FRASA [✓]

By helicoprion_

34.3K 8.3K 9.8K

#1 Frasa [08/04/21] #2 Aksara [11/01/22] Frans Amnesia Musibah tak diminta itu tidak hanya menghilangkan inga... More

Prolog
Part 1: Frasa
Part 2: Titipan
Part 3: Pembawa sial
Part 4: Pindah
Part 5: Larangan
Part 6: Pemberhentian
Part 7: Salah langkah
Part 8: Nanti
Part 9: Lo siapa?
Part 10: Rindu
CAST 💙
Part 11: Salah Paham
Part 12: Pelukan
Part 13: Maaf
Part 14: Genggaman
Part 15: Pilihan
Part 16: Penantian
Part 17: Kecewa
Part 18: Bayangan
Part 19: Rasi
Part 20: Memori
Part 21: Bullshit
Part 22: Isu
Part 23: Tugas Akhir
Part 24: Kecewa
Part 25: Rasa
Part 26: Peringatan
Part 28: Penyebutan
Part 29: Terungkap
Part 30: Keadilan
Part 31: Perintah
Part 32: Pengakuan
Part 33 : Pertanyaan
Part 34: Kekhawatiran
Part 35: Rasa Bersalah
Part 36: Perdamaian
Part 37: Tunda
Part 38: Be mine
Part 39: Status Kepemilikan
Part 40: Lelah
Part 41: Perubahan
Part 42: Perlawanan
Part 43: Happy Valentine 💙
Part 44: Tanda pengenal
Part 45: Kalung
Part 46: Paket
Part 47: Kesempatan
Part 48: Kenyataan
Part 49: Akses
Part 50: Perihal Rasa
Part 51: Pamit
Part 52: Lima Belas Juta
Part 53: Pesaing
Part 54: Setelah semua
Part 55: Permintaan
Part 56: happy birthday, Frans (1)
Part 57: Happy Birthday, Frans (2)
Part 58: Aku pulang, ya?
Part 59: Pergi!
Part 60: Titik balik
Part 61: Fakta
Part 62: Menyerah
EPILOG
KARSA

Part 27: Ketakutan

448 106 99
By helicoprion_

•|FRASA|•

Aksara menatap kosong kotak musik di hadapannya. Seharusnya, tadi Aksa mengiyakan tawaran Mbak Seva untuk menginap di panti. Entah kenapa, di kamar gelap ini, Aksa menjadi ketakutan. Melodi-melodi dari kotak musik terus saja terngiang di kepalanya. Serasa ingin pecah.

Melodi pilu itu terlalu mengerikan.

Mata Aksa beralih pada lipatan kertas berisi surat peringatan yang baru dia terima beberapa jam lalu.

Sebenarnya, ini ada apa?

"Kapan ini semua selesai?" gumam Aksa pedih. Ia bahkan tidak berani untuk sekedar membaringkan badan di kasur.

Beberapa menit lalu ia sempat menghubungi Leon. Karena sudah kepalang takut, Aksa ingin meminta Leon mengantarnya ke panti. Tapi ketika ingat betapa marahnya Frans beberapa waktu lalu, urung sudah niatnya memanggil Leon.

Aksara meraih jaket tebal yang tergeletak di nakas samping tempat tidurnya. Mengambil paper bag, dan membungkus kotak musik tadi. Tak lupa dia menyambar kunci mobil, lalu bergegas turun ke garasi.

Sudah jam 10 malam, dan Aksa benar benar nekat untuk pergi ke panti asuhan seorang diri.

Tidak. Aksa tidak boleh sendirian sementara waktu. Aksara benar benar ketakutan. Surat dan musik itu benar benar menyiksa. Ia bahkan sama sekali tak ingin tau tentang arti ataupun sekedar judul dari lagu mellow tersebut.

Di sinilah seorang Aksara Aurellin Pradikta. Di sudut garasi dengan mobil putih menjadi objek pandangan utama. Seluruh lampu rumah ia nyalakan.

Pelan, perempuan dengan piama bermotif jam weker dan rambut berbandana hiu itu melangkah mendekati pintu mobil. Jangan tanya kemana jaket tebal tadi. Aksa bahkan tidak peduli sudah menjatuhkannya dimana.

Tangan kanan Aksa gemetar hendak membuka pintu. Seketika, memorinya mengulang suatu hal di masa lalu.

"Jangan bawa mobil sendirian lagi. Kalaupun mau nyetir, harus ada gue."

Aksara menggeleng frustasi. Luka itu masih sama. Bahkan efeknya berlanjut hingga saat ini. Semua terlalu tiba tiba dan selama ini, Aksa hanya pura pura tegar menerimanya.

Sayangnya, semua kejadian ini adalah salah Aksara sendiri. Dan Aksara Aurellin Pradikta layak menerima semua.

Selepas berkutat beberapa menit dengan memori, Aksa mengurungkan niat pergi ke panti. Ia memilih keluar rumah dan pergi ke rumah sebelah. Masih dengan paper bag berisi kotak musik.

"Non Aksa? Mau kemana malem-malem? Mau saya anterin?"

"Enggak, ke rumah Frans doang kok, Pak."

"Mau nginep?"

"Iya," kata Aksa jujur. "Eumm, Kak Sya ada, ngga?"

"Non Risya kayaknya di rumah temennya atuh, non. Kenapa emangnya?"

Aksa mengernyitkan dahi, "dari tadi sore? Belum pulang emang?"

"Belum. Saya teh nggak tau non Risya nginep apa enggak."

Aksa menghela nafas pelan. Tanpa Risya, sepertinya menginap di rumah Frans adalah satu hal yang tidak kalah menakutkan.

"Non, kok ngelamun?"

"Eum, Pak. Bisa anterin saya, ngga?"

"Kemana atuh? Nyusulin Non Risya?"

Mendengar pertanyaan satpamnya, Aksa tersadar akan sesuatu. Pikirannya seolah telah disetir oleh kejadian-kejadian akhir akhir ini. Kepalanya ia gelengkan kuat-kuat. Membuat Pak Jov yang terus memperhatikannya dibuat semakin heran.

"Bego, ih!" Maki Aksa pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa tadi ia berpikir untuk meminta Pak Jov mengantarkannya? Padahal hanya ke rumah Frans.

"Enggak jadi deh, Pak. Makasih."

Pak Jov segera membuka gerbang rumah Frans. Mempersilahkan Aksa masuk dengan ketakutannya sendiri.

Kalau dulu Aksa akan dengan sangat mudah memasuki rumah ini tanpa izin, maka sekarang tidak lagi. Perempuan itu harus berpikir seribu kali untuk melakukan hal tersebut.

Frans berdecak sebal lantaran bel rumahnya terus-terusan berbunyi. Tidak bisakah Risya langsung masuk tanpa menyusahkan orang? Frans bahkan masih kesal dengan kejadian kemarin.

Cklek!

Mengerjap adalah hal pertama yang Frans lakukan ketika pintu sudah terbuka. Selamat beberapa detik, yang dilakukan pria itu hanya memperhatikan objek menyebalkan yang ada di hadapannya.

Aksara. Dengan paper bag di lantai samping kakinya, juga jari jari tangan yang dimainkan. Kali ini tengah tersenyum canggung menghadap mata elang Frans.

"Kak Risya ada?"

"Ditelan bumi!"

Jelas. Aksa sudah tau akan seperti ini. Lagian pertanyaannya tadi hanya pancingan. Sebelum Frans menanyakan tujuan Aksa datang kemari, bertanya terlebih dahulu adalah hal yang lebih klise sepertinya.

"Lo udah tau kan kalo Risya nggak ada? Terus ngapain masih kesini?"

"F-Frans, a-"

Satu alis tebal Frans terangkat dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Wanita menyebalkan ini tidak melanjutkan ucapan.

"Cepet ngomong tujuan lo kesini atau gue panggilin satpam!"

"Satpam rumah kita sama perasaan," gumam Aksa spontan.

"Satu."

"Eh iya. Maaf. Aku kesini mau nginep. Boleh, nggak?" Aksa tidak berani menatap wajah menyeramkan Frans. Yang entah kenapa, malam ini terlihat begitu tampan.

"Gue, nggak salah denger, kan?"

Frans tertawa sekilas ketika mata tajamnya mendapati sosok Aksa tengah menggeleng seperti orang polos.

"Sori, nggak minat daftar!" ujar Frans. Detik berikutnya ia berbalik lantas berniat menutup pintu.

Aksa memegang pergelangan tangan Frans dengan tangannya yang masih penuh dengan luka. "Malem ini aja, plis...," ucapnya.

"Lo manfaatin waktu pas orang tua gue ke luar negeri dan kakak gue nggak ada? Biar mereka semua nggak tau kan lo aslinya kayak gimana?"

"Plis, Frans. Semalem ini aja," Aksa terus memohon. Matanya bahkan sudah berkaca-kaca.

Jujur. Aksa benar-benar takut. Lagu dan surat tadi sungguh menyiksanya. Kecewa. Kecewa. Dan kecewa.

Apa yang selama ini belum cukup?

Aksa tau dirinya salah. Tapi apa hukuman ini masih kurang?

Tidak lagi. Aksara tidak akan kuat untuk menerima kekecewaan lagi. Walaupun sebenernya, ia tak tau apa yang dimaksudkan oleh si pengirim surat.

Sebelah tangan Frans memijat pangkal hidung. Mungkin kali ini, dia harus bicara baik-baik.

"Sa. Gue mohon sama lo buat pulang. Sekarang," tekan Frans.

Aksa masih tetap menggeleng sambil menunduk. Sampai sejurus kemudian, mata Frans membola ketika satu tetes Air mulai jatuh membasahi tangannya yang tengah digenggam Aksa.

"Cuma malem ini. Nggak bisa ya kamu nurutin aku sekali ini aja?"

Ngedrama banget, sih?! Batin Frans.

Tapi tidak bisa dipungkiri, bahwa di salah satu sudut hatinya ada rasa iba yang mulai muncul. Perlahan tapi pasti, rasa itu menjalar dan memenuhi setiap bagian diri Frans. Membuatnya benar benar terdiam dan tak tau harus merespon bagaimana.

"Masuk!"

Aksa mendongak. Sedikit tidak percaya walaupun pada dasarnya, memang jawaban itu yang Aksa inginkan.

Frans bergeser untuk memberinya jalan remaja dengan baju tidur bermotif jam weker tersebut.

"Barang lo," kata Frans mengingatkan.

"Ditinggal diluar aja boleh nggak, Frans?"

Yang diajak bicara memasang wajah heran sekaligus geram. Sangat tidak bisa memahami pola pikir Aksara yang out of the box.

"Nyusahin banget sih lo jadi orang? Terus ngapain lo bawa ke sini?"

Iya juga ya? Pikir Aksa bertanya-tanya.

"Itu bukan barang aneh-aneh, kan?"

"Aneh aneh maksudnya?"

"Ya, kali aja lo bawa apa kek. Semacam jimat atau apaan gitu," -Frans mengedikkan bahu.

Dan sekarang, giliran Aksa yang dibuat tak mengerti.

"Nggak paham," katanya lugu.

"Lo nggak berminat ngasih gue pelet, kan? Atau mau nyantet gue gitu?"

Mata Aksa berbinar memperhatikan pemuda dengan kaos polos serta celana training se lutut yang tengah bersandar di daun pintu. Tidak ada tatapan menyeramkan. Hanya ada Frans yang bicaranya sembarangan dengan wajah menyebalkan.

Frans tengil yang akan berbicara sesukanya. Mengomentari apapun tentang Aksa dan semua orang maupun barang disekitarnya. Frans yang selalu ada walaupun tidak sedang Aksa butuhkan. Dan Aksara Aurellin Pradikta betul betul merindukan Frans-nya yang seperti ini.

Perempuan itu masih terus memperhatikan Frans yang sekarang sedang meletakkan paper bag tadi di sudut jendela. Kemudian beralih mengunci pintu dan menutup tirai.

"Naik aja ke atas, kamar yang pintunya warna putih."

Aksa mengangguk paham. Tanpa diberitahu juga Aksa akan menuju ke kamar itu.

"Frans," panggil Aksa pelan.

"Ck! Apa lagi, sih?!"

"Nggak boleh ngomong lagi, ya?"

Pertanyaan kelewat lugu barusan tentu saja membuat Frans semakin kesal dengan perempuan dihadapannya. "Gak!" Jawab Frans singkat.

"Dianggep boleh aja deh. Aku cuma mau bilang makasih soalnya."

"Bodo."

"Selamat tidur, Frans."

Mata Frans terus memperhatikan Aksara yang segera berlari menaiki tangga.

"Selamat tidur, Frans."

"Selamat tidur, Frans."

"Selamat tidur, Frans."

Tiga kata itu terus berulang dalam otak Frans. Telinganya berdenging. Entah karena isi kepala Frans terlalu sering mengulanginya atau bagaimana, yang jelas satu kalimat itu tidak asing.


0

6.01

Frans yang sudah lengkap dengan seragam sekolah dan tas masih duduk bermalas-malasan di pinggiran kasur. Sampai menit berikutnya ia baru sadar, bahwa ada tamu tak diundang yang meminta tumpangan tadi malam.

Diawali dengan berdecak malas dan dilanjutkan dengan menyambar tas, Frans kemudian keluar kamar. Pintu putih di sebelah kamarnya tertutup. Tentu saja Frans tidak cukup gila untuk masuk sembarangan. Walaupun ini adalah rumahnya.

Setelah berpikir sejenak, siswa dengan seragam rapi tanpa hoodie tersebut langsung melangkah turun. Tidak mau pusing dengan Aksara sudah bangun atau tidak. Toh jika perempuan itu tidak masuk sekolah, hari Frans akan lebih tenang.

"Loh, Bunda? Kok udah pulang?"

"Maksudnya? Kan emang jadwal pulangnya sekarang."

"Emang iya?" Frans bertanya linglung.

"Tuh, Kan. Sya bilang juga apa, bun? Frans tuh makin hari makin geser otaknya."

"Risya...." Fransisca menegur.

Risya hanya mengedikkan bahu tak peduli. Kembali memasukkan satu sendok sarapan yang sudah terhidang di piringnya.

"Ayah kemana?"

"Ada di kamar. Istirahat duluan. Nanti siang langsung ke kantor soalnya."

Risya terus memperhatikan Frans dengan tatapan mata tak terbaca. Mengisyaratkan sesuatu yang tak bisa dipahami oleh adiknya itu.

"Aksara tadi pulang duluan, perlu siap siap sekolah soalnya."

"Aksara?" Tanya Frans yang masih loading. "Udah pulang?"

"Budek apa gimana, sih?!" Timpal Risya menyindir. Jelas jelas bundanya tadi bilang Aksa harus pulang duluan.

"Oh iya, kata Aksa lo sarapan dulu aja. Ditunggu di depan rumah."

"Hah?"

Melihat Risya yang melotot kemudian melirik Fransisca, akhirnya pemuda dengan seragam lengkap dan rambut tersisir rapi itu mulai paham. Ternyata sejak tadi, kode yang diberikan Risya adalah untuk berpura-pura semua baik-baik saja di depan orang tua mereka.

"Oh, hmm," gumam Frans seadanya.

Setelah paham dan berusaha untuk biasa saja, Frans duduk dan mulai mengambil nasi yang sudah ada di meja. Lengkap dengan satu botol susu melon yang belum dibuka.

Frans mengunyah suapan pertamanya. Tertegun. Itulah yang dirasakan Frans sekarang. Susah payah laki laki dengan kulit putih dan wajah diatas rata-rata tersebut menelan makanan. Bukan karena tidak enak, tapi lebih karena Frans kenal ini masakan siapa.

"Ini mas-"

"Aw! Sya kamu apa-apaan sih?"

Mampus gue, batin Risya. Ia meringis. "Maaf, bun. Nggak sengaja."

"Lagian kaki kamu juga ngapain coba tendang tendang angin segala?"

"Lagi ngusir bakteri, Bun." Risya bertutur sembarangan.

Sedangkan Frans hanya menatap keributan ringan tersebut tanpa minat. Sudah jelas Risya salah sasaran. Yang ingin dilakukan mahasiswa itu adalah menendang kaki Frans untuk memberi suatu kode. Dan Frans tidak peduli apa itu.

06.25

"Kayak yang gue bilang, lo berangkat bareng Aksa."

"Ck!"

"Lo tuh nggak ada terimakasihnya, ya? Gue berusaha biar bunda sama ayah nggak tau hubungan kalian kayak gimana sekarang. Dan lo mau ancurin usaha gue? Harusnya lo tuh ngaca!"

"Bodo!"

"Tadi jugak! Lo mau tanya itu masakan siapa, kan?"

"Hmm. Terus? Cuma gara-gara gitu doang lo mau nendang kaki gue?" Frans tak mau kalah.

"Iyalah, bego! Aksara masak sarapan di sini itu udah hampir tiap hari! Kalo lo masih nanya, bakal keliatan aneh di mata bunda!"

Frans mengacak-acak rambut. Kesal saja terus-menerus dihakimi, sedangkan Risya tidak tau betapa menyebalkannya seorang Aksara. Selalu saja Frans yang salah. Seolah amnesia ini membuatnya menjadi manusia paling berdosa di muka bumi.

"Ya terus lo maunya gimana? Pura-pura terus kayak gue sahabatan sama si pembawa sial itu? Gue bisa rusak, Kak. Kalo perlu, biar bunda sama ayah jugak tau aslinya Aksa kayak gimana. Biar bunda sama ayah sekalian tau kalo gue benci sama dia."

Tak terima.

Selain tak paham, itulah hal yang dirasakan Risya sekarang. "Maksud lo apa ngomong kayak gitu?!"

Frans berdecih sekilas sambil membuang muka. Satu sudut bibirnya terangkat tanda meremehkan. Apa kalau dirinya cerita, Risya akan percaya?

"Lo itu batu! Percuma gue bilangin," ucapnya enteng.

"Gue tanya maksud lo apa?! Perlu gue ulang?"

"Lo nggak tau kan kalo Aksa sering pulang malem? Lo juga nggak tau kan kalo Aksara suka nerima uang dari om-om? Nggak semua yang lo tau tentang dia itu bener, kak! Jangan mau dibohongin sama wajah polosnya."

Frans memberi jeda. Menunggu kakaknya memberi jawaban. Namun karena jawaban yang ditunggu tak kunjung ia dengar, pilihan Frans adalah melanjutkan ceramah.

"Lo nggak tau kan kalo di sekolah gue dibenci gara-gara dia? Gue nggak tau apa apa, kak. Gue juga butuh dukungan. Bukan cuma cewek sok polos nggak tau diri itu. Lo cuma bisa marah-marah, tanpa sekalipun cari tau disini siapa yang salah. Pernah lo mikirin gue terganggu apa enggak? Pernah lo mikirin hal yang bikin gue nggak sukak sama tetangga kesayangan lo itu? Enggak, kan?! Lo tuh sama aja kayak semua orang! Bisanya cuma main hakim sendiri. Nggak pernah sadar sebenernya siapa yang perlu lo bela!"

Andaikan isi kepala Risya tidak sedang lemot, pasti tangannya sudah menampar pipi Frans lagi sekarang. Tapi pertanyaan adiknya barusan membuat mesin-mesin di kepala perempuan itu seolah berkarat.

Masih pagi, dan pewaris nama Sanjaya selain dirinya ini benar benar menguras emosi. Sebenarnya, semua berita simpang siur ini Frans dapatkan dari mana? Risya benar benar tak habis pikir.

Risya tidak akan kaget jika Frans memiliki kepala batu. Karena sejak dulu memang begitu. Tidak akan terkejut juga kalau Frans mengeluarkan kata-kata pedas yang akan membuat hati pendengarnya kandas. Risya tau bahwa Frans tidak suka ada orang lain ikut campur urusan pribadinya. Banyak bicara dan terlalu sering mengomentari hidupnya . Risya tau itu.

Tapi menurutnya, ini semua sudah kelewatan.

"Gue berangkat."

"Bareng sama Aksa."

"Bacot banget sih lo jadi orang?"

Tanpa menunggu jawaban, Frans masuk ke mobil hitamnya. Gerbang rumah sudah dibuka, dan pemuda itu tidak melihat keberadaan Pak Jov.

06.47

Frans berdecak kesal setelah melihat jam yang ada di dasbor mobil. 13 menit lagi gerbang akan ditutup dan Aksa belum juga keluar dari rumah.

Kenapa perempuan yang satu ini sangat menyusahkan?

Harusnya Frans tidak mengizinkan perempuan itu menginap tadi malam. Benar benar menyebalkan. Seperti sekarang. Sudah beberapa menit berlalu sejak percakapannya dengan Risya. Dan yang dilakukan Frans sekarang adalah berdiam diri di dalam mobil sambil menunggu tetangganya keluar.

Walaupun sempat bertengkar dengan Risya dan menyinggung orang tuanya, Frans cukup setuju dengan opini Risya bahwa bundanya belum saatnya tau betapa terbaliknya sifat Aksa dengan yang dikenal Fransisca.

Sebentar lagi. Hanya perlu waktu sebentar lagi untuk Frans menunjukkan pada orang tuanya siapa Aksa sebenarnya. Ya. Frans hanya perlu tahan sebentar lagi.

06.50

Siswa dengan rambut yang sudah acak-acakan itu memilih keluar dari mobil dan membuka gerbang rumah Aksa yang tidak dikunci. Baru saja menggeser beberapa sentimeter, mobil putih yang berhenti tepat disamping mobilnya membuat Frans menatap bingung.

Ah, tidak. Frans tidak jadi bingung. Justru emosinya yang dibuat meluap oleh pemandangan di hadapannya.

"Abang kok belum berangkat? Udah jam segini, bang."

Frans berusaha menahan amarah. Berharap apa yang ada di pikirannya adalah suatu hal yang salah.

"Pak Jov..., nggak dari nganterin Aksara, kan?"

Kalimat tanya barusan ia lontarkan dengan sangat hati-hati. Frans bersumpah akan menumpahkan seluruh amarahnya pada Aksara dan Risya nanti jika memang itulah kenyataan yang akan dia dengar.

"Engga. Saya teh barusan beli regulator. Disuruh sama non Aksa."

Yang mendengarnya bernafas lega. Ia berbalik dan kembali melancarkan aksi membuka gerbang rumah tetangganya.

"Abang teh ngapain?"

"Aksa nggak keluar-keluar. Saya udah telat ini, Pak."

"Lho, non Aksa balik lagi?"

"Maksudnya?"

"Tadi kan sudah berangkat?"

"Katanya nggak dari ngaterin Aksa?"

"Ih emang enggak atuh, bang. Saya mah kurang tau ya itu siapa. Yang jelas tadi sama cowok. Satu sekolah."

Oke. Frans kembali dibuat darah tinggi. Dan ini lebih menamparnya daripada fakta bahwa kedatangan Pak Jov adalah dari mengantar tetangganya.

•|FRASA|•

Dear readers Frasa...

Cuma mau bilang

Aku sayang kalian (◍•ᴗ•◍)✧*。

Continue Reading

You'll Also Like

4.6K 396 21
"Ck ganggu mulu sih, di dalam kelas, di luar lo ganggu mulu kalau naksir bilang, lo naksir gue kan, ngaku lo". "iya, gue naksir, baru nyadar lo" "hah...
585K 27.7K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
1.1M 44.8K 15
Selama tiga bulan mendatang, Miya Gantari harus tinggal serumah dengan empat pria tampan, sebagai pembantu rumah tangga mereka. Kira-kira kejadian ap...
6.1K 930 53
sabtu, 9 mei 2020 SEPENGGAL CERITA INI BERDASARKAN KISAH NYATA KEHIDUPAN PENULIS. FOLLOW DULU SBLM BACA YUK terkadang banyak orang yang iri dengan or...