FRASA [✓]

By helicoprion_

34.3K 8.3K 9.8K

#1 Frasa [08/04/21] #2 Aksara [11/01/22] Frans Amnesia Musibah tak diminta itu tidak hanya menghilangkan inga... More

Prolog
Part 1: Frasa
Part 2: Titipan
Part 3: Pembawa sial
Part 4: Pindah
Part 5: Larangan
Part 6: Pemberhentian
Part 7: Salah langkah
Part 8: Nanti
Part 9: Lo siapa?
Part 10: Rindu
CAST 💙
Part 11: Salah Paham
Part 12: Pelukan
Part 13: Maaf
Part 14: Genggaman
Part 15: Pilihan
Part 16: Penantian
Part 17: Kecewa
Part 18: Bayangan
Part 19: Rasi
Part 20: Memori
Part 21: Bullshit
Part 22: Isu
Part 23: Tugas Akhir
Part 24: Kecewa
Part 25: Rasa
Part 26: Peringatan
Part 27: Ketakutan
Part 28: Penyebutan
Part 29: Terungkap
Part 30: Keadilan
Part 32: Pengakuan
Part 33 : Pertanyaan
Part 34: Kekhawatiran
Part 35: Rasa Bersalah
Part 36: Perdamaian
Part 37: Tunda
Part 38: Be mine
Part 39: Status Kepemilikan
Part 40: Lelah
Part 41: Perubahan
Part 42: Perlawanan
Part 43: Happy Valentine 💙
Part 44: Tanda pengenal
Part 45: Kalung
Part 46: Paket
Part 47: Kesempatan
Part 48: Kenyataan
Part 49: Akses
Part 50: Perihal Rasa
Part 51: Pamit
Part 52: Lima Belas Juta
Part 53: Pesaing
Part 54: Setelah semua
Part 55: Permintaan
Part 56: happy birthday, Frans (1)
Part 57: Happy Birthday, Frans (2)
Part 58: Aku pulang, ya?
Part 59: Pergi!
Part 60: Titik balik
Part 61: Fakta
Part 62: Menyerah
EPILOG
KARSA

Part 31: Perintah

431 99 158
By helicoprion_

•|FRASA|•

Helaan nafas panjang Aksa hembuskan setelah beberapa menit hanya menatap kosong ke arah lantai koridor yang ia lalui.

Tenggorokannya kering. Dengan bibir kelu disertai kepala yang terasa sangat berat, Aksa mendongak. Menatap mata teduh Alfa yang masih setia menunggu jawaban Aksara. Pria berwajah estetik itu berjalan tegap di sampingnya.

"Enggak," lirih Aksa. "Atau mungkin, liat-liat nanti."

"Lo emang terlalu jujur ya jadi orang?"

"Bukannya aku engga ada pilihan?"

"Artikel itu?"

Aksa menoleh lagi. Menatap lawan bicaranya tak mengerti.

"Bukannya artikel itu bisa jadi alasan buat ngehindar?"

"Aku nggak yakin."

"Kenapa?"

"Tulisanku jelek." Aksa berdalih. Mencari alasan. "Aku enggak yakin bisa lolos, Kak," lanjutnya.

"Lo nggak yakin bisa lolos, atau nggak yakin kalo lolos bakalan lo terima?"

Diam. Pertanyaan Alfa barusan sanggup membungkam mulut siswi kelas XI IPA 5 di sebelahnya. Aksa meremas rok lipid warna hijaunya. Kesal. Lantaran pertanyaan barusan tidak bisa ia jawab langsung.

"Ini bukan cuma tentang artikel, Sa. Bukan juga cuma tentang kita. Tapi juga tentang Frans sama Leon."

Aksa mengernyit tak paham. "Leon?"

"Lo bakal ngerti kalo udah waktunya," –Alfa mengentikan langkah. "Kalo nanti lo udah mulai ngerti, gue mohon jangan benci siapapun, ya?"

Lagi lagi Aksa menatap Alfa tak mengerti. Mencoba menerka-nerka ke arah mana pembicaraan kakak kelas ini. Keduanya sama sama sudah duduk di kursi kantin yang seharusnya masih bisa diisi 2 orang lagi.

"Terus sekarang aku harus gimana?"

"Gue bakal bilang kalo lo udah nolak gue."

Aksa melotot. Mudah sekali kakak kelasnya berkata begitu. "Bisa bisa aku yang diwawancarai," protesnya.

"Loh? Nggak nolak dong berarti?"

Alfa menahan tawa ketika melihat Aksa memajukan bibir.

"Enggak, ah! Mulai kejadian mading itu Om Farhan jadi apa-apa tanya mulu. Dora aja kalah."

"Om Farhan sama Om Arel gimana?"

Jari jari Aksa menjadi mainan oleh sang empunya. Gadis itu menatap lurus ke jemarinya yang cantik. Kantin ini sepi. Semua orang tengah sibuk menonton class meet. Atau mungkin lebih tepatnya, semua orang tengah sibuk menonton keributan di area Class meet? Entahlah.

Kantin ini bahkan hanya diisi oleh penjual makanan dan tiga orang siswa. Yang jelas dua diantaranya adalah Alfa dan Aksa. Menanti kedatangan Leon yang diketahui Aksa sedang melaksanakan pertandingan futsal.

Sayangnya, apa yang Aksa tau berbeda dengan sudut pandang kakak kelas di hadapannya.

"Mau makan apa? Soto Pak Amin? Atau somay? Bakso?"

"Nggak minat," jawab Aksa malas. Gadis itu beralih posisi. Satu tangannya menopang dagu. Sedangkan tangan yang lain memutar mutar ponsel di meja layaknya finger spinner.

Alfa berdiri. Berjalan menjauh beberapa meter untuk memesan makanan. Sedangkan Aksa masih sibuk menjadikan ponsel mahalnya sebagai baling baling manual.

Lima menit berlalu dan gadis itu mulai bosan. Ia menoleh ke tempat Pak Amin berjualan soto. Tidak ada Alfa. Lagi, Aksa memutar pandangan. Berpindah ke sudut kantin tempat penjual somay yang tadi Alfa tawarkan. Juga tidak ada.

Tentu saja Aksa bingung. Kantin ini hening. Hanya ada suara halus blower mahal yang umurnya mungkin sekitar satu tahunan di beberapa sisi kantin. Bahkan tidak ada suara penggorengan ataupun blender. Tidak ada juga suara penjual memecah es batu. Mereka semua hanya duduk duduk di stand masing-masing. Ada yang membicarakan gosip sekolah. Ada juga yang bermain ponsel.

Aksa masih saja mencoba menilik setiap sudut kantin. Mencari-cari keberadaan kakak kelas yang beberapa menit lalu pamit untuk memesan makanan. Tapi nihil. Hanya ada kakak kelas dengan hoodie hitam polos yang tengah bermain ponsel dengan posisi landscape.

Apa ke toilet ya? pikir Aksa bertanya-tanya.

Gadis itu enggan memperdulikan. Toh bukan dirinya yang mengajak ke kantin. Tujuan mereka kan awalnya ke taman belakang. Bukan dirinya juga yang mau memesan makanan. Kalau nanti Alfa meninggalkannya sekalipun, bukan satu hal yang penting.

Daripada bingung mau melakukan apa, Aksa membuka ponselnya. Menampilkan lock screen berwarna biru yang diikuti wallpaper animasi hiu macan di baliknya.

Namun baru saja ingin membuka aplikasi navigasi lautan yang biasa ia gunakan ketika kurang kerjaan, seorang siswa yang berhenti di sebelah bangkunya membuat Aksa kembali mendongak.

"Ikut gue!"

Tanpa memiliki kesempatan menjawab, siswa itu menarik kasar tangan kiri Aksa. Membuat tubuh cewek itu tidak imbang dan hampir saja menabrak meja.

Dan lagi, Aksara hanya menurut.

"Kamu kenapa, sih?"

"Lo bisa nggak, nggak usah banyak omong?"

"Kamu bisa enggak, enggak usah tarik-tarik? Ngomong baik-baik."

Aksa memilih diam ketika tetap saja pria yang tengah menariknya dengan kasar tak menjawab apapun. Dahi cewek itu berkerut saat Frans lebih memilih melewati koridor belakang kantin.

"Mau kemana, sih?" sentak Aksa tak sanggup menahan penasaran.

Bagaimana tidak? Koridor ini hanya menuju satu tempat. Yaitu parkiran sekolah. Tidak mungkin juga Frans membawanya ke parkiran, kan? Mengusirnya dari sekolah?

Lagi lagi Frans tak menjawab. Justru menoleh ke belakang sambil mempercapat langkah. Mau tak mau Aksara juga harus mempercepat langkah.

"Masuk!" Frans memerintah tepat setelah ia membuka pintu mobil sebelah kiri.

"Eh? Mau kemana? Kan masih jam sekolah?"

"Nggak usah banyak omong!"

"Nggak waras," gumam Aksara spontan. Untuk detik berikutnya, tangan Frans sudah mendorongnya masuk mobil tanpa rasa iba.

"Kamu nyulik aku?" Aksa bertanya lugu. Mata gadis itu memperhatikan Frans yang kini berjalan mengitari mobil di bagian depan. Lalu duduk tepat di kursi kemudi dengan rahang yang entah sejak kapan menjadi begitu tegas.

"Frans kamu itu ngap-" cercaan yang keluar dari mulut Aksa berhenti ketika ponselnya berbunyi begitu nyaring. Nama Leon tertera di layar bersamaan dengan tombol hijau bergambar telepon yang bergerak gerak tak sabaran. Aksa melirik Frans sekilas. Pria itu tampak tak tertarik sama sekali dengan ponsel Aksa yang berbunyi.

Tanpa pikir panjang, panggilan telepon dari Leon ia angkat.

"Halo, Leon?"

"Lo dimana?"

Belum sempat Aksa menjawab, tangan kiri Frans sudah merampas ponsel itu tanpa kesulitan sama sekali. Memindahkan barang pribadi Aksara tersebut ke dasbor mobil di bagian belakang kemudi. Lebih tepatnya di bagian pojok kanan. Sengaja. Agar Aksa tidak mengambilnya lagi dan menelfon Leon di hadapannya.

"Kamu itu kenapa, sih?" Aksara bertanya untuk yang ke sekian kali.

Hening.

"Aku ngomong sama kamu lho, Frans."

Masih hening.

"Denger enggak, sih?"

Tetap hening. Mobil Frans sudah keluar dari gerbang sekolah dengan mudahnya. Aksa memperhatikan ke luar sebentar. Tidak ada siswa siswi Lunar lain yang juga keluar sekolah. Yang juga berarti, hanya dirinya dan Frans yang lancang keluar sekolah saat seharusnya class meet masih berlangsung setengah jalan.

"Kamu denger nggak?!"

Masih saja hening.

"Kamu nggak punya hak buat ngerampas HP aku!" Aksa berucap tegas. Tentu saja ia mulai kesal.

"Se percaya itu lo sama Leon?"

Aksa memasang wajah bertanya sekaligus protes. Mencerna baik baik maksud dari pertanyaan Frans. Dia tau. Dirinya tidak tuli. Jadi Aksa benar benar tau kalau Frans bertanya tentang seberapa percaya dirinya pada Leon. Tapi yang belum bisa ia mengerti adalah, alasan Frans bertanya begitu.

"Iya," adalah jawaban Aksa beberapa detik kemudian. Diikuti tubuhnya yang berhenti heboh tentang ponsel. Memilih bersandar dengan tatapan lurus ke depan.

"Gue saranin, jangan gampang percaya sama orang."

"Kalo aku enggak mau terima saran kamu?"

"Kalo gitu perintah. Jangan deket deket sama cowok yang nggak terlalu lo kenal!"

"Kamu enggak punya hak buat ngasih aku perintah!" Aksa menyergah tak mau kalah.

Tidakkah dirinya sudah harus berani? Aksa cukup lelah menuruti semua kemauan Frans yang tujuannya tidak jelas.

"Jangan terlalu percaya sama orang lain."

Frans mengulangi. Ada tekanan di setiap kata yang ia lontarkan. Ada keberatan yang sangat kentara dari ucapan Frans barusan. Tapi bodohnya, Aksa tidak sadar.

"Kenapa aku nggak boleh? Kamu amnesia aja gampang banget percaya sama Sania," tutur Aksa penuh kebenaran serta keberanian. "Lagian aku punya alasan apa buat nggak percaya sama Leon? Leon nggak pernah nyakitin aku," lanjutnya.

"Lo denger kan barusan gue ngomong apa?!" Kali ini Frans menoleh. Memberi tatapan peringatan. Menegaskan bahwa kalimat ucapannya tadi adalah suatu perintah yang seharusnya tidak Aksa bantah.

"Denger. Makanya aku jawab. Sekaligus aku mau nanya jugak," —mata Aksa memicing sambil menarik nafas.

"Kalo aku nggak boleh percaya sama Leon, terus aku harus percaya sama siapa selain Tuhan?" –Aksa tersenyum remeh, "kamu?" tanyanya. Ia membuang muka.

"Jangan bercanda, Frans. Enggak usah ngelawak. Aku sudah pernah ngelakuin itu."

"Dan kalo kamu ngga keberatan, aku mau ngasih tau, kalo ujung-ujungnya aku yang kecewa."

Aksara sadar. Mungkin dirinya barusan terlalu lancang. Tapi tidak bisa dibohongi. Bahwa ia kesal Frans mengatur-atur dirinya seenak jidat.

Jika hal tersebut terjadi dulu, Aksa masih terima. Tapi sekarang? Frans yang meminta dirinya menjauh. Frans yang meminta mereka berjalan masing masing. Walaupun Aksa tidak memenuhinya, ia kira tidak sepantasnya Frans memberikan larangan ketika Aksa pikir wewenang Frans untuk menjaganya sedikit demi sedikit sudah berkurang.

Aksara bahkan tidak tau apa yang membuat Frans terlihat sangat marah.

Rahang Frans kembali menegas. Cengkeraman tangannya pada kemudi mobil juga semakin menguat. Kalimat kalimat dengan jeda yang sudah diatur oleh Aksara barusan benar benar membuat kuping Frans panas. Memperjelas bahwa otaknya kini sedang mendidih. Kalimat-kalimat Frans yang sarat akan penekanan tadi seolah hanyalah angin lalu untuk seorang Aksara.

Di tengah keadaan tersebut, jika kalian kira Frans akan membawa mobil dengan kecepatan jauh di atas rata rata karena emosi, maka kalian salah. Semua elemen dalam diri Frans seolah melarangnya akan hal itu. Ada hal refleks yang diterima otak Frans untuk mengendarai mobil dengan kecepatan normal dan hati-hati.

Sedangkan di pihak Aksara, jantungnya seketika berdegup sangat kencang. Apalagi ketika melihat wajah Frans yang sedikit demi sedikit mulai memerah. Entah itu hanya perasaan Aksa saja, atau memang itulah hal yang terjadi.

Mobil Frans menepi di depan supermarket dengan warna putih sebagai cat dominan.

"Turun!" titah Frans.

"Kamu udah gila?!"

"Kalo gitu diem!"

"Oh?" –Aksa mengangkat alis. "Kamu ngasih aku pilihan?"

Frans hanya menatap lurus ke depan.

"Aku bahkan nggak tau alasan kamu narik aku sampe bawa aku kesini. Aku tanya kenapa tapi kamu malah diem aja! Aku enggak tau alasan kamu selalu berubah-ubah kayak gini. Terakhir kali kita ngomong panjang, kamu nyuruh aku berhenti, kan? Aku nggak mau. Tapi aku berusaha menuhin keinginan kamu buat nggak ganggu," cerocos Aksa lelah. "Dan itu masih belum cukup?"

Frans masih bergeming. Kelopak matanya tidak menunjukkan ada kedipan sama sekali.

"Oke." Aksa mulai pasrah. "Karena kamu udah ngasih aku pilihan, aku bakal pilih. Dan, ya. Aku pilih turun," lanjutnya menyerah.

Mata Frans membola ketika dilihatnya gadis itu benar benar melakukan apa yang dia katakan. Sama sekali tidak ia sangka bahwa pilihan Aksa adalah benar benar pergi dari mobilnya. Frans kira, Aksara akan menurut dan menjadi anak pendiam. Memasang wajah sok polos dan berlagak menjadi orang paling tersakiti untuk menarik simpati. Bahkan, mobil ini Frans berhentikan hanya sebagai ancaman.

Sumpah. Tidak satu persen pun pikirannya mengira bahwa Aksa akan benar benar turun.

Seperti sekarang. Yang sanggup Frans lakukan hanya terdiam kaku di kursi bagian pengemudi. Menatap seorang Aksara yang kini sudah berjalan menjauh dari mobilnya.

Satu hal yang Frans tau. Aksara benar benar mencoba menuruti apa yang dia mau.

Disinilah Aksara sekarang. Berjalan menunduk kembali ke sekolah yang jaraknya sudah cukup jauh dari tempatnya turun tadi. Ah, tidak. Memang sudah jauh.

Kesal? Tentu. Aksara benar benar kesal ketika teringat bahwa ponselnya masih ada di mobil Frans. Tasnya masih ada di kelas, dan dompetnya pun ada di dalam tas. Uang yang Aksara bawa semuanya sudah ia selipkan di belakang ponsel. Menjepitnya antara benda pipih itu dengan casingnya.

Jika biasanya orang yang kesal akan menendang apa saja yang ada di hadapannya, maka tidak dengan Aksara. Satu-dua sampah botol plastik bekas ia pungut untuk dibawa ke tempat sampah terdekat.

Benar benar seperti pemulung.

Otak Aksa seketika memutar ulang percakapannya dengan Sania tadi pagi.

"Jadi gini ya rasanya kesel tapi dilampiasin?" gumam Aksa pelan. "Ternyata emang lebih baik daripada dipendem sendirian," imbuhnya masih bermonolog.

Flashback On

"Lo mau ngibarin bendera perang?"

Aksa yang baru saja menunduk sambil mencuci muka seketika mendongak ke arah kaca kamar mandi. Ia kenal betul siapa pemilik suara tersebut.

"Enggak," —Aksa menggeleng. "Aku cuma nerima tawaran perang dari kamu," ujarnya santai.

"Oh? Jadi si princess udah merasa menang?"

Mendengar itu, Aksa hanya mengedikkan bahu. Lalu mengambil handuk kecil dari pouch biru yang selalu ia bawa ketika sekolah. Daripada nanti salah bicara. Aksa hanya tak mau mencari keributan lagi.

Walaupun yang kemarin, bukan dirinya yang memulai.

"Bisu ya, Sa?"

"Gimana?"

"Gue tanyak! Lo merasa menang?"

"Enggak tuh," kata Aksa lagi. Jujur. Jujur. Dan selalu jujur. Aksa sudah mencoba melupakan apa yang terjadi pada dirinya tiga minggu yang lalu. Juga sudah memaafkan kesalahan gadis yang ada di depannya saat ini.

Sederhana. Sania sudah mengakui kesalahannya. Sania sudah mendapat hukuman. Walaupun dilihat dari sudut pandang manapun, gadis itu tidak pernah meminta maaf.

Tapi bagi Aksara, dirinya tak memiliki hak untuk membenci Sania lebih dalam. Semua yang terjadi sudah setimpal. Dan itu sudah cukup baginya.

Ya. Setidaknya setimpal untuk urusan mading.

"Emang apa yang perlu di menangin, San? Perhatian warga sekolah?"

Gigi sania saling bergesekan ketika mendengarnya. Cewek ini, sudah bisa Sania duga bahwa tingkah polosnya hanyalah topeng.

Belum sempat Sania menjawab, Aksa sudah bersuara lagi. Tepat setelah gadis itu berbalik menghadap ke arah Sania.

"Kalau tentang perhatian warga sekolah, aku emang udah dapetin itu dari dulu kali." Aksa berkata tanpa merasa berdosa. "Jangan aneh-aneh lagi, San. Biar warga sekolah bisa ngembaliin respek mereka ke kamu." Aksa memberi saran tulus. Perempuan itu tersenyum.

Setelah satu kalimat barusan, Aksa kembali menghadap kaca. Kemudian membereskan handuk kecil berwarna birunya kembali ke dalam pouch. Berniat segera kembali karena teman-teman SMP nya sudah menunggu.

Tubuh Aksa seketika tersentak mundur ketika jari jari lentik dan telapak  Sania mencengkeram pergelangan tangannya.

"Apa?"

"Jauhin Frans!"

"Udah aku lakuin."

"Lo pikir gue percaya?"

"Kalo aku pikir pikir sih, enggak. Ya, nggak? Kalo kamu percaya ngga mungkin nyuruh lagi, kan?" Aksa membeo lugu.

Dalam hati, Aksa sedikit sedih dengan permintaan Sania yang lebih mirip sebuah perintah. Tapi yang dikatakan Aksara adalah hal yang lagi lagi terlalu jujur.

"Gue kasih peringatan sama lo, Sa! Jangan mentang mentang lo dibela Leon atau cowok kelas sebelah itu! Atau kakak kelas sok cakep yang mau-maunya dijadiin babu sama cewek kayak lo!"

"Siapa? Malvin? Kak Alfa?"–Aksa menghela nafas. "Aku enggak minta dibela."

"Gak usah sok cantik!"

"Iya aku jelek. Cantikan kamu."

Sania tersenyum remeh. "Nah itu lo sadar," balasnya pongah. "Jadi nggak usah coba coba gantiin posisi gue di hidup Frans!"

Seketika, alis Aksara menukik tajam. Indra pendengarannya menolak menerima ungkapan tersebut. Otak dan hatinya pun kali ini selaras mengatakan bahwa yang dikatakan Sania bukanlah suatu fakta.

"Nggak kebalik, San?" tuduh Aksara terdengar jelas bahwa ia tak terima.

Bukankah memang begitu? Semesta pun tau bagaimana Tuhan menciptakan definisi suatu kenyataan.

"Kamu enggak punya hak buat ngatur hidupku," tegasnya lagi.

Untuk ke sekian kalinya Sania tersenyum remeh. "Gitu?" Sania menantang. "Lo sadar gak sih, Sa?! Frans itu benci sama lo. Jadi kalo lo punya otak dan lo emang sayang sama Frans, jauhi dia!"

Entah karena dasarnya Aksara yang terlalu polos, atau hanya karena ia sedang tidak bisa berpikir jernih sekarang, siswi itu menelan mentah mentah beberapa kalimat berkesinambungan yang baru saja Sania ucapkan.

Frans membencinya.

Iya. Aksara tau itu sekarang.

Tapi tidak bolehkah dirinya berharap semua akan kembali seperti dulu?

Tidak pantaskah dirinya jika menginginkan hidupnya yang tenang kembali?

Aksa hanya ingin hidupnya yang dulu. Hanya itu. Tapi kalimat Sania barusan benar benar menampar Aksara tanpa suara. Kalimat Sania barusan benar benar membuatnya sadar. Bahwa sekarang dirinya memang bukanlah siapa siapa. Bahwa sekarang, Aksara bukan bagian dari teritorial utama Frans. Jangankan utama, Aksa saja sepertinya tidak terdaftar pada garis terluar teritori Frans.

Bahwa usahanya selama ini sama sekali tidak membuahkan hasil. Bahwa yang ia lakukan selama Frans amnesia adalah suatu hal yang sia sia.

"Kenapa diem?" Sania membuyarkan lamunannya. "Ada yang salah dari omongan gue?"

Aksa menggeleng pelan. Jujur. Yang pastinya, ini akan membuat Sania merasa begitu menang.

"Sadar diri, Sa. Sadar posisi jugak!" Sania masih saja tidak berhenti mencecar. Mengintimidasi siswi pecinta laut yang dua Minggu lalu mempermalukannya di depan orang satu sekolah.

Pikiran Aksa kemana mana. Mungkin emang udah waktunya  sadar diri? pikirnya.

Sania tidak lagi menatap Aksara sengit. Kalimat yang barusan itu seolah peringatan terakhir dan cukup mampu untuk memaksa Aksara memenuhi perintahnya.

Untuk menjauhi Frans.

•|FRASA|•

Gasadar. Kayak dikit banget :(
Padahal udah 2.600 kata.

Papay!

Mau tanya, sini. Kalian lebih suka panjang partnya seberapa?

Antara 2.500-3.000 kata?

Atau 3.500+ kayak kemaren?

See you next chapter!

Continue Reading

You'll Also Like

533K 26K 73
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
37.7K 3.6K 62
[COMPLETED] Bisakah ia menentukan cintanya sendiri? Mengharapkan sang kekasih kembali dan hidup bahagia bersama. Memulai awal kisah yang bahagia bers...
1.1M 44.8K 15
Selama tiga bulan mendatang, Miya Gantari harus tinggal serumah dengan empat pria tampan, sebagai pembantu rumah tangga mereka. Kira-kira kejadian ap...
6.7M 284K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...