FRASA [✓]

By helicoprion_

34.3K 8.3K 9.8K

#1 Frasa [08/04/21] #2 Aksara [11/01/22] Frans Amnesia Musibah tak diminta itu tidak hanya menghilangkan inga... More

Prolog
Part 1: Frasa
Part 2: Titipan
Part 3: Pembawa sial
Part 4: Pindah
Part 5: Larangan
Part 6: Pemberhentian
Part 7: Salah langkah
Part 8: Nanti
Part 9: Lo siapa?
Part 10: Rindu
CAST 💙
Part 11: Salah Paham
Part 12: Pelukan
Part 13: Maaf
Part 14: Genggaman
Part 15: Pilihan
Part 16: Penantian
Part 17: Kecewa
Part 18: Bayangan
Part 19: Rasi
Part 20: Memori
Part 21: Bullshit
Part 22: Isu
Part 23: Tugas Akhir
Part 24: Kecewa
Part 25: Rasa
Part 26: Peringatan
Part 27: Ketakutan
Part 28: Penyebutan
Part 29: Terungkap
Part 30: Keadilan
Part 31: Perintah
Part 33 : Pertanyaan
Part 34: Kekhawatiran
Part 35: Rasa Bersalah
Part 36: Perdamaian
Part 37: Tunda
Part 38: Be mine
Part 39: Status Kepemilikan
Part 40: Lelah
Part 41: Perubahan
Part 42: Perlawanan
Part 43: Happy Valentine 💙
Part 44: Tanda pengenal
Part 45: Kalung
Part 46: Paket
Part 47: Kesempatan
Part 48: Kenyataan
Part 49: Akses
Part 50: Perihal Rasa
Part 51: Pamit
Part 52: Lima Belas Juta
Part 53: Pesaing
Part 54: Setelah semua
Part 55: Permintaan
Part 56: happy birthday, Frans (1)
Part 57: Happy Birthday, Frans (2)
Part 58: Aku pulang, ya?
Part 59: Pergi!
Part 60: Titik balik
Part 61: Fakta
Part 62: Menyerah
EPILOG
KARSA

Part 32: Pengakuan

443 95 111
By helicoprion_

•|FRASA|•

Ponsel dengan casing biru milik Aksa terus saja berbunyi. Sampai sekarang, Frans masih berdiam diri di depan supermarket. Mobilnya terparkir asal-asalan. Yang penting tidak mengganggu pengendara lain. Ia seolah tak memiliki tujuan bahkan untuk sekedar pulang.

Lelah mendengar nada yang sama berulangkali, ia memutuskan untuk meraih ponsel yang tergeletak di dasbor mobil tersebut.

Leonardo

Frans berdecak sebal. Mata elangnya hanya menatap tanpa minat ke arah layar ponsel tersebut hingga nada dering berakhir.

27 missed call from Leonardo
6 missed call from Malvino
4 missed call from Kak Alfandra

"Segitu pentingnya dia di hidup orang orang?" tanya Frans entah pada siapa.

27 missed call from Leonardo adalah satu-satunya hal yang menjadi fokus utama Frans. 23 Pesan baru di aplikasi chat berwarna hijau tidak ia hiraukan sama sekali. Juga satu notifikasi surel yang sama sekali tidak minat ia buka. Namun tak sengaja, jari Frans menekan satu surel yang sepertinya juga baru masuk tersebut. Dan lagi, ponsel Aksa sama sekali tidak terkunci.

Benar benar ceroboh.

Saat ponsel tersebut sudah memasuki aplikasi G-mail dan membuka satu surel baru itu, Frans tidak membacanya sama sekali. Pertama, karena itu bukan haknya untuk mencari tau. Bukan haknya untuk membaca. Juga bukan haknya untuk mengetahui. Dan yang kedua, itu sama sekali bukan urusan Frans.

Pria berseragam khas SMA Swasta mahal itu kembali dibuat geram dengan satu panggilan yang terus saja menampilkan nama yang sama.

Leonardo

Sebenarnya, mereka berdua se dekat apa?

Luna Kharisma
10.49


Diberitahukan kepada seluruh siswa siswi Lunar untuk segera meninggalkan area sekolah. Selamat berakhir pekan dan selamat berlibur.

Sekali lagi, diberitahukan kepada siswa siswi Luna Kharisma agar segera meninggalkan area sekolah. Selamat berakhir pekan. Selamat menikmati penghujung tahun. Dan selamat berlibur.

Leon menghela nafas kasar. Bagaimana dirinya bisa pulang sedangkan Aksa saja tidak ada dimana-mana. Tidak mungkin Aksara pulang duluan karena yang Leon tau, tasnya masih ada di kelas.

Dia bahkan sudah mengecek ke kamar mandi putri. Menyuruh dua orang siswi melihat ke dalam. Sayang, hasilnya sama saja. 5 dari 6 bilik di kamar mandi putri kosong. Sedangkan satu bilik lagi isinya bukanlah Aksara Aurellin Pradikta.

Leon masih setia diam di tempatnya beberapa menit kemudian. Ia mengangkat ponselnya yang berbunyi. Menunjukkan nomor Alfa yang kini tengah menghubunginya. Pemuda itu teringat Alfa mengatakan harus menghadiri acara perusahaan nanti malam, dan ada yang harus ia urus sebelum itu. Jadi Alfa sudah pulang beberapa menit sebelum pengumuman barusan berkumandang.

"Aksa ada sama gue," ungkap Alfa tanpa ba-bi-bu.

"Kok–"

"Lo pulang, Yon. Itu permintaan Aksa," sergah Alfa cepat. "Dia baik-baik aja. Gue yang bakal nganterin dia pulang. Dan dia nggak mau lo khawatir."

"Lo dimana? Tas Aksa masih ada di g–"

Tut!

Leon berdecak semakin kesal. Tapi juga bersyukur bahwa Aksara baik baik saja. Ia kemudian berjalan cepat menuju parkiran. Bersamaan dengan siswa siswi lain yang berlalu lalang hendak segera pulang. Tangan kanan Leon menenteng ransel Navy dengan motif fox milik Aksa. Berniat untuk langsung mengembalikan ke rumah gadis itu. Atau mungkin, sekadar menitipkan di satpam.

Nanti Leon akan bertanya apa yang terjadi.

Liburan hari kedua. Dua hari juga Aksara tidak memegang ponsel. Dua hari ini yang dilakukan Aksa hanyalah membuka beberapa surel yang masuk. Rata-rata berisi tentang progres perusahaan, pemberitahuan, dan pembaruan koordinat di beberapa aplikasi navigasi laut miliknya. Tentunya terdaftar dalam satu email yang sama.

Seperti sekarang. Aksara tengah menghadap laptop di taman belakang rumahnya bersama 5 ikan koi raksasa kesayangan mamanya dulu. Kayla? Entahlah. Sepertinya sudah tidur. Netra coklat terang gadis itu kembali menatap puluhan surel laporan progres perusahaan setelah memperhatikan ikan koi nya sesaat.

Pradikta's Group
Kevanche's Progress
Emirza's Group
Luna Kharisma
Glacial Seventeen
PTT Transmigrasi

Hanya itu itu saja isinya. Aksa selalu mengecek Email setiap malam. Dan email ini tidak pernah ia gunakan untuk hal hal yang tidak terlalu penting. Seperti Instagram, Twitter, juga sosial media lainnya. Aksa juga tidak pernah mendaftarkan Email ini untuk aplikasi aplikasi editor, aplikasi belanja online, atau apapun yang memerlukan email untuk mendaftar.

Ia mulai bosan. Tidak ada yang bisa dikerjakannya sekarang selain bernafas, berkedip dan merenung. Mempelajari laporan perusahaan di saat seperti ini sangatlah tidak menarik. Aksa sedang tidak mood untuk memikirkan suatu hal yang berat.

Aksara menyugar rambutnya ke belakang. Malam ini terasa gerah. Padahal ini ruang terbuka. Akhirnya, ia melepas gelang dinorsaurusnya dan langsung mengikat rambut asal-asalan.

Selepas merasa lebih nyaman dengan kunciran rambut, Aksa mulai men scroll email-nya hingga ke bagian bawah. Berniat menandai surel surel yang kemungkin besar akan ia perlukan dalam waktu dekat. Berujunglah pada mata Aksa yang memicing ketika membaca satu Subjek Email yang sudah terbuka.

Ocean Youth Researcher.

Itulah yang Aksa tunggu sejak kemarin-kemarin. Dahi Aksara membentuk gelombang tebal. Ia kira, tidak pernah dirinya menemukan Email ini. Mana mungkin kalau kau menunggunya sudah 3 hari, dan malah tidak tau ketika yang kau tunggu telah datang?

Mengingat yang dilakukan gadis itu dua hari ini adalah memantau setiap Email yang baru masuk sambil terus terusan menekan tombol refresh, mustahil rasanya Aksa tidak sadar ketika membuka surel penting tersebut.

Ocean Youth Researcher.

Dear, Aksara Aurellin Pradikta.
Thank's for your participation in our great event. Congratulation! You have been chosen to be one of the candidates for representatives of Ocean Youth researchers from Indonesia.

Prepare your self and get ready for the next selection at Bunaken Marine Park. It will Beginning on Last December 20** until January 20**!

All training and selection costs will be borne by Ocean Youth Researchers Team. So, Please send us a confirmation of your ability before 23 December 2018.

We are waiting for you!

"Aksa... akhirnya dateng. Tadi tante cari ke rumah kamu kok nggak ada?"

"Tadi Aksa ke panti, tante. Mau ngajak Frans tapi Frans nya masih sibuk." Aksa mencari alibi. "Frans kemana?"

"Emang nggak bilang ke kamu? Itu tadi ditelfon gurunya. Suruh ngambil tugas prakarya."

"Ooh? Di rumah Bu Resi?"

"Kayaknya sih gitu."

Aksa manggut manggut. Kemudian ikut duduk di samping Risya yang sibuk mengoleskan selai pada roti bakar.

"Mau?" tawar Risya.

"Yakali enggak," kata Aksa seperti biasa. "Aku ambil sendiri aja," lanjutnya.

"Siapa juga yang mau ngambilin lo. Ge er bener."

"Oh iya, Om Arel jugak kemana?"

Belum sempat mendengar jawaban, Aksa menoleh ke arah pria paruh baya yang sepertinya baru saja mandi. Orang itu masih sama sejak terakhir kali Aksa melihatnya dua minggu yang lalu.

"Nah, barusan kita mau kesana," sambut pria itu ramah. "Jadi kita harus bahas liburan akhir taun ini mau kemana," ucapnya mengambil duduk di depan Risya. Sangat terlihat antusias.

"Justru itu, Om yang aku mau bilang," –Aksa memainkan ujung jari. Masih ragu ragu akan mengatakannya atau tidak.

"Lho kenapa emang?"

Aksa pikir, kalau dirinya mengatakan tentang informasi yang baru ia dengar lima menit lalu, keluarga Frans pasti akan memilih untuk mengikutinya. Astaga.... Aksara bingung setengah mati.

Harus apa dia sekarang? Ia tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk menolak kemanapun keluarga Frans akan membawanya pergi berlibur. Tapi juga tidak mungkin Aksa mengatakan yang sebenarnya.

"Aku agak ngga enak badan. Jadi kayaknya ngga bisa ikut liburan deh. Aku di panti aja kali, ya?"

Bodoh sekali. Alasan yang tidak masuk akal.

Satu-satunya pria disitu lantas tertawa lepas. "Masih aja polos ya, kamu. Kita berangkat kan masih tiga hari lagi. Lagian liburannya tiga minggu, nggak berangkat malem ini, Sa," terang lelaki itu masih dengan senyuman lebar.

Fransisca hanya tertawa kecil. Berbeda dengan Risya yang tadinya sudah membuka mulut dan bersiap memasukkan roti bakar ke dalamnya, kini justru menoleh kaku dengan tatapan cengo.

Nggak pinter nyari alesan, maki Risya dalam hati.

Risya tau Aksa tidak nyaman. Tapi hanya sebatas itu saja. "Jangan jangan lo nyari alesan, ya? Lo mau liburan sama pacar lo itu, kan?" tuding Risya sembarangan. Mencoba mencegah adanya tanda tanya dalam pikiran kedua orang tuanya.

"Pacar? Siapa?"

"Itu, Bun. Aksa tuh udah punya pacar. Tapi nggak bilang bilang ke kita."

"Mana ada?"

"Ada!" jawab Risya ngeyel. "Yang waktu itu lo bilang sopir taxi. Siapa namanya? Al-an? Afa?"

"Kak Alfa?" Aksara menebak. Memang ingat juga dengan kejadian di kafe blackroom waktu itu.

"Nah iya itu! Lo mau kencan sama dia, kan? Makanya nggak mau liburan bareng kita kita?"

"Heh?"

Aksa menatap Risya bingung. Mau menyangkal tapi lidahnya kelu berucap. Kedua orang tua Frans hanya menatapnya penasaran dengan raut wajah geli. Terutama ayah Frans. Alis pria paruh baya itu terangkat dengan mata memicing juga tawa yang ditahan.

"Alfa? Anaknya Pak Andra?"

"Iya," jawab Aksa polos.

Risya tersentak. Gadis itu seketika kembali menoleh Aksa dengan tatapan tanpa canda. "Sumpah, lo? Demi apa, woi!"

Aksa semakin bingung. Sekarang salahnya ada dimana lagi? Bukankah memang Alfa adalah anak dari Afandra?

"Sa. Sa, parah! Gue cuma becanda waktu gue bilang lo pacaran sama si supir taxi. Dan ternyata, lo, pacaran beneran? Sama Alfandra? Gila, Sa! Lo seriusan sama anak Om Andra? Yang mukanya cakep banget kayak oplas itu, kan? " Risya semakin heboh.

"Eh? Engga, lah!"

"Yah sayang banget. Padahal kan maunya dijodohin sama Frans," timpal Fransisca ikut menggoda.

"Nggak usah aneh-aneh deh, Bun."

"Loh Frans, nggak terima, ya?" imbuh Fransisca lagi. Semakin gencar mengganggu ketika sadar bahwa anak bungsunya baru saja datang dengan membawa satu kotak kaca besar berbentuk rumah.

Aksa seketika tersenyum dalam hati. Di saat yang bersamaan, ia gugup seketika. Cewek itu menoleh ke arah Risya yang juga tengah memandangnya khawatir. Tapi perempuan itu tak mengatakan apapun.

"Nih HP lo," kata Frans menyapa terlebih dahulu. Kemudian mengambil duduk di samping bundanya. Tepat di depan kursi yang Aksa duduki.

"Kok HP Aksa ada di kamu?"

"Udah biasa kali, bun. Kita mah tuker-tukeran HP udah hampir tiap hari," kata Frans santai. "Ya, nggak?" tanya Frans sambil menatap tepat ke mata coklat terang Aksara. Tersenyum.

Sedangkan di tempatnya, Aksa mengerjap dengan reflek. Baru saja ia berpikir, bagaimana kalau Frans marah marah? Bagaimana kalau Frans menunjukkan pada Om Arel dan Tante Fransisca hubungan mereka yang sebenarnya?

Nyatanya tidak. Mantan sahabatnya ini pandai menguasai medan.

Ya Tuhan. Aksa dibuat terpana dengan senyuman ini. Tatapan ini. Kehangatan ini. Bukan karena wajah Frans terlalu menarik untuk dipandang. Mata tajam Frans yang terlalu candu untuk ditatap. Senyum Frans yang terlalu manis untuk dinikmati.

Bukan. Bukan karena itu semua. Namun Aksa benar benar merasakan rindu yang bahkan dirinya sendiri tidak bisa menghitung, sudah berapa lama ia tersiksa sendirian. Aksa terlalu rindu. Hingga tanpa sadar matanya berkaca-kaca.

Tidak, kok. Aksa tidak begitu bodoh untuk sadar kalau ini semua hanya topeng. Sandiwara yang harus mereka mainkan tanpa tau batas waktu yang telah Tuhan tentukan. Aksa tau.

Walaupun begitu, ada euforia tersendiri yang Aksa rasakan dalam permainan drama malam ini. Ada rindu yang tidak bisa dibendung lagi.

Aksara Aurellin Pradikta sudah tidak peduli apa yang dirasakan dirinya. Entah otak atau hati yang bertolak belakang, atau jiwanya yang terus saja ingin berontak keluar dari zona kebaikan. Atau bahkan, sekadar air mata yang memaksa keluar? Aksa tidak peduli.

Satu hal yang Aksara tau. Suka ataupun tidak, dirinya juga harus bisa menguasai tempat. Menjadi pemeran utama dalam drama tanpa naskah malam ini.

"Makasih," cakap Aksa pelan.

Frans hanya menatap datar. Sebelum beberapa saat kemudian melangkah berbalik. Hendak membuka pintu kamarnya.

"Satu kata aja nggak ada yang mau kamu omongin sama aku?"

Diam. Begitulah Frans sekarang. Satu pertanyaan dari Aksa membuatnya mematung di tempat. Bahkan jemarinya yang telah menggenggam kenop pintu ikut menegang.

Apa? Ada banyak hal yang mengganjal di pikiran Frans. Tapi dirinya enggan untuk bertanya. Bahkan untuk memulai dari mana pun, Frans tidak kepikiran.

"Nggak!" jawab Frans beberapa detik kemudian.

"Ada." Aksa diam sejenak untuk menunggu respon Frans. "Ada yang mau kamu omongin ke aku. Jadi..., apa?"

Oh Tuhan.... Aksara sangat tau bagaimana membalikkan keadaan. Frans ingin memaki saja rasanya. Pria dengan kaos polo berwarna putih dan jeans se lutut itu kini berbalik lagi untuk menghadap lawan bicaranya ini. Berharap mulut berisik Aksa bisa segera diam setelahnya.

"Lo pernah nyetir mobil sendirian?" Frans bertanya to the point.

Kini Aksara lah yang dibuat tergugu. Senyumnya yang sejak tadi tercetak, perlahan mulai pudar. Pertanyaan Frans barusan bukan hanya menamparnya, tapi juga menusuk ke relung hati yang paling dalam. Membakar sel sel otak Aksara yang sedikit demi sedikit mulai meleleh.

Terkejut? Tentu. Aksa sudah kenal Frans bahkan sebelum mereka masuk TK. Ketika Risya bersekolah SD di asrama terbaik di Indonesia dulu, teman Frans hanyalah Aksara. Mudah bagi gadis itu untuk mengetahui bahwa Frans ingin mengatakan sesuatu.

Sayangnya, tidak mudah bagi Aksa untuk menebak bahwa pertanyaan Frans ini mengungkap fakta bahwa dirinya benar benar menyedihkan sekarang.

Aksa membasahi bibirnya yang beberapa detik terasa membeku. "E-enggak pernah," balas Aksara terbata. "Aku enggak bisa naik mobil," lanjutnya lagi.

–Berbohong.

"Oh."

Mata Frans menilik perubahan raut wajah Aksara yang tiba-tiba. Tapi berbeda halnya dengan Aksara, posisi Frans yang tengah hilang ingatan tidak sebaik itu untuk paham arti ekspresi gadis ini sekarang.

Frans lebih fokus pada satu hal. Bahwa untuk yang ke sekian kalinya, suatu kebetulan telah membuktikan bahwa sahabatnya memanglah Sania.

Bukan Aksara.

Cklek!

Pintu kamar tempat Aksa merenung sekarang terbuka perlahan. Menampilkan sesosok wanita cantik berumur empat puluhan lengkap dengan baju tidurnya.

"Tante? Kok belum tidur?"

"Kamu sendiri ngapain belum tidur? Banyak pikiran?"

Aksa hanya tersenyum miris. Namun sebisa mungkin terlihat normal. "Masih balesin chat orang-orang, tante. Udah dua hari HP aku ada di Frans."

Fransisca mendekat. Kemudian duduk di sofa single di sudut ruangan. Memperhatikan raut wajah anak sahabatnya yang juga sekaligus sahabat anaknya tersebut.

"Kenapa?" tanyanya.

"Apanya?"

"Tante tau kamu sama Frans ada masalah."

"Masalah apa, tante?"

Bukannya menjawab, justru yang ditampilkan Fransisca adalah tawa kecil. Jari jari wanita itu bertengger di pelipis. Dengan siku yang bersandar pada pinggiran sofa.

"Tante kenal kamu dari lahir. Kalo Frans sama Risya anak tante sendiri. Percuma kalian nyoba nyembunyiin apa-apa," katanya.

Hening. Tidak ada tanggapan yang Fransisca dengar dari lawan bicara di hadapannya.

"Dulu, mama kamu pernah bilang. Kalo suatu saat cuma ada dua pilihan. Kalian barengan terus," –Fransisca memberi jeda. Mata yang awalnya tertuju pada sudut karus bak orang yang tengah melamun, kini diangkat. Menatap tepat ke netra coklat terang Aksa yang disinari lampu kamar.

"Atau kalian jadi saling asing," lanjutnya sarat akan makna.

"Sudah jelas tante nggak setuju sama pilihan kedua. Mamamu juga pasti sama. Nggak bakal pernah setuju."

"Maksud tante ngomong gitu, apa, ya?" Aksara bertanya hati hati.

Fransisca tidak menggubris. Masih fokus untuk melanjutkan kalimat berikutnya. "Tante tau. Masih ada kemungkinan pilihan kedua terjadi. Walaupun Tante yakin seratus persen kalo kalian nggak bakal bisa pisah. Tante sama mamamu bener bener berharap biar kalian bisa sama sama terus. Ternyata engga, ya?"

"Ternyata kamu lebih milih anaknya Afandra," kata Fransisca diiringi tawa jenaka.

"Tante, aku enggak pacaran sama Kak Alfa. Suer deh,"–Aksa mengangkat jarinya membentuk huruf V, "aku sama Kak Alfa biasanya cuma bahas masalah bisnis aja. Kak Alfa yang banyak ngajarin aku. Soalnya kayaknya kerjasamanya bakalan jangka panjang sama Om Farhan. Kak Byan juga sering kok komunikasi sama Om Andra sama Kak Alfa."

Byan adalah anak pertama Farhan. Yang artinya, ia adalah kakak sepupu Aksara. Pemuda lulusan universitas terbaik di Indonesia yang kini memegang peran di perusahaan Pradikta's group.

"Terus siapa?"

"Aku? Aku enggak pacaran sama siapa siapa, tante. Nggak ada niat buat pacaran jugak."

"Leon?"

"Enggak. Sama Leon cuma temen."

Dan lagi, pernyataan inilah yang Fransisca tunggu sejak tadi. Pernyataan gamblang bahwa hati Aksara tidak dimiliki oleh siapapun. Jadi akan jelas, apa sebenarnya pokok permasalahan diantara anaknya dan Aksara.

"Kalo bukan gara-gara itu, jadi kalian kenapa?"

Aksara memutar otak cepat. Mencoba mencari alasan yang logis. Rupanya pilihan gadis itu untuk mengiyakan paksaan Fransisca menginap disini adalah hal yang salah.

"Salahku sih, tante."

"Sepele?"

"Ya enggak bisa dibilang sepele jugak si, wajar Frans marah," katanya.

"Emang masalahnya apa?"

"Pas tante sama Om lagi di Singapura, perusahaan papa lagi ngurus satu proyek kerjasama sama salah satu arsitek temennya mama dulu. Dan butuh keterangan pewaris. Soalnya proyek jangka panjang juga. Om Farhan cepet cepet bikin acara perkenalan pewaris tunggal jadinya."

"Nggak mungkin kan kalian bertengkar cuma gara-gara itu?"

"Iya. Bukan gara-gara itu kok. Karena butuh cepet, jadi Om Farhan minta bantuan Om Andra buat nyediain tempat, dekorasi, sama fasilitas lainnya. Frans lagi terapi waktu itu. Jadi nggak bisa nemenin aku. Dan karena aku yang punya acara, nggak mungkin kan aku pulang duluan?" Jadi aku pulangnya malem. Dianterin sama Kak Alfa. Habis itu Frans marah," terang Aksa.

"Gitu doang marah?"

"Ya emang salahku si, tante. Harusnya kan aku pulang sama Om Farhan. Jadi wajar Frans marah."

Fransisca menghela nafas. "Sabarnya masih sama, ya?" tanya wanita itu sambil tertawa kecil. "Cepetan diselesain ya, Sa. Kalian udah dewasa. Tante nggak mau ujung-ujungnya harus ada di pilihan kedua. Mama kamu juga pasti nggak mau."

Aksa hanya mengangguk kaku. Memikirkan kebohongan barusan saja membuatnya tersiksa.

Apalagi tentang pilihan takdir yang ada diantara keduanya.

•|FRASA|•

Biar pernah update tengah malem. Lagian belum tengah tengah amat kan. Baru jam sebelas:v

Aku sebenernya mau ada pengumuman, si. Tapi kalo dipikir pikir, pengumumannya bakal aku taruh di part berikutnya.

Oke?

Part ini kok nggak ada apa-apanya? Iya sengaja. Part ini emang aku buat santai dulu. Biar kalian ngga cepet tua gara-gara marah-marah.

Tapi tapi. Biasanya yang diam diam menghanyutkan.

Dah, selamat malam buat kalian💙

Salam dari peliharaannya Aksa yang ada di Palung Mariana. Katanya jangan lupa tekan tombol vote.

~helicoprion_

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 104K 46
Aku hanya seorang mentari yang kehilangan sinarnya, aku hanya ingin diperhatikan dan diperdulikan sekali saja, tapi mengapa takdir seolah memusuhiku...
4.9K 818 43
Bagas dapat melihat masa depan setelah menerima kalung keramat pemberian Diyana. Ia sering mendapatkan mimpi-mimpi aneh. Terutama mengenai hal yang b...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.6M 45K 20
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
1.4M 123K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...