FRASA [✓]

By helicoprion_

34.9K 8.3K 9.8K

#1 Frasa [08/04/21] #2 Aksara [11/01/22] Frans Amnesia Musibah tak diminta itu tidak hanya menghilangkan inga... More

Prolog
Part 1: Frasa
Part 2: Titipan
Part 3: Pembawa sial
Part 4: Pindah
Part 5: Larangan
Part 6: Pemberhentian
Part 7: Salah langkah
Part 8: Nanti
Part 9: Lo siapa?
Part 10: Rindu
CAST 💙
Part 11: Salah Paham
Part 12: Pelukan
Part 13: Maaf
Part 14: Genggaman
Part 15: Pilihan
Part 17: Kecewa
Part 18: Bayangan
Part 19: Rasi
Part 20: Memori
Part 21: Bullshit
Part 22: Isu
Part 23: Tugas Akhir
Part 24: Kecewa
Part 25: Rasa
Part 26: Peringatan
Part 27: Ketakutan
Part 28: Penyebutan
Part 29: Terungkap
Part 30: Keadilan
Part 31: Perintah
Part 32: Pengakuan
Part 33 : Pertanyaan
Part 34: Kekhawatiran
Part 35: Rasa Bersalah
Part 36: Perdamaian
Part 37: Tunda
Part 38: Be mine
Part 39: Status Kepemilikan
Part 40: Lelah
Part 41: Perubahan
Part 42: Perlawanan
Part 43: Happy Valentine 💙
Part 44: Tanda pengenal
Part 45: Kalung
Part 46: Paket
Part 47: Kesempatan
Part 48: Kenyataan
Part 49: Akses
Part 50: Perihal Rasa
Part 51: Pamit
Part 52: Lima Belas Juta
Part 53: Pesaing
Part 54: Setelah semua
Part 55: Permintaan
Part 56: happy birthday, Frans (1)
Part 57: Happy Birthday, Frans (2)
Part 58: Aku pulang, ya?
Part 59: Pergi!
Part 60: Titik balik
Part 61: Fakta
Part 62: Menyerah
EPILOG
KARSA

Part 16: Penantian

574 168 188
By helicoprion_

•|FRASA|•

05.29

"Lo nggak mau cerita, kak?"

"Udalah, Leon. Nggak usah dibahas." Aksa. Memberikan jawaban tanpa diminta. Tentu saja. Dia dan Alfa sama sama malas memperpanjang.

"Iya, nggak usah dibahas udah."

"Cerita doang, janji gue nggak bakal ngapa-ngapain."

Aksara melirik ke arah Alfa. Seolah bertanya apakah Leon perlu tau.

Sepagi ini Leon sudah siap dengan seragam sekolah lengkap dan jaket parasut yang merupakan almamater tim futsal. Menjemput Aksara yang menginap di rumah seniornya itu.

Ya. Aksa memilih Alfa kemarin malam. Apa yang dikatakan Alfa lebih logis. Pertama, dia sungkan jika menolak perkataan Alfandra yang sangat penuh logika. Kedua, Frans butuh waktu. Aksa tau Frans marah padanya. Dan jika dirinya pergi Frans akan semakin marah. Ia semalaman tidak bisa tidur memikirkan apa salahnya pada Frans selain pulang bersama Alfa. Apa amnesia ini juga membuat Frans lupa betapa pentingnya acara terkait perusahaan?

Aksa terus menatap kakak kelas nya yang semalam sudah memberikan tumpangan. Alfa sendiri bingung harus menjawab apa. Sepenuhnya ia serahkan jawaban pertanyaan Leon pada yang bersangkutan.

"Habis acara itu aku mau pulang, tapi udah kemaleman. Frans kan nggak ngijinin aku pulang bareng cowok lain. Pas itu Om Farhan nggak bisa pulang awal. Jadi aku ikut keluarga Kak Alfa dan nginep di sini. Daripada nyari ribut malem malem."

Mendengar penjelasan Aksa, Alfa sedikit terkejut. Ternyata Aksa bisa berbohong. Walupun tidak sepenuhnya yang dikatakan adalah kebohongan. Hanya saja ada bagian yang tidak diceritakan. Secepatnya pria itu mengangguk setuju. Memilih mengiyakan alasan yang baru keluar dari mulut Aksa. Benar.

Leon tentu tidak akan langsung percaya. Tapi melihat kontak mata Alfa dengan gadis itu yang terlihat tak nyaman, Leon lagi lagi harus mengalah. Mengiyakan dan tidak terlalu ikut campur dalam urusan mereka.

Beberapa menit berlalu.

Setelah berpamitan dan meninggalkan satu surat izin untuk Alfa, Leon dan perempuan yang disukainya kembali berkelana di jalanan. Menunggangi kuda besi berwarna putih seorang Leon ke rumah Aksa.

Hari ini Kamis. Aksa lagi lagi memilih tidak masuk sekolah. Dirinya terlalu lelah. Belum lagi besok hari Jumat sampai minggu waktunya harus dihabiskan di pegunungan. Aksa butuh waktu istirahat dan menenangkan pikiran. Sedangkan di sisi lain, Leon pagi ini juga harus berangkat ke luar kota untuk turnamen yang dimulai besok. Pastilah Aksa sangat bosan di sekolah. Jadi tidak masuk adalah keputusannya yang sudah bulat.

Untuk yang kedua kali, Aksara Aurellin Pradikta dikagetkan dengan kehadiran sosok manusia yang memilki wajah dengan tingkat estetika begitu tinggi di rumahnya.

Orang itu tertidur di sofa panjang ruang tamu. Terlihat berantakan. Bahkan pakaian yang dikenakannya masih sama dengan kemarin malam.

Aksa berjalan mendekat. Dengan sangat hati hati, ia duduk di lantai dan memandang wajah sahabatnya yang tengah tertidur. Ada rasa bersalah yang menyeruak kembali dan memenuhi hati serta pikiran Aksa sendiri. Lagi lagi Aksa salah mengambil keputusan. Benar. Seharusnya kemarin dia menurut pada Frans. Bukan malah menyetujui ucapan Alfa.

Sekarang, gadis itu menyesal telah melepas semua fotonya dengan Frans di ruang tamu dan ruang keluarga. Bukan apa apa. Alasannya hanya karena kedua orangtuanya sudah tidak ada, dan Aksa ingin foto mereka yang memenuhi setiap sudut ruangan. Frans? Cowok itu bahkan masih bisa Aksa lihat setiap hari.

Kedua sudut bibirnya terangkat sempurna ketika matanya menangkap rantai monel yang melingkar di leher Frans. Dengan bandul cantik bertuliskan "Fra", sahabatnya itu masih memakainya. Aksa juga punya. Ada di atas. Di kamar. Kalau bukan karena acara tadi malam, Aksa juga tidak akan melepaskannya.

"Kay, Frans semaleman disini?" tanya Aksa pada kucingnya yang juga baru bangun. Kucing abu-abu itu menggeliat. Semalaman rupanya meringkuk di bawah kaki Frans.

"Meong," jawab Kayla.

Aksa mengangguk. Atensinya kembali pada seorang cowok yang tidur di sofa rumahnya itu.

"Frans, bangun."

"Frans, tidurnya dilanjut di kamar, ya?" bujuk Aksa. Masih sangat pelan.

"Meong," timpal Kayla berniat untuk ikut membangunkan.

"Frans," Aksara menepuk pelan pipi Frans. Lantaran tetangga sekaligus sahabatnya itu masih belum bangun juga.

Perlahan, Frans membuka mata perlahan. Sepasang indra penglihatannya langsung disuguhi pemandangan seorang Aksara yang tengah menatapnya intens. Pupil matanya bergerak beriringan dengan neuron neuron otak yang mencoba menilik bagian demi bagian wajah Aksara. Tidak ada raut kaget sama sekali di wajah pemuda itu.

"Pindah ke kamar, ya? Engga usah sekolah dulu."

Frans masih diam. Ditatapnya kedua bola mata Aksa lamat lamat. Ada sesuatu yang berusaha Frans ingat. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

Tapi apa?

Kepalanya berdenyut pusing. Ia baru tertidur setelah adzan Subuh berkumandang tadi. Frans tau. Karena Frans sempat mendengarnya sekilas. Sebelum lelah membawanya ke alam bawah sadar.

Pelan pelan, Frans berusaha mengangkat badan. Memaksakan tenaga untuk duduk. Dia letih. Sangat letih. Badannya terasa sakit semua meskipun sofa ruang tamu Aksa sangat empuk dengan kualitas dan merk ternama.

"Lo udah pulang?"

Bodoh, kan? Iya. Jelas jelas jawabannya ada di depan mata. Tak ada nada mengintimidasi dari ucapan Frans. Tidak ada lagi ucapan ketus dan pedas yang semalaman menghantui Aksa. Frans bertanya begitu santai. Aksa tersenyum sambil mengangguk.

"Ayo," ajak Aksa.

Ia tak berani menyentuh Frans lagi. Setelah menutup pintu, sang tuan rumah menaiki tangga. Sedangkan satu oknum lagi di sana mengikuti dengan malas. Entah kenapa dia menurut. Padahal rumahnya juga tidak terlalu jauh. Bahkan pas di sebelah rumah Aksa.

Aksa membuka pintu hitam yang ada di sebelah kamarnya. Kamar berukuran 4×6 meter dengan kamar mandi dalam ala hotel minimalis. Satu buah TV tergantung rapi. Sprei berwarna biru dengan beberapa bantal putih & navy. Dilengkapi pintu kaca yang langsung terhubung dengan balkon. Kipas angin menggantung rapi tepat di atas tempat tidur.

Aksa menyuruh Frans masuk. Gadis itu menutup jendela dan pintu kaca. Juga sekaligus menutup tirainya untuk memberikan pencahayaan tidak terlalu terang dan membiarkan Frans tidur.

Setelah mematikan lampu, Aksa keluar tanpa mengatakan apapun. Apa pula yang harus ia katakan? Aksa ingin minta maaf. Tapi kondisinya belum memungkinkan. Sangat terlihat bahwa sahabatnya itu sedang letih. Dia juga sama.

Untuk sekarang, beristirahat adalah pilihan terbaik.

Frans membuka mata. Remang cahaya yang menembus gorden menyambut indera penglihatannya. Setelah beberapa detik pupilnya berusaha menyesuaikan ukuran, ia menilik sekitar. Lantas beranjak duduk. Mengumpulkan kesadaran.

Rumah Aksara.

Frans tau itu. Dia bergeser sedikit untuk ke tepi ranjang. Lalu tangan kekarnya membuka laci dan mengambil jam di dalam sana.

11.08

Dengan gerakan cepat, pemilik mata yang senada dengan rambutnya itu turun dari kasur dan berjalan ke lemari di sudut ruangan. Mengambil satu setel baju rumahan yang tertata rapi di dalam. Tak lupa satu handuk putih yang juga terlipat di dalam lemari.

Setelah menutup pintu lemari, Frans dihadapkan dengan wajahnya yang tertera di kaca. Ia tertegun.

Apa yang dia lakukan barusan? Membuka laci dan melihat jam? Mengambil pakaian di lemari? Tentu. Ia tau itu.

Tapi Frans mulai bertanya tanya. Bagaimana bisa efektor sarafnya bekerja begitu lancar tanpa Frans sadari? Bagaimana bisa dia tau ada jam di dalam laci dan mengambil pakaian seenak jidat di dalam lemari?

Ia panik. Kebingungan. Memindai satu persatu barang di sekitarnya lagi. Jelas kamar ini bukanlah kamar almarhum ayah Aksa. Baju baju disini bukan baju lama. Tidak mungkin juga Aksara membawanya ke kamar almarhum ayahnya, kan? Setahu Frans, Aksa juga anak tunggal. Tidak memiliki kakak atau adik laki laki.

Pria dengan muka bantal itu menggeleng. Mungkin hanya dia yang tidak tau. Dan mungkin hanya efek dirinya yang sudah terbiasa bangun langsung mandi. Jadi sekarang pun sama. Frans reflek berjalan ke lemari. Itulah yang coba ia tanamkan dalam kepercayaannya.

Frans ingin mengembalikan sepasang baju yang akan ia gunakan tadi. Tapi badannya terasa pegal dan lengket. Entah kenapa ia malah berjalan masuk ke kamar mandi. Bukankah bisa saja dia turun dan langsung pulang? Mandi di rumah tanpa harus meminjam barang orang lain. Lebih baik, kan?

Frans mandi dengan air hangat. Fasilitas rumah ini tidak beda jauh dengan rumahnya. Ia perlu menjernihkan pikiran.

Lima belas menit kemudian, pemuda itu keluar dengan kaos polos berwarna hitam dengan tanda centang di dada kiri. Rambut basahnya ia biarkan tak teratur. Masih ada rasa pegal yang tersisa di otot-ototnya.

Tanpa pikir panjang, Frans keluar dari kamar tersebut. Sejak bangun tadi perutnya terus saja berbunyi. Wajar saja, terakhir dia makan adalah kemarin siang. Waktu makan malamnya ia habiskan menunggu Aksa seperti orang bodoh. Ketika ditanya oleh seorang wanita modis kemarin Frans bilang sudah makan. Tidak ingin repot repot menggubris lebih jauh. Sedangkan waktu sarapannya sudah digunakan untuk tidur.

Remaja yang tengah mengalami amnesia itu berjalan menuruni tangga. Sampai di tengah-tengah, dia bisa lihat sang pemilik rumah sedang berkutat dengan laptop. Lama sekali Frans memperhatikan apa yang dilakukan gadis itu. Langkahnya melambat, hingga sampai di dua anak tangga terakhir, pria itu berhenti.

Dari sini, bisa Frans lihat betapa fokusnya Aksa pada sesuatu yang ia kerjakan tersebut. Sesekali jari mungilnya berpindah ke pulpen dan menuliskan beberapa hal di notes yang jelas itu bukan buku tulis biasa. Lantas dengan segera kembali menari di atas keyboard laptop dengan lambang apel digigit di belakangnya.

Wajah Aksara terlihat lelah dengan sweater coklat kedodoran membalut tubuhnya. Padahal ini di dalam rumah. Rambutnya tergerai tidak beraturan dengan ponsel case jingga yang sesekali juga ditoleh. Mata coklat terang Aksa berkantung. Lingkaran hitam mengelilingi keduanya dengan sangat jelas.

"Mau sampe kapan liatin aku?"

Frans tersentak. Gelagapan. Ia langsung mengalihkan padangan saat Aksa menghadap dirinya sekilas. Hanya sebentar. Kemudian kembali menuliskan sesuatu di note.

Frans melanjutkan langkah. Namun kakinya malah membawa pria itu kursi samping Aksa dan duduk di sebelahnya.

"Makan dulu, Frans. Kamu tadi pagi belum sarapan," kata Aksa masih saja lembut. Seperti biasa. Tapi fokusnya masih pada laptop. Seolah apa yang dikerjakannya itu benar benar penting.

Yang diajak bicara mengernyit heran. Tumben? batin Frans.

Sejujurnya, yang dilakukan Aksa ini tidak terlalu penting. Deadline nya juga masih lama. Tapi Aksa benar benar bingung harus berkata apa. Dia merasa bersalah. Mau minta maaf takut Frans marah lagi.

Tidak minta maaf malah justru tambah salah. Sejak tadi, matanya tertuju pada laptop, tapi fokus pikirannya ada pada Frans. Aksa juga tau sejak tadi Frans memperhatikannya. Tapi dia memilih diam.

Tanpa pikir panjang, Frans membalik piring di depannya dan mulai mengambil nasi.

"Ini yang nggak boleh dimakan yang mana?"

"Boleh semua kok, Frans," Aksara menjawab lembut disertai senyumannya yang begitu hangat. Kepalanya sudah menoleh ke Frans yang tengah menatap dingin. Disini, Frans bisa semakin jelas melihat lingkaran hitam di mata perempuan itu. Tapi dia enggan bertanya.

Sesaat setelah Frans mengunyah suapan pertamanya, Aksa berdiri. Menutup laptop, dan merapikan note serta pulpennya. Lalu menyimpan ketiga benda itu di meja makan bagian samping.

"Lo mau ngapain?"

"M-mau makan jugak," jawab Aksa gugup beberapa saat kemudian.

"Uhuk-uhuk!"

"Eh? Frans gapapa?" Aksara bertanya sambil menuangkan air mineral ke dalam gelas. Kemudian dengan tergesa memberikannya pada Frans.

"Jadi lo belom makan?"

Yang ditanya menggeleng polos. "Frans nggak papa? Aku ambilin susu melon, ya?"

Tanpa menunggu jawaban, Aksa sudah berjalan cepat ke kulkas. Mengambil dua botol susu melon yang barusan ia bicarakan.

Sedangkan di tempatnya, Frans lagi lagi tertegun. Sepenting itukah sesuatu yang dikerjakan Aksa tadi? Hingga makanan sudah di depan mata saja perempuan itu belum makan.

Frans mencengkeram erat sendok dan garpu di tangannya. Atensinya tidak beralih sama sekali dari perempuan dengan sweater coklat yang sekarang sibuk menancapkan sedotan ke botol susu.

"Nih!"

Bagus. Susu melon siap minum itu sekarang sudah ada tepat di depan mata Frans. Tapi itu hanya menjadi objek sementara. Sebelum detik berikutnya mata tajam Frans kembali mengarah ke Aksara Aurellin Pradikta.

"Kok bego, sih?"

"Eh?" Aksa memasang tatapan heran. Sedikit terkejut dengan respon Frans yang sepertinya tidak nyambung sama sekali.

"Duduk!"

Aksara menurut. Oke. Lagi lagi Aksa dengan kepolosannya. Aksa sempat mundur, mengambil jarak satu kursi dengan Frans. Tidak di samping pria itu langsung. Tangan Frans meraih susu melon itu dan meletakkannya di meja. Untuk detik berikutnya, tangan kekar itu sudah disibukan mengambil nasi, lauk, dan sayur yang juga beberapa saat lalu dia ambil.

Setelah selesai, Frans segera meletakkannya di samping piringannya.

"Sini!"

"E-enggak. Disini aja," jawab Aksa sambil menunduk. Perempuan itu benar benar belum berani berada di dekat Frans.

"Sini, nggak?!"

Frans memaksa. Yang artinya, mau tak mau Aksara harus menurut. Lantas berpindah ke kursi samping Frans.

Mereka berdua makan dalam diam. Berkutat di pikirannya masing masing. Bahkan hingga selesai makan pun, keduanya masih diam. Tanpa berkata apa-apa, Aksa mengambil piring Frans dan membawanya ke dapur untuk langsung dicuci.

"F-Frans."

Yang dipanggil menoleh. Mengangkat alisnya yang artinya dia bertanya ada apa. Dilihatnya Aksara yang tengah menggendong kucing abu-abu dengan bandana hitam. Kucing yang semalam menemaninya mengobrol sekaligus tidur.


"A-aku minta maaf," kata Aksa gugup.

"Aku tau aku salah. Enggak seharusnya jugak tadi malem aku pergi sama Kak Alfa lagi. Aku bener bener minta maaf."

"Lo kenapa barusan makan?"

Frans banting setir. Mengalihkan topik pembicaraan. Tidak sepenuhnya, memang itu yang sejak tadi ingin dia tanyakan.

"Soalnya kamu belum makan juga.," Cewek ini menjawab lugu. Lagi-lagi ucapan itu sanggup membuat Frans terkejut walau tidak ia perlihatkan dengan jelas.

"Lo habis nangis?"

"Enggak."

"Bohong!"

"Emang enggak, Frans. Tanyain Kayla kalo nggak percaya."

"Mata lo merah. Panda."

"Iya."

"Kok iya, sih?" Protes Frans tak terima dengan jawaban singkat Aksa.

Repot, kan? Dibalas panjang dibilang Aksara banyak bicara. Dijawab singkat pun Frans masih tidak terima.

Disini, dalam kisah ini. Setiap Frasa yang ditulis akan menunjukkan. Bahwa kalimat "perempuan selalu benar" tidak ada dalam kamus siapapun yang terlibat.

"Lah? Emang iya, kan? Aku juga tau kalo mata aku merah sama mata panda"

"Jadi lo habis nangis, kan?"

"Enggak."

"Jadi yang bener yang mana? Iya atau enggak?" Frans mendesak tak sabaran. Gemas sendiri mendengar jawaban Aksa yang tak kunjung sampai pada kejelasan.

"Enggak."

"Mata lo nggak bisa bohong."

"Iya."

"Jangan belibet anjir! Kalo emang nggak nangis ngapain itu mata bisa kayak gitu?"


"Aku tadi malem cuma tidur dua jam."

Wajah kaget Frans tidak lagi bisa disembunyikan. Kalo semalem emang wajar tidur kurang. Tapi masa pagi ini dia nggak tidur? Batin Frans bertanya tanya.

"Lo..., tadi nggak tidur?" Pertanyaan tersebut terlontar sangat hati-hati.q Sedikit ragu sebenarnya untuk mengeluarkan kalimat itu. Berharap bahwa jawaban Aksa adalah sudah tidur walaupun sebentar.

Berbeda dengan Aksara yang menggeleng santai sambil menimang Kayla. Seolah tidak tidur itu bukanlah sesuatu yang harus dipermasalahkan.

"Ngapain?"

"Soalnya kamu belum bangun."

"Lo gila apa goblok, sih?"

Frans bertanya tak tanggung tanggung. Bukan bermaksud mengatai Aksa begitu. Hanya saja dia tak tau jalan pikiran gadis itu. Bisa bisanya belum makan dan tidak tidur hanya karena Frans belum bangun.

Tapi bagaimanapun, memang dasarnya Aksara lugu. Tidak paham maksud pertanyaan Frans bagaimana. Remaja dengan rambut tergerai itu juga tidak memusingkan pertanyaan Frans. Sudah biasa. Daripada sakit hati, mending dia menjawab sesuai kemungkinan dan kenyataan yang ada.

"Kayaknya pilihan kedua, Frans. Soalnya aku masih waras. Kalo bego mungkin iya," jawabnya.

Frans kesal sendiri dibuatnya. Ia menjambak rambutnya yang sudah mulai kering.

"Tidur sekarang!" Titah Frans.

"Tapi kamu siapa yang nemenin?"

"Gue bukan bayi, Sa!"

"Kalo kamu pul–"

"Gue nggak akan pulang! Gue disini. Sekarang naik ke kamar lo, habis itu tidur!"

•|FRASA|•

Continue Reading

You'll Also Like

5.2K 818 43
Bagas dapat melihat masa depan setelah menerima kalung keramat pemberian Diyana. Ia sering mendapatkan mimpi-mimpi aneh. Terutama mengenai hal yang b...
90.1K 5.5K 37
Cerita masih lengkap :' Semua orang pasti mempunyai rahasia. Tidak terkecuali gadis ini. Rela pindah ke kampus lain demi menyembunyikan identitasnya...
38.3K 3.4K 42
[COMPLETED] Seperti ingin menyatukan dua waktu yang tidak bisa bersatu. Semesta kembali mengambil alih untuk mempertemukan dua waktu yang berbeda Ket...
1.4M 105K 46
Aku hanya seorang mentari yang kehilangan sinarnya, aku hanya ingin diperhatikan dan diperdulikan sekali saja, tapi mengapa takdir seolah memusuhiku...