FRASA [✓]

By helicoprion_

34.9K 8.3K 9.8K

#1 Frasa [08/04/21] #2 Aksara [11/01/22] Frans Amnesia Musibah tak diminta itu tidak hanya menghilangkan inga... More

Prolog
Part 1: Frasa
Part 2: Titipan
Part 3: Pembawa sial
Part 4: Pindah
Part 5: Larangan
Part 6: Pemberhentian
Part 7: Salah langkah
Part 8: Nanti
Part 9: Lo siapa?
Part 10: Rindu
CAST 💙
Part 11: Salah Paham
Part 12: Pelukan
Part 13: Maaf
Part 14: Genggaman
Part 15: Pilihan
Part 16: Penantian
Part 17: Kecewa
Part 18: Bayangan
Part 19: Rasi
Part 21: Bullshit
Part 22: Isu
Part 23: Tugas Akhir
Part 24: Kecewa
Part 25: Rasa
Part 26: Peringatan
Part 27: Ketakutan
Part 28: Penyebutan
Part 29: Terungkap
Part 30: Keadilan
Part 31: Perintah
Part 32: Pengakuan
Part 33 : Pertanyaan
Part 34: Kekhawatiran
Part 35: Rasa Bersalah
Part 36: Perdamaian
Part 37: Tunda
Part 38: Be mine
Part 39: Status Kepemilikan
Part 40: Lelah
Part 41: Perubahan
Part 42: Perlawanan
Part 43: Happy Valentine 💙
Part 44: Tanda pengenal
Part 45: Kalung
Part 46: Paket
Part 47: Kesempatan
Part 48: Kenyataan
Part 49: Akses
Part 50: Perihal Rasa
Part 51: Pamit
Part 52: Lima Belas Juta
Part 53: Pesaing
Part 54: Setelah semua
Part 55: Permintaan
Part 56: happy birthday, Frans (1)
Part 57: Happy Birthday, Frans (2)
Part 58: Aku pulang, ya?
Part 59: Pergi!
Part 60: Titik balik
Part 61: Fakta
Part 62: Menyerah
EPILOG
KARSA

Part 20: Memori

559 141 132
By helicoprion_

•|FRASA|•

"Frans?" Kita pulangnya gimana?"

Frans mengangkat pergelangan tangannya yang penuh dengan coretan pulpen berwarna hitam. Ada jam tangan buatan di sana.

"Nih! Masih jam satu siang, kok. Tunggu hujan berhenti aja dulu. Atau tunggu bunda sama ayah nyari kita."

"Dari tadi jam satu terus! Aku takut."

"Udah SMP masa masih takut?"

Dua anak berumur tiga belas tahun itu tengah terjebak di bawah badai petir tengah hutan. Di suatu gubuk tua yang mereka tidak tau milik siapa. Jam tangan yang baru mereka buat siang tadi masih menunjukkan angka yang sama.

13.07

Bohong jika Frans mengatakan ini masih jam satu siang. Karena nyatanya, sudah hampir maghrib. Dan mereka hanyalah bocah cilik tanpa pengawasan yang tersesat.

Jalan setapak yang tadi mereka lewati untuk mengejar kupu kupu hingga masuk ke tempat ini sudah hilang dibalik genangan air. Hari mulai gelap. Semak semak dan payung pohon tinggi menambah kesan mencekam di sekitar mereka. Hampir tidak ada sumber pencahayaan. Hanya hujan disertai petir serta kilat yang menjadi kawan mereka menikmati aroma hutan.

Tunggu? Aroma hutan? Sepertinya tidak hanya itu. Bau hujan, juga tanah basah tak kalah mendominasi. Suara benturan jutaan tetes air yang menghujam bumi menjadi musik alam bagi keduanya.

Tidak. Frans dan temannya sama sekali tidak takut petir. Atau kilat. Atau mungkin kegelapan. Pun dengan hewan buas atau semacamnya. Jika biasanya di otak anak kecil hutan akan identik dengan singa dan macan, maka bagi Frans dan temannya tidak begitu.

Mereka suka hewan buas. Sangat suka.

Apa mungkin kau akan takut pada sesuatu yang kau sukai?

Mereka hanya takut tidak bisa pulang. Disini sampai malam dan tidak menemukan tempat untuk tidur.

"Kalo hujannya nggak selesai gimana? Nggak jadi liat Taurus?"

"Besok kan masih ada," ucap Frans masih berusaha menenangkan temannya. Jujur, dia punya kekhawatiran yang sama. Andai mereka tau jalan kembali ke perkemahan dan hutan tidak segelap ini untuk dilewati, mereka tidak peduli jika harus basah.

"Lagian liat Rigel di Orion lebih bagus."

"Taurus lebih bagus!" Perempuan itu ngegas. Tidak terima dengan pendapat pemilik jam tiga belas kosong tujuh tersebut.

"Apaan Taurus? Sapi jelek doang di peternakannya tante jugak banyak kali. Nih ya gue kasih tau. Lo kalo liat Orion nggak bakalan bosen. Apalagi Rigelnya."

Sebenarnya pria dengan kaos kembar dengan gadis seumuran di sampingnya tidak pernah melihat Rigel secara langsung sejauh ini.

Begitupun gadis kecil yang tengah duduk bersamanya di amben minimalis depan pintu gubuk. Tak pernah melihat secara langsung bagaimana rupa rasi bintang Taurus. Hanya tau dari fakta bahwa zodiaknya adalah Taurus.

Saat itu, mereka hanya tau tentang bentuk dari delapan puluh delapan rasi bintang. Tidak dengan artinya, filosofinya, atau apapun.

Hanya sekedar nama dan bentuk yang susah diingat.

Sederhana, mereka suka karena dulu, keduanya pernah memaksa ikut nelayan pergi ke laut malam hari. Hanya karena berharap bertemu dengan hiu dan orca. Yang kata mereka sangat menggemaskan dengan hitam putih sebagai warna identiknya. Tentu saja dengan pengawasan ketat.

Disitulah para nelayan menceritakan pada mereka tentang bintang. Sejak saat itu, bagi mereka bintang adalah hal ketiga yang paling menarik setelah lautan dan hewan purba.

"Frans, tante sama om kapan mau kesini?"

"Bentar lagi."

"Kok tau?"

"Iya gue dapet bisikan angin barusan."

"Ooo," jawab gadis itu begitu polos.

Demi Tuhan, Frans dibuat menahan tawa mendengar respon perempuan tersebut.

Temannya selalu menggemaskan.

"Kalo bentar lagi nggak kesini gimana?"

"Kan ada gue."

"Aku kan enggak mau liat kamu. Aku maunya liat Taurus."

"Kenapa? Kan gue ganteng? Masak mau dibandingin sama sapi?" ujar Frans tengil. Namun begitu, malam ini jadi tidak terlalu menakutkan akibat percakapan abstrak diantara keduanya.

"Frans!"

Frans membuka mata perlahan. Gelap menyambut iris coklat tua miliknya. Sial! Kepalanya berdenyut sakit.

Dengan cahaya seadanya, Frans menoleh pada dua makhluk Tuhan yang tidur di sebelah pria itu. Yah. Dua oknum yang sama, yang kemarin juga tidur satu tenda dengannya.

23.15

Yang artinya, Frans baru tertidur sekitar setengah jam.

Mimpinya. Frans mendadak teringat mimpinya barusan. Tentang dia yang bersama gadis kecil di tengah hutan berselimut hujan.

Suara melengking gadis kecil itu masih terngiang di otak Frans. Segala ucapannya, ketakutannya, semua. Frans mengingat mimpi barusan dengan sangat baik.

Tentang hujan, hutan, Taurus, Rigel, juga tentang tiga belas nol tujuh. Jangan lupakan tentang dia dan temannya yang kecewa lantaran tak bisa bertemu Sang Pemburu dan Sapinya.

Ada satu hal yang tidak Frans ingat.

Wajah temannya itu.

Ah, ya. Satu hal lagi. Mimpi itu terasa begitu nyata. Seolah bukan hanya sekedar bunga tidur karena tadi sore hujan di tengah hutan.

Cukup lama Frans termenung. Memikirkan banyak hal yang saling serobot jalur dalam otaknya. Tidakkah semua pertanyaan dan asumsi itu bisa datang bergantian? Agar Frans bisa berpikir sedikit lebih jernih.

Sekali lagi Frans melirik jam tangan sport yang mengalung di pergelangan tangan kanannya. Sudah enam menit berlalu. Kali ini jam tangan asli. Bukan lagi jam tangan yang menunjukkan angka satu, tiga, nol, dan tujuh. Dengan titik sebagai pemisah masing masing dua angka.

"Rigel."

Setelah mengatakan satu nama bintang tersebut, Frans langsung keluar dari sleeping bag nya dan membuka resleting tenda.

Suhu dingin menerobos masuk.

Aksa menghapus air matanya dengan cepat kala sesuatu kembali tersampir di bahunya. Berusaha untuk terlihat biasa saja. Aksara pikir, semua orang sudah tidur.

"Nggak ada otak ya, lo?"

"Ada," jawabnya pelan.

Frans tidak mengatakan apapun lagi. Hanya mengambil tempat duduk tepat di sebelah gadis menyebalkan itu. Persis seperti kemarin sore.

"Rigel."

"Kamu tau?"

Walaupun pada dasarnya Rigel mudah dikenali, tapi Aksa tampak terkejut. Apa amnesia tidak menghilangkan ingatan Frans tentang bintang bintang? Atau, Frans yang sudah sembuh? Secepat itu kah?

"Yang itu Betelguese. Bener nggak?"

"Iya."

"Kok iya?"

"Emang iya."

"Biasanya lo bacot?"

"Biasanya kamu marah."

"Oh."

Hening. Tidak ada satupun yang membuka suara lagi. Aksara juga sedang tidak berminat mengeluarkan banyak kata. Remaja itu berharap matanya tidak merah saat ini.

Angin pegunungan terus saja berembus tak sabaran. Suara jangkrik menjadi satu satunya musik penghilang sunyi diantara mereka.

Sepi.

Malam ini. Kedua kalinya mereka duduk bersama. Menatap langit dengan jutaan objek yang bisa terekam walau hanya dengan dua mata.

Lalu, nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan?

"Gue boleh tanya?"

"Hm?"

"Taurus yang mana?"

"Ada di sebelah sana," –Aksa menuding bagian langit di sebelah kanannya– "Kalo belum pernah tau bakal kesusahan liatnya. Kamu nggak bakal bisa. Percuma aku kasih tau."

"Sombong banget sih, lo?!"

"Bukannya selalu gitu, ya?"

"Apanya?"

"Kamu nggak pernah percaya apa yang aku bilang. Percuma aku kasih tau. Bukannya selalu gitu?"

"Emang."

"Yaudah, ngapain nanyak? Buang buang waktu aku aja," ketus Aksa.

"Ini masalah ilmu. Kelewatan kalo lo bohong lagi sama gue."

Aksara dengar. Tentu saja dengar. Namun pilihannya adalah diam. Untuk apa juga menanggapi. Frans tidak akan percaya. Apa katanya? Bohong lagi? Memangnya kapan dirinya pernah bohong pada Frans?

Malam ini saja, tolong biarkan Aksara istirahat.

Dia butuh sendiri dan benar benar tidak ingin diganggu.

"Kamu bisa balik ke tenda?"

"Kenapa?"

"Aku mau sendiri."

"Emang lapangan ini punya buyut lo apa?"

"Plis, Frans!"

"Jangan egois, Sa. Ini tempat umum."

Yang diajak bicara menghela nafas. Percuma. Dirinya pasti kalah. Dan apa yang dikatakan Frans barusan adalah suatu kebenaran. Memangnya Aksara siapa mau mengusir sembarangan?

Ini bukan kamar inap Frans yang bisa dikuasai penghuninya dan membuat orang keluar dari sana tanpa sebab yang jelas.

"Lo tumben diem?"

"Nggak papa."

"Aneh, lo!"

"La terus kamu maunya gimana?" Nada suara Aksa meninggi. Emosinya sedang tidak stabil.

Sebenarnya, dulu juga Aksa sering marah. Karena Frans sangat memanjakannya. Frans akan semakin gencar mengganggu Aksa jika gadis itu tengah kesal ataupun PMS.

Tapi itu dulu.

"Kok nyolot, sih?! Ya biasa aja dong!"

"Nggak inget biasanya kamu gimana? Lagian aku diem jugak bukan urusan kamu."

"Cuman nanyak. Nggak usah ge-er!"

"Oh."

Frans merasa tidak asing dengan Aksara yang seperti ini. Padahal, cewek di sampingnya tidak pernah marah marah semenjak Frans melihat dia. Ini berbeda, Aksa seolah risih dengan keberadaannya.

Ini bukan Aksa yang banyak bicara. Bukan Aksa yang akan memperhatikan Frans seperti biasa. Tidak ada ocehan tak penting yang memaksa Frans menjawab. Tidak ada wajah sok manis dengan kerlingan mata yang membuat pria itu selalu mengalihkan pandangan.

Dan tentunya, tidak ada Aksa yang ceria dan selalu sabar menghadapi kemarahan Frans.

Tidak ada alasan yang jelas, namun semua sikap Aksa ini malah menjadi menyebalkan bagi Frans.

Puncaknya adalah, ketika dengan sengaja Aksa mengambil jaket Frans dan mengembalikannya dengan wajah tanpa dosa. "Ini, punya kamu, kan? Kayaknya jatuh deh. Terus kena aku," ucapnya.

"Beneran nggak ada otak ya, lo?"

"Ada."

"Bego, sih?!"

"Aku apa kamu yang bego? Aku udah bilang dari tadi, ada. Nggak denger apa lupa?"

"Lo mau masuk angin?!"

"Gapapa. Katamu tadi aku bunuh diri aja bukan urusan kamu, kan? Jadi aku mati juga kamu nggak bakal peduli, kan?"

"Sa bukan gi-"

"Becanda," ujar Aksa cengengesan. Garing. Semua yang melihatnya juga pasti tau bahwa kekehan Aksa sangatlah dipaksakan.

Frans? Jika boleh hatinya yang berkata, dia merasa tersentil dengan kalimat pertanyaan tadi. Atau yang lebih mirip dengan pernyataan.

"Rigel," kata Aksa pelan. Satu nama bintang yang lolos tanpa pemilik mulut sadari. Dan suara itu berhasil ditangkap oleh telinga sahabatnya.

"Waktu kecil, gue pernah berharap bisa liat Rigel sama Betelguese sebebas ini. Temen gue bilang dia juga mau liat Taurus. Makanya gue nanyak. Nggak taunya lo sombong bener."

Perempuan bersweater hitam dan topi hitam itu seketika menoleh. Terkejut? Iya. Sudah pasti. Bagaimana bisa Frans mengatakan hal tersebut begitu lancar.

"Kapan?"

"Bukan urusan lo!"

"Kapan?"

"Bodo!"

"Kapan?"

"Penting gue jawab?"

"Kapan?"

"Ngomong mulu kayak radio rusak!"

"Kapan?"

"Nggak ada kerjaan?"

"Kapan?"

"Kok bacot, sih?"

"Kapan?"

Frans menghela nafas berat. Dia menyerah. Sampai sini, Frans lah yang menghabiskan banyak tenaga. Kalau saja sejak pertanyaan pertama sudah dia jawab, pasti tidak akan panjang.

Karena jika dihitung, pria dengan rambut jatuh di depan dahi itu telah mengeluarkan delapan belas kata dengan sia sia. Sepertinya Aksa tidak akan berhenti sebelum mendapat jawaban yang dia inginkan.

Persis seperti mainan anak kecil yang rusak.

Sedangkan Aksa sendiri terus mendesak. Dia jelas penasaran. Dan Aksara butuh penjelasan. Karena semesta tau, yang tengah dibicarakan Frans adalah dirinya.

"Baru masuk SMP."

"K-kamu? Inget?" Aksa terbata.

Benar. Mereka pernah tersesat juga di hutan ketika baru saja masuk SMP. Ada rasa haru sekaligus bahagia yang membuncah kala Frans mulai bercerita.

"Sedikit."

"Terus? Jadi liat, nggak?"

"Nggak tau. Nggak inget sampe segitunya."

"Temen kamu cewek apa cowok?"

"Cewek."

Keinginan Aksa merasakan kesendirian malam ini langsung sirna. Tergantikan dengan wajah antusias yang sangat manis. Binar cantik pada mata coklat nan bening itu, juga suara yang terbata dan terdengar ragu untuk diloloskan.

Senang? Tentu saja. Ini yang ditunggunya tiga minggu terakhir.  Tanpa pikir panjang, Aksa langsung memeluk sahabatnya sambil terus tersenyum riang.

Harapannya terkabul.

Sedangkan di pihak Frans, dia justru gelagapan. Semua terlalu tiba tiba. Memangnya apa yang salah dengan ucapannya barusan? Memang hanya itu yang Frans ingat. Tidak lebih dan tidak kurang.

Pria itu diam selama beberapa detik. Matanya membulat sempurna. Tubuh yang sempat oleng mendadak kaku.

Bodohnya, Frans masih terus saja membiarkan. Sarafnya seolah hekerja begitu lambat. Blank. Mungkin itulah kata paling pantas untuk menggambarkan apa yang dirasakan Frans saat ini.

Setelah kesadarannya kembali, lengan kekar Frans mendorong bahu Aksa menjauh. Sedikit kasar. "Lo apa-apaan sih?!" Bentak Frans.

Keadaan berbalik. Kembali seperti sebelum sebelumnya. Aksara yang ceria dengan segala kepolosannya, dan Frans yang benci pengganggu dalam hidupnya.

Jangan salahkan Frans.

Kalian bayangkan saja, orang yang kalian anggap paling menyebalkan, tiba tiba memeluk tanpa sebab dengan senyum yang bagi Frans malah seperti psikopat. Menguliti kebahagiaan pria itu tanpa suara.

"Jadi gini cara lo biar dapet banyak cowok?" lanjut Frans lagi.

Salahkah dia berucap begitu?

"Kenapa?"

"Lo yang kenapa, bangsat?! Kalo ada yang liat pasti gue yang disalahin! Dan dipikir gue mau macem macem!"

"Frans bu-"

"Harusnya tadi gue nggak berbaik hati nemenin lo," –Frans mendekatkan kepalanya. Untuk sejurus kemudian, membisikkan sesuatu tepat di telinga Aksara– "lo denger baik baik, pecundang. Gue, nggak akan pernah mau jadi salah satu dari cowok simpenan lo!"

Selepas mengatakannya, Frans langsung berdiri. Pemuda yang tangannya menenteng jaket hitam tersebut sempat melayangkan tatapan penuh kebencian. Menendang apapun di jalannya sebagai pelampiasan, dan berjalan masuk kembali ke tenda.

Jangan salahkan Aksara juga.

Sebenarnya apa yang terjadi di sini? Apa Frans tidak tau siapa temannya yang ingin melihat Taurus?

Salahkah jika Aksa merasa bahagia?

Salahkah jika Aksa berharap semua kembali seperti semula?

Aksa sudah menunggu cukup lama. Dan saat apa yang ditunggu sudah ada, apa Aksara tidak boleh bahagia?

Mengingat Frans mengatakan dengan jelas kapan waktu peristiwa tersebut terjadi, rasanya tidak mungkin kalau Frans tidak tau siapa yang sedang bersamanya.

Terlalu banyak pertanyaan dalam benak Aksa. Terlalu banyak penyangkalan yang tak pernah bisa ia sampaikan pada dunia. Aksara bahkan tidak sanggup merangkai kalimat tanya yang pantas untuk segala hal yang kembali mengganjal di otak gadis itu. Salahnya juga tidak jelas ada dimana.

Atau, mari kita buat lebih sederhana.

Apa semesta masih ingin bermain-main dengannya?

Aksara tidak sanggup menggumamkan apapun. Bibirnya begitu kelu. Netranya hanya kembali menghadap atas dan menatap kosong.

Langit

Bintang

Cakrawala

Semesta

Angkasa

Gadis dengan topi hitam itu tidak tau lagi harus menyebut mereka apa. Mendefinisikan perasaan bagaimanapun, Aksa juga bingung.

Kenapa semua seolah begitu rumit?

Baru saja Aksa mendapat harapan, Frans nya akan kembali. Nyatanya, hanya untuk satu menit saja harapan itu tidak terlaksana.

"Cil! Hei! Bangun dong!"

Malvin berdecak lantaran Aksa tidak juga membuka mata. Hanya ada dia dan Arsen disini. Dimana partnernya tersebut terus saja berdiam diri tanpa melakukan apapun.

"Jangan diem aja, njir! Panggilan pembina sana!"

"Lo aja. Gue yang jagain dia."

Malvin mengangguk. Ia berlari ke tendanya terlebih dahulu. Cepat cepat membangunkan Alfa dan menyuruhnya ke lokasi tempat Aksa tidur.

Berikutnya, pria berwajah baby face itu pergi ke tenda para pembina yang sudah diterangi lampu. Para pembina tersebut sudah bangun. Juga secepatnya datang ke tempat Aksa.

Masih pukul empat pagi. Dan perkemahan sudah heboh dengan berita Aksara yang tidur diluar dengan jaket tipis dan tikar seadanya. Benar benar seperti pengemis.

"Langsung bawa ke rumah sakit aja. Dia bukan tidur, tapi pingsan kayaknya."

"Gue?" Malvin menunjuk dirinya sendiri.

"Yaiyalah, bego!" Giliran Arsen yang angkat suara.

"Sama saya saja. Malvin masih punya anggota di sini," timpal pembina pramuka.

Mendengar hal tersebut, Malvin menjulingkan mata dan memeletkan lidah pada Arsen. Sedangkan Arsen hanya membalas dengan tatapan tanpa minat.

Di tengah keributan pagi itu, ada dua orang berdiri tak jauh dari sana. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Padahal bisa dibilang, mereka berdualah yang paling dekat dengan Aksara.

"Pasti ada hubungannya sama lo, kan?"

Frans menarik kerah jaket senior disampingnya. "Kenapa gue lagi? Apa semua yang dia alami pasti gue penyebabnya?" tanya Frans menantang.

"Lo pikir gue nggak tau tadi malem lo di sini sama dia?" –Alfa mendorong bahu Frans menjauh. Membuat cekalan tangan adik kelasnya terlepas. "Nggak usah pegang-pegang!"

”Lo, liat?"

"Mungkin. Kalo Leon yang liat bibir lo pasti sobek lagi."

"Kalo lo liat, harusnya lo tau siapa yang salah!"

"Emang gue nyalahin elo? Enggak, kan? Gue cuma bilang ini ada hubungannya sama lo. Kalo lo merasa gitu, ya berarti lo yang salah beneran."

•|FRASA|•

Eh bentar bentar!

Udah pada kasih vote belum?

Kayak gitu caranya. Ada di pojok kiri bawah•-•

Pada kangen cogan cecannya Frasa ngga? Ada beberapa pesan dari mereka nih!

Aksa: Readers jangan jahat jahat ke Frans. Dia nggak salah.

***

Frans: Aksara aja biasa, kenapa lo pada yang sewot?

***

Sania: Gue ngga pernah ngajak kalian ribut.

***

Leon: Stay safe, semua!!! Gue lagi di rumah sakit. Buat kalian, kalau keluar rumah jangan lupa pake masker ya!

***

Alfa: Jangan lupa share Frasa ke temen-temen lo💙

***

See you next chapter!

Salam sayang dari Cio💙

Continue Reading

You'll Also Like

616K 17.1K 49
Cerita sudh end ya guys, buru baca sebelum BEBERAPA PART DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBIT. Kata orang jadi anak bungsu itu enak, jadi anak bungsu...
5.3K 984 33
Sasi, perempuan pendiam di kelas. Sangat misterius. Dalam sejarahnya, tidak ada lelaki yang mendekati Sasi. Padahal usia gadis itu sudah bisa dibilan...
23.1K 2.4K 47
"Ngapain lo!" Suara seseorang menyadarkanku, membuatku berbalik lalu menatapnya intens. Cowok belagu lagi. "Menurut lo, gue ngapain disini?" Ucapku s...
90.1K 5.5K 37
Cerita masih lengkap :' Semua orang pasti mempunyai rahasia. Tidak terkecuali gadis ini. Rela pindah ke kampus lain demi menyembunyikan identitasnya...