanku memanggil."

Aksa hanya mengangguk sambil tersenyum. Memperhatikan Ana yang melangkah menjauh darinya. Aksa tidak sengaja melirik nametag di seragam pria yang baru saja menjemput Ana.

Ocean Circinus

Cakep banget namanya! Aksa memekik dalam hati. Lagi, gadis itu menyalakan ponsel. Yang mana langsung menampilkan roomchat dengan seorang pria pemilik pasangan kalung Aksa.

Frans🌊

Hari pertama baru materi

Lainnya dijenguk keluarga. Kamu nggak kesini? Kamu doang lo keluargaku.

Kok masih di blokir, sih? Gak seru ah.

Frans nggak baik ngambek ke orang lain lebih dari 3 hari

Pamali

Entar susah dapet jodoh lho.

Nantik jodohnya diambil orang.

Pernah tau azab nyuekin sahabat gak sih, Frans?

Nggak pernah?

Mau aku kasih tau?

Nih ya. Cobak nonton film azab.

Ada tuh. Aku pernah liat.

Judulnya "Akibat menyakiti sahabatku, jodohku diambil temanku."

Nah tuh. Emang kamu mau kayak gitu?

Enggak, kan?

Makanya jangan kebanyakan nyuekin orang.

Masak udah berbulan bulan masih aja diblokir.

Betah amat.

Terakhir kali ke pantai masih bareng kamu btw.

Ih, kok kacang sih?

Yaudah deh maap ganggu.

Cuma mau minta ijin aja, aku bakal spam tiap hari.

Aku anggep aja room chat sama kamu sebagai buku harian.

Enggak bakal kamu baca jugak, kan?.

Oh iya, Frans. Kamu harusnya kesini jugak.

Salah satu masternya ada yang namanya Ocean Circinus

Kompas laut, bukan? Cakep kan?

🌊🌊🌊

"Aksa mana?"

"Jalan jalan ke Bunaken."

"Jangan bercanda, Sat!"

"Kenapa lo? Khawatir?"

Frans tidak menjawab apapun. Hanya menatap lawan bicaranya nyalang.

"Kamar nomer berapa?"

"Gue tanya, lo khawatir?"

"Gue jugak nanyak! Kamar nomer berapa?! Aksa kenapa?!"

Leon tertawa kecil melihat tingkah mantan sahabatnya ini, diikuti satu kalimat yang membuat Frans dilanda kebingungan mencari alasan.

"Gue tanyak duluan. Jadi harusnya lo jawab duluan."

"Gue udah tanyak dari awal kesini. Aksa mana?!"

"Nah, yang itu udah gue jawab. Dia lagi jalan jalan ke Bunaken. Sekarang gue yang nanya sama lo. Kenapa, Frans? Khawatir?"

Frans geram dengan Leon yang terus berbelit-belit. Mau tak mau dirinya harus mengalah.

"Iya! Puas, lo?!"

"Ooh, bisa khawatir ternyata," -Leon terkekeh pelan, "duduk dulu sini. Gue mau ngomong sesuatu," -Leon mengarahkan dagunya ke kursi besi di taman rumah sakit. Tepat di hadapannya.

"Tinggal jawab kan Aksa di kamar nomer berapa. Gausah berbelit-belit!"

Suara helaan nafas panjang dari lawan bicaranya bisa Frans dengar menelusup telinga. Mengusik.

"Gue udah bilang, dia lagi di Bunaken. Manado, kalo lo nggak tau," ucapnya serius. Memberi imbuhan seakan akan Frans tidak mengerti dimana posisi taman laut Bunaken.

Melihat Frans yang sudah mengepalkan tangan, Leon dibuat semakin ingin tertawa. "Gue serius," tambahnya meyakinkan.

Akhirnya setelah sekian lama, Leon kembali melihat aura mengerikan dalam diri Frans jika ada sesuatu menyangkut Aksara. Setelah sekian lama, gurat kawatir bercampur emosi itu bisa Leon lihat lagi di wajah Frans Arelta Dwi Sanjaya. Setelah sekian lama, Frans masih belum bisa menghilangkan bayang bayang Aksa dalam hidupnya.

Tentu saja. Bagaimana bisa? Jika Aksa masih terus ada di sekitarnya walaupun tidak Frans inginkan.

"Terus ngapain lo nyuruh gue kesini, Sat?!" -Frans maju. Mencengkeram kerah kemeja abu-abu milik Leon. Ciri khas seorang Frans jika sedang marah.

"Kan gue udah bilang. Tentang Aksa."

"Lo bilang Aksa nggak di sini! Mulut lo emang minta di solder, ya?!"

"Lo bisa tenang?"

Perlahan tapi pasti, Leon melepaskan genggaman Frans pada kemeja mahalnya.

"Ngeliat lo yang kayak gini, coba deh lo pikir, Frans. Bagi diri lo sendiri, Aksa itu siapa?"

"Bukan urusan lo!"

"Iya. Bukan urusan gue. Tapi akan jadi urusan gue kalo lo nyakitin orang yang gue sukak," sanggah Leon tegas.

"Dan lo jugak, ngapain dateng dateng marah-marah? Gue kan nggak bilang Aksa masuk rumah sakit. Gue cuma bilang ini tentang Aksa, kan? Gue nggak bilang dia masuk rumah sakit."

Di tempatnya, Frans lagi lagi mematung. Tidak bisa menjawab karena memang nyatanya, apa yang dikatakan Leon adalah suatu hal yang seratus persen benar.

"Btw harusnya gue yang marah sama lo, Frans. Gara-gara lo cewek yang gue sukak sedih mulu jadinya."

"Gue kasih lo kesempatan buat nyangkal sebelum gue lanjutin," kata Leon.

Satu menit

Dua menit

Frans masih tidak mengatakan apa-apa. Tapi memilih duduk di bangku depan Leon. Bukan kuasa Frans untuk mengatur isi hatinya. Dan kali ini, hatinya memilih tetap tinggal. Mendengarkan semua yang akan dikatakan Leon sampai akhir.

Ego Frans kalah. Pada akhirnya, ia juga yang gelagapan. Dan Frans sadar. Kalau nanti dirinya pasti akan uring-uringan sendiri karena rasa penasaran. Jadilah sekarang, Frans harus benar benar menekan ego.

"Oke gue anggep nggak ada," -Leon membuka dua kancing kemeja bagian atas. "Aksa lagi di Manado sekarang. Dia bilang sih reward 5 besar artikel terbaik. Sekaligus seleksi. Gue nggak tau si itu pastinya dia ikut lomba apaan. Tapi dia baik-baik aja kok. Ini barusan dia bilang baru berangkat ke pantainya."

Ada rasa kesal dalam diri Frans ketika tau bahwa Aksa lebih memilih memberi kabar apapun pada Leon. Sedangkan dirinya saja tidak tau Aksara pergi ke Manado.

"Nggak usah iri. Siapa suruh lo blokir nomer dia," -Leon mengedikkan bahu. Seolah mengerti apa yang ada dalam pikiran teman sekelasnya ini.

"To the point aja bisa?"

"Gue bakal pergi."

Frans tak merespon apapun. Hanya menunggu ucapan berikutnya yang akan dikatakan Leon.

"Cepet atau lambat, gue nggak bisa ada bareng sama Aksa terus. Lo tau, Frans? Setiap lo bilang Aksa murahan, setiap hari itu juga gue makin kesel sama lo. Kayak lo tuh nggak ada niatan sama sekali buat buka mata dan ngeliat satu hal dari sudut pandang lain. Nggak pernah sekalipun lo coba buat balik posisi. Nggak ada juga tuh keinginan buat review semua kejadian selama ini. Gue bener, nggak?"

"Kalo lo gak paham maksud gue, coba lo pikir pikir lagi. Awal ketemunya lo sama Aksa waktu lo amnesia. Frans yang dengan gampangnya ngusir dia bahkan di hari pertama kalian ketemu. Coba lo inget-inget, Frans. Seberapa banyak lo udah nyakitin dia. Hanya karena fakta kalo dia cuma cewek ceria yang masuk kamar lo tanpa ngetuk pintu."

"Lo nggak percaya? Wajar. Emang bener. Lo lagi amnesia dan nggak seharusnya gampang percaya sama orang yang baru lo temui. Tapi kalo kalo lo lupa nih, ya. Lo segitu percayanya sama Sania."

"Nggak usah bawa-bawa Sania!"

"Oke. Gue fokus ke lo sama Aksa. Sekarang coba lo hitung. Berapa kali lo ngebentak dia di depan umum? Di hadapan orang banyak? Berapa kali lo marah-marah sama dia dengan alasan yang nggak jelas?"

"Awalnya gue maklum. Mungkin emosi lo nggak stabil karena ngga bisa nerima kenyataan kalo ingatan lo lagi bermasalah. Tapi makin kesini, maaf, Frans. Gue juga nggak bisa diem aja."

Frans termenung di tempatnya. Ucapan panjang lebar dari Leon terus saja berputar-putar dan memenuhi setiap sudut kepala Frans yang membuatnya mendadak pening.

"Lo terlalu egois hanya karena lo amnesia, Frans. Kalo lo mempertanyakan kenapa semua orang ngebelain Aksara, itu karena dia emang pantes dibela. Dan karena apa yang dia omongin itu semuanya bener. Wajar kalo dia dibela."

"Gue sebenernya nggak tau apa yang lo pikirin tentang Aksa. Sikap lo labil soalnya. Tapi kalo lo mau tau," -Leon menggantung kalimatnya

"Iya. Gue sukak sama Aksa. Sukak banget."

"Tapi kalo lo juga mau tau, selama ada lo di hidup dia, gue bukan siapa siapa. Bahkan nanti kalo gue mati sekalipun gue yakin dia nggak bakal nangis."

"Gue sadar diri, Frans."

"Bagi Aksa, gue bukan orang yang pantes masuk di list orang-orang pentingnya Nggak akan bisa dibandingin sama lo yang seolah udah jadi pusat dunianya."

"Sekarang, gue mohon. Giliran lo yang sadar diri," -Leon menatap serius. Tepat ke manik mata tajam Frans yang jarang sekali berkedip.

"Lo maksa gue?" Tanya Frans datar.

"Enggak. Ngapain juga maksa? Gue nggak punya kepentingan buat itu. Gue cuma mau ngomong aja si. Aksa punya perasaan ke lo lebih dari temen. Gue nggak tau dia nganggep lo sahabat, atau hal lain. Yang jelas dia bilang kalo hubungan persahabatan itu paling penting."

"Terserah lo mau percaya apa enggak. Tapi gue minta satu hal dari sekarang. Kalo lo nggak bisa jadi Frans yang dia mau, minimal jangan sakiti dia tiap hari. Minimal jangan kasar sama dia."

"Sekarang gantian gue yang tanyak. Boleh?"

"Komunikasi dua arah nggak ada salahnya, kan?" jawab sekaligus tanya Leon sesaat setelah dia mengangguk.

Frans mengangguk. "Sedeket apa lo sama Aksa?"

"Cuma sebates temen sekelas. Temen sebangku. Kenapa? Cemburu kan lo kalo Aksa deket sama gue?"

Frans tidak menjawab. Yang mana hal tersebut membuat Leon mengangguk paham.

"Dari awal gue nggak sukak sama cara lo ngerespon niat baik Aksa. Gue udah bilang kan tadi kalo makin kesini gue makin kesel? Tapi makin kesini jugak, gue sadar satu hal. Kalo sekasar apapun sikap lo ke dia, lo sama Aksa ngga bisa dipisahin. Dan selama masih ada lo, Frans. Nggak sehelai pun rambut Aksa berhak gue miliki."

"Lo ada rasa kan sama itu anak?"

"Enggak," kata Frans.

Tau, lanjutnya tanpa suara.

"Mana mungkin enggak. Hari ini aja lo udah kayak orang kesurupan. Gue tanya nih. Kalo nggak ada rasa, ngapain sikap lo gini amat? Maksa maksa gue ngomong Aksara di kamar mana. Padahal gue sama sekali nggak ada bilang Aksa sakit."

Frans bungkam. Tidak bisa membantah. Bahkan ketika ia tanyakan pada dirinya sendiri, Frans belum bisa menemukan jawabannya. Kenapa dirinya bisa begitu linglung? Bahkan rela meninggalkan janji dengan Sania hanya karena telfon dari Leon.

Sudah berkali kali Frans bertanya pada dirinya sendiri. Tapi tetap tidak ada jawaban yang terlintas.

"Mau gimanapun lo berusaha ngelak, ngga bakal ada yang bisa ngilangin fakta kalo lo naruh rasa lebih buat dia."

"Dan kalo boleh gue kasih saran, jangan bikin malu diri lo sendiri kalo nanti ingatan lo udah balik."

Masih tidak bisa memberikan respon. Andai bisa, Frans ingin mencari air sebanyak banyaknya untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak kering. Pasokan udara di sekitarnya menipis.

Lidah Leon ini. Benar benar seperti pedang yang berhasil menusuk relung hati Frans yang paling dalam. Benar benar berbanding terbalik dengan lidah Frans yang mendadak kaku.

"Lo diem gue anggep sebagai jawaban iya."

Lama merenung, akhirnya otak dan hati Frans mulai memberikan reaksi. "Gue nggak tau," kata Frans jujur.

"Gue sempat berpikiran kalo yang diomongin Aksa itu bener," Frans menggantung ucapannya. Membasahi bibir sambil menatap Leon yang terkejut. Terlihat sangat tertarik dengan topik pembahasan.

"Gue coba pastiin ke dia tentang satu hal yang harusnya bisa jadi jawaban semua. Tapi justru jawaban dia yang bikin gue hilang respek."

"Lo tau, Yon? Seketika gue ngerasa bego udah berpikiran kalo omongan itu cewek emang bener," -satu sudut bibir Frans terangkat. "Ternyata gue salah besar."

Leon dibuat semakin terkejut, "kapan? Lo tanya apa emang?"

"Lo nggak perlu tau gue tanya apa. Beberapa hari lalu. Dua atau tiga mungkin?"

Ekspresi Leon tidak lagi bisa dijabarkan. Antara terkejut, tidak percaya, juga penasaran.

"Gue bahkan nggak bisa bedain omongan dia yang mana bener mana bohong. Kalo lo tanya tentang perasaan, gue gak bisa jawab. Tapi kalo lo nyuruh gue percaya," -Frans menghela nafas, "gue nggak bisa."

"Karena kayak yang gue bilang. Waktu gue nyobak percaya sekalipun, Aksa sendiri yang maksa gue buat matahin kepercayaan itu."

"Dan lo tau, Yon. Walaupun bukan gue, siapapun juga bakal mikir ribuan kali buat punya rasa sama orang yang bahkan nggak bisa dia percaya, kan?"

•|FRASA|•

Hai! Apa kabar kalian? Semoga sehat selalu dan pandemi ini segera berakhir :)

Ayo kenalan sama Ocean Circinus di word sebelah><

Leon sama Frans tinggalin aja, biar ribut sendiri. Mending kalian baca Sean 💙

Satu kata untuk Part ini?

See you next part

Love my readers

~cio~

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.9M 329K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
1.5M 129K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
10.4K 794 42
Judul awal "Love Me, Please" Senandung nada "Syair Dukacita" merupakan musik yang hanya dapat didengarkan, dunia terus berputar. Namun, mengapa rind...
1.1M 44.8K 15
Selama tiga bulan mendatang, Miya Gantari harus tinggal serumah dengan empat pria tampan, sebagai pembantu rumah tangga mereka. Kira-kira kejadian ap...