FRASA [✓]

By helicoprion_

34.3K 8.3K 9.8K

#1 Frasa [08/04/21] #2 Aksara [11/01/22] Frans Amnesia Musibah tak diminta itu tidak hanya menghilangkan inga... More

Prolog
Part 1: Frasa
Part 2: Titipan
Part 3: Pembawa sial
Part 4: Pindah
Part 5: Larangan
Part 6: Pemberhentian
Part 7: Salah langkah
Part 8: Nanti
Part 9: Lo siapa?
Part 10: Rindu
CAST 💙
Part 11: Salah Paham
Part 12: Pelukan
Part 13: Maaf
Part 14: Genggaman
Part 15: Pilihan
Part 16: Penantian
Part 17: Kecewa
Part 18: Bayangan
Part 19: Rasi
Part 20: Memori
Part 22: Isu
Part 23: Tugas Akhir
Part 24: Kecewa
Part 25: Rasa
Part 26: Peringatan
Part 27: Ketakutan
Part 28: Penyebutan
Part 29: Terungkap
Part 30: Keadilan
Part 31: Perintah
Part 32: Pengakuan
Part 33 : Pertanyaan
Part 34: Kekhawatiran
Part 35: Rasa Bersalah
Part 36: Perdamaian
Part 37: Tunda
Part 38: Be mine
Part 39: Status Kepemilikan
Part 40: Lelah
Part 41: Perubahan
Part 42: Perlawanan
Part 43: Happy Valentine 💙
Part 44: Tanda pengenal
Part 45: Kalung
Part 46: Paket
Part 47: Kesempatan
Part 48: Kenyataan
Part 49: Akses
Part 50: Perihal Rasa
Part 51: Pamit
Part 52: Lima Belas Juta
Part 53: Pesaing
Part 54: Setelah semua
Part 55: Permintaan
Part 56: happy birthday, Frans (1)
Part 57: Happy Birthday, Frans (2)
Part 58: Aku pulang, ya?
Part 59: Pergi!
Part 60: Titik balik
Part 61: Fakta
Part 62: Menyerah
EPILOG
KARSA

Part 21: Bullshit

510 128 135
By helicoprion_

•|FRASA|•

"Aksa?"

"Lo nggak papa? Kok bisa, sih? Ngapain tidur di luar? Lo terakhir makan kemarin siang, ya? Sa, plis. Pikirin diri lo jugak!"

"Bentar dulu. Sabar. Aku pusing," ucap Aksa. Memang, kepalanya berdenyut nyeri.

Tanpa menunggu waktu lama, Leon sudah menyodorkan segelas air putih yang ada di nakas kamar rumah sakit tersebut. Juga memberikan satu botol kecil minyak kayu putih yang tutupnya sudah dibuka.

Selang beberapa saat, Leon menelfon seseorang. Mengatakan untuk membawa pesanannya kesini secepat mungkin.

Sedangkan Aksara masih berusaha mengatur pernafasan. Lalu menoleh ke teman sekelas yang tengah melihatnya dengan sorot mata khawatir.

"Aku kenapa?"

"Tadi Kak Alfa telfon gue. Kalo selesai turnamen suruh ke rumah sakit. Katanya lo malem terakhir tidur di luar. Pas paginya ditemuin Malvin, lo dibangunin, tapi nggak bangun bangun. Kulit lo dingin banget, pucet. Lo bahkan cuma pake sweater tipis. Padahal malemnya mereka bilang lo tidur duluan."

"Ooo," ujar Aksa santai.

"Jawab gue sekarang! Ngapain lo tidur di luar? Gue yakin alasannya bukan gara-gara bertengkar sama Ribka, kan?"

"Nggak sengaja ketiduran."

"Terus lo ngapain keluar malem malem?"

"Liat Rigel. Kamu nggak bakal paham kalo aku jelasin."

Bukan apa-apa. Aksara memang berharap melihat Rigel dan Taurus. Yang mana keduanya berhubungan dengan Frans. Jika Aksa mengatakan bagian itu juga, dia yakin Leon akan kembali menyalahkan Frans. Seperti yang sebelum-sebelumnya.

"Kamu menang?"

Leon berdecak sebal. Selalu saja sama. Tatapan datarnya barusan seperti tidak berpengaruh pada Aksa. Gadis itu selalu seenaknya sendiri.

Terkadang, terlalu peduli hanya akan membawamu ke rasa sakit yang tak terkendali.

"Kapan sih lo bisa belajar sayang sama diri lo sendiri? Jangan selalu mikirin orang lain!"

"Aku laper. Bisa minta tolong cariin makanan, nggak?"

"Kalo tujuan lo buat ngusir gue, nggak mempan. Gue udah pesen. Lagi dianter."

"Kenapa nggak beli tadi aja? Jadi kan aku bangun bisa langsung makan."

Yang ditanya menghela nafas. Tatapannya melunak. "Kalo gue beli tadi, dingin dong. Sedangkan gue nggak tau lo bangunnya kapan. Gue udah pesen kok, tinggal nganterin aja."

"Frans mana?"

"Lo pikir dia bakal peduli?"

"Emang enggak, ya?"

"Menurut ngana?"

"Nggak tau. Dia labil."

Oke. Tidak bisakah Aksara lihat kalau Frans sama sekali tidak peduli? Frans tidak kesini. Bahkan untuk menanyakan kabar gadis itu saja, dia tidak melakukannya.

Masih pantas Aksara bilang Frans labil?

Masih berani Aksara berharap Frans juga disini?

Masih layak Aksara mendambakan masa lalu terulang lagi?

Leon tak merespon. Disini hanya ada mereka berdua dan pastinya, gadis itu tau jawaban apakah Frans disini atau tidak. Pria itu mengambil remote AC dan mematikan alat pendingin ruangan itu.

Perilaku yang mengundang perhatian Aksa. Rambut coklat perempuan itu tergerai. Namun terlihat berantakan. "Kamu ngapain?" tanyanya terdengar konyol.

"Cari topik?"

"Maksud kamu?"

"Udah tau gue lagi matiin AC, masih aja nanya. Kalo mau ngobrol tuh bilang, jangan cari topik absurd gitu."

"Enggak gitu. Ngapain AC nya dimatiin?"

"Soalnya gue lupa matiin. Harusnya dari tadi."

"Kenapa?"

Yang ditanya kembali menghela nafas. Mengambil duduk di kursi samping ranjang, dan meraih tangan Aksara. Menggenggamnya erat.

"Nggak bisa ngerasain, ya?" tanya Leon sambil tepat menatap ke manik mata jernih gadis itu.

"Apa?"

"Lo...," —Leon bingung mencari kata— "lo nggak ngerasa kedinginan?"

Harusnya jawabannya adalah Iya. Ya, jelas. Tidur di luar dari tengah malam sampai fajar. Dengan suhu udara jauh di bawah kata normal. Sweater tipis dan pergelangan tangan sampai jari yang terbuka.

"Enggak tuh. Ini tangan kamu anget."

"Bukan tangan gue yang anget. Tangan lo yang dingin."

"Gitu, ya? Hmm, aku nggak ngerasa kedinginan tapi. Udah mati rasa kali," jawab Aksa.

"Mati rasa ke Frans kapan, Sa?"

Aksara mengernyit tak paham. "Mati rasa ke Frans? Maksud kamu gimana?"

"Lo sukak kan sama dia?"

Lagi lagi Aksa memberi jeda. Kali ini agak lama. Perempuan itu tampak berpikir.

"Tergantung konteks. Kalo sebagai sahabat, sukak."

"As a lover?"

"Enggak."

"Terus lo sukanya sama siapa?"

"Engga sukak siapa siapa, Leon. Kenapa kamu nanyak gitu?"

Leon tersenyum. Manis. Sangat manis. Aksara saja yang polos mengakui bahwa Leon terlampau manis.

"Lo sukak belajar, kan?"

"Hm? Kenapa sih? Yang pertanyaan tadi aja belum kamu jawab."

"Belajar sukak sama gue mau nggak, Sa?"

Brak!

"Woi ellah! Santai, dong!" Teriak Risya tak terima.

Adiknya baru saja membanting pintu. Jika saja yang dibanting adalah pintu kamarnya sendiri, Risya paling hanya menderita polusi suara. Lah ini? Pintu kamar kesayangan Risya dengan hiasan polaroid polaroid estetik yang dibanting adiknya.

Frans merebahkan tubuhnya di kasur king size milik Risya tanpa dosa. Seolah pria itu tidak memiliki kamar.

"Bacot!" jawab Frans frustasi.

"Udah gila, lo, ya? Lo habis minum? Gue laporin ayah nih?" Risya mengangkat HP nya sebagai ancaman. Menunjukkan bahwa jika Frans memang benar benar melakukan tuduhannya barusan, Risya akan menelpon ayah mereka.

"Lo yang gila! Gue laporin polisi atas dasar penyebaran berita hoax dan pencemaran nama baik, nih!" Frans balas mengancam. Tak mau kalah.

"Heh, jamet! Napa sih, lo?!"

Frans tak menjawab. Pria itu mengambil bantal donat berwarna pink milik Risya. Lantas memeluknya dengan tangan kanan. Tangan kirinya sibuk memijat pangkal hidung.

Walaupun Risya yakin, kegiatan seperti itu tidak akan membuat pening Frans hilang. Malah semakin sakit.

Risya memilih tak banyak bertanya. Nanti juga Frans akan mengatakannya sendiri. Gadis usia dua puluh satu tahun yang tengah tengkurap di kasur tersebut kembali fokus pada bukunya. Menyalin tugas yang sempat ia tulis asal-asalan di kertas buram.

"Kak."

"Hm?"

"Lo pernah suka sama orang, nggak?"

"Maksud El?!" Risya bertanya sedikit ngegas. Namun sorot netranya masih pada buku catatan.

"Ya sukak. Punya kakak satu pekok amat. Gitu doang gak paham."

"Lo mau punya kakak seribu? Bahk! Sukur sukur nih gue masih mau nerima dan nggak mecat lo sebagai adek!"

"Jadi pernah, nggak?"

"Gue udah punya pacar kali!"

"Oh. Gitu, ya?"

"Punya adek satu pekok amat. Gitu doang perlu ditanyain ulang," sarkas Risya. Pola kalimatnya benar benar persis dengan milik Frans.

"Bukannya tetangga sebelah jugak adek lo, nyet?"

"Iri bilang, sahabat!"

Ruangan berukuran empat kali enam meter. Dengan satu kaca besar berhiaskan tumblr light berwarna pink-putih. Beberapa polaroid tergantung rapi di dinding bercat putih. Papan hitam lebar di sisi lain ruangan. Berisi puisi puisi yang ditulis dengan lettering dan sticky notes bertebaran juga tak kalah estetik.

Kamar yang didominasi warna pink ini menjadi saksi perdebatan bodoh antara kakak dan adiknya. Dimana perdebatan itu masih terus saja berlangsung ke arah yang tidak jelas.

Risya sendiri tak paham, alasan Frans menanyakan hal tersebut.

Ayolah, apa pantas seorang remaja yang empat bulan lagi berumur tujuh belas tahun baru bertanya bagaimana rasanya jatuh cinta?

Hal bodoh macam apa itu? Mungkin Risya akan menjadikannya ide di bait bait puisi berikutnya.

"Kak, lo pernah nggak sih, kesel banget waktu lo berusaha peduli sama orang, tapi orangnya malah lebih terima perhatian dari orang lain?"

"Gue masih waras perasaan," kata Risya. "Ya suka suka dia lah mau nerima siapa aja. Emangnya yang boleh peduli sama dia gue doang?"

"Nggak pernah, ya? Kesel banget gitu waktu ada yang peduliin dia?"

"Lawak kau, sahabat?"

Frans tak menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan Risya. Padahal begitu sederhana. Dia tinggal menjawab tidak.

Benar, kan? Frans tidak sedang stand up commedy. Apalagi berniat menjadi sahabat Kekeyi.

Dia kesal. Benar benar kesal. Banyak bagian dalam dirinya yang saling adu argumen.

Frans sadar itu. Frans juga sadar kalau dia tengah hilang ingatan. Jadi untuk memilih harus percaya pada bagian yang mana sekalipun, rasanya Frans tak memiliki kuasa. Hatinya terus saja banyak bicara. Sedangkan otaknya tidak mau diajak kerjasama.

Apakah Frans kesal tanpa sebab?

Atau, hanya karena Frans tau Aksa wanita murahan? Jadi dia merasa bodoh karena sudah mencoba peduli?

Bisa saja, kan?

Terlalu banyak spekulasi, dan Frans enggan memilih salah satu untuk diyakini.

Pikirannya kalut. Sudah seminggu terakhir wanita bernama Aksara Aurellin Pradikta memenuhi pikiran Frans. Ah, tidak. Tepatnya sejak Frans melihat perempuan itu untuk yang pertama kali.

Semua tentang Aksara adalah hal yang menyebalkan. Seharusnya Frans sadar itu. Otaknya kembali teringat pada peristiwa yang beberapa waktu lalu terjadi.

"Heh, Jamet! Mikir apaan sih, lo?"

"Tetangga sebelah."

"Maksud, el?"

"Aksara," jawab Frans tanpa pikir panjang.

"Labil lo dasar!"

"Dia masuk rumah sakit gara gara gue."

PLAK!

Frans tidak protes. Ia terima Risya marah. Wajar. Risya mungkin akan membunuhnya jika tau Frans sudah membuat Aksa menangis beberapa hari lalu.

"Lawak lo, badut?"

"Enggak. Bukan gara-gara gue sih sebenarnya, tapi semua orang nyalahin gue. Gue nggak tau apa-apa."

PLAK!

"Lo apain anak orang?"

"Dia tidur di luar. Lebih tepatnya di tengah gunung."

PLAK!

Frans tidak membantah. Lagi lagi dia terima.

"Keluar lo dari kamar gue!"

"Pe we."

"KELUAR, NGGAK?!" Tandas Risya begitu emosi.

Mau tak mau, adiknya harus mengalah. Frans kembali ke kamarnya sendiri tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Sedangkan Risya segera meraih ponsel dan mencari kontak Aksa. Tak butuh waktu lama, suara di seberang sudah menyapa.

"Lo diapain sama Frans?"

"Nggak kenapa napa, Kak Sya. Frans nggak ngapa-ngapain. Salahku sendiri. Ini perjalanan pulang. Kak Risya nggak usah kesini."

"Jangan bohong!"

"Beneran, Kak Sya. Jangan bilang tante, ya? Aku di mobil Leon."

"Lima menit belum nyampe rumah gue yang ke sana!"

"Tap-"

Tut!

Risya tak mau dibodohi. Dia mengambil sweater dan berencana akan langsung menyusul Aksa ke rumah sakit.

Sudah lewat jam makan malam dan Frans masih saja merenung seperti orang gangguan jiwa di kamarnya. Belasan telfon dari Sania tidak dia angkat.

"Udah jangan diliatin. Ada yang lagi sukakcewek tapi gengsi!"

"Daripada kayak tetangga sebelah. Mau nyapa aja gengsi. Nggak kasian apa sama ceweknya yang ngejar ngejar terus?"

"Kalo lo cemburu bilang dong, Frans! Jangan semua orang lo marahin!"

Semua kalimat itu masih saja berputar putar di otak Frans. Apa iya?

Frans menggeleng cepat.

Enggak! Bantahnya dalam hati. Tatapan mata pemuda itu berpindah ke cermin. Memperhatikan wajah rupawannya sendiri.

Kata orang, batas antara benci dan cinta itu hanya sebatas kulit bawang.

Satu kalimat itu terus saja mengganggu. Frans tau betul bahwa akhir akhir ini, dirinya sangat labil. Iya. Frans sadar. Sangat menyadari malah.

Otak Frans mendoktrin bahwa dia harus jauh-jauh dari manusia bernama Aksara Aurellin Pradikta. Seperti apa yang selalu dikatakan Sania.

Tapi bagian dirinya yang lain seolah memberontak. Terbukti dari rasa tidak suka Frans tentang hal-hal yang mengaitkan Aksara dengan pria-pria di sekitarnya. Padahal, itu sama sekali bukan urusan Frans. Tidak seharusnya Frans membuang-buang waktu hanya untuk memikirkan dan kesal terhadap Aksa. Ayolah, emosi Frans bisa digunakan untuk hal yang lebih berkelas, kan?

Tapi apa daya. Frans seolah tak kuasa pada dirinya sendiri. Seperti kejadian tadi sore contohnya. Hal terbaru yang membuat Frans terus saja kepikiran.

Flashback On

"Mau langsung pulang?"

"Enggak."

"Kemana?"

"Rumah sakit."

Sania mengangkat alisnya. Sudah jelas dia bertanya tanya, apa yang dilakukan Frans di rumah sakit. "Ngapain?"

Sania meniup poninya ketika melihat hanya ada ekspresi datar Frans sebagai jawaban.

"Lo baru pulang, mending istirahat."

Frans masih bergeming. Ransel besarnya yang berisi perlengkapan tiga hari hanya disampirkan di bahu kiri. Seolah bahu kanannya enggan mengangkat beban.

"Ada kepentingan. Udah ya, nggak usah diperpanjang. Lo pulang duluan aja," kata Frans final.

Sania tak paham, apa yang membuat Frans terlihat begitu kesal. Dia lelah? Mungkin iya. Tapi apa lelah harus membuatnya menjadi begitu menyebalkan?

Dan ke rumah sakit? Sania tau, Frans ada urusan. Tapi apa?

Lupa kah Sania jika pada dasarnya, dia bukan siapa siapa di hidup Frans?

Lupa kah Sania bahwa dia hanya pengganti yang meminta perannya secara ilegal? 

Ah, Sania tidak peduli. Dia sudah sejauh ini, dan keputusannya untuk masuk lebih dalam ke hidup Frans tidak akan dia batalkan.

Oleh karena itu, apapun yang dilakukan Frans saat ini, Sania harus tau. Sania sadar, rumah sakit adalah salah satu hal yang membuat tingkat kekesalan Frans berasa di luar batas seperti barusan.

Sania tau. Karena biasanya, Frans akan mengajaknya ikut dengan senang hati. Dengan senyum ramah yang Sania rasa, hanya dia yang bisa mendapatkannya. 

Tapi sore ini berbeda. Frans baru keluar dari bis. Jelas Sania rindu. Jelas Frans butuh istirahat. Mata pria itu menunjukkan bahwa dia kelelahan serta kurang tidur. Dan yang Sania heran, air muka Frans tidak menunjukkan bahwa dia bersenang senang. Datar? Dingin? Entahlah. Sania tak bisa mendeskripsikannya.

Sudah kepalang kesal. Frans juga sudah terlanjur melangkah pergi. Dan akhirnya, Sania mengikuti. Dengan motor matic kesayangannya, model sekolah tersebut menjadikan Taxi online yang dipesan Frans menjadi penunjuk jalan di depan.

Setengah jam kemudian, Frans sudah bersandar di dinding depan kamar inap Aksara. Dengan tatapan tak bisa diartikan, kedua tangan menyilang di depan dada, serta salah satu kaki membuat kotor dinding putih di bagian bawah.

Frans memandang takjub kaca besar di depan cowok itu yang tengah menunjukkan tontonan bodoh. Menyebabkan sakit mata. Motif gelombang di dahi Frans yang tertutup rambut semakin terpapar jelas. Ah..., jangan lupakan alis tebal yang sudah menukik tajam sejak tadi. Juga bibir yang sengaja dibuat tidak simetris saat itu.

Tidak bisakah Aksara sendiri saja?

Tanpa pria berbeda-beda yang selalu mengelilinginya setiap saat.

Frans bahkan sudah lupa. Bahwa kemarin dan kemarin lalu, dirinya sempat menjadi bagian dari cowok cowok yang bersama Aksara.

Urung sudah niat Frans untuk masuk kamar tersebut. Setelah menegakkan badan, dia bergegas pergi. Frans lelah. Dan semua orang membuatnya semakin merasa lengah.

Kepala Frans ingin pecah rasanya. Bagi Frans, otak dan hatinya sama sama egois. Tidak bisa diajak kerjasama sama sekali.

Frans hanya ingin bebas. Frans hanya ingin hidup apa adanya. Terkait dia yang amnesia, itu bukan keinginannya dan itupun bukan kesalahannya. Frans hanya mau hidup sesuai dengan apa yang ia inginkan, tanpa penghakiman tidak berguna dari orang orang yang sama sekali tidak dia kenal.

Frans tau, tidak sepantasnya dia berpikir begitu. Karena fakta berkata, bahwa memang Frans yang hilang ingatan. Namun tentu Frans tidak akan terima jika harus mengerti orang lain, tanpa orang lain mau mengerti posisinya.

Itu terlalu menyebalkan.

"Ini yang kata lo nggak murahan?" gumam Frans. Seolah kalimat tersebut akan didengar oleh Aksara.

"Bullshit!" lanjutnya.

•|FRASA|•

Ada yang kangen?

Akhirnya niat buat update terealisasikan :)

See you soon!

Continue Reading

You'll Also Like

2.2K 1.8K 54
Mengisahkan tentang murid kelas 10, yang menyukai guru PPL nya. ✦ ✦ ✦ ❝ terkadang labirin luka itu harus kau tinggalkan, apakah tidak tertarik denga...
1.1M 44.8K 15
Selama tiga bulan mendatang, Miya Gantari harus tinggal serumah dengan empat pria tampan, sebagai pembantu rumah tangga mereka. Kira-kira kejadian ap...
10.4K 794 42
Judul awal "Love Me, Please" Senandung nada "Syair Dukacita" merupakan musik yang hanya dapat didengarkan, dunia terus berputar. Namun, mengapa rind...
37.7K 3.6K 62
[COMPLETED] Bisakah ia menentukan cintanya sendiri? Mengharapkan sang kekasih kembali dan hidup bahagia bersama. Memulai awal kisah yang bahagia bers...