FRASA [✓]

By helicoprion_

34.2K 8.3K 9.8K

#1 Frasa [08/04/21] #2 Aksara [11/01/22] Frans Amnesia Musibah tak diminta itu tidak hanya menghilangkan inga... More

Prolog
Part 1: Frasa
Part 2: Titipan
Part 3: Pembawa sial
Part 4: Pindah
Part 5: Larangan
Part 6: Pemberhentian
Part 7: Salah langkah
Part 8: Nanti
Part 9: Lo siapa?
Part 10: Rindu
CAST 💙
Part 11: Salah Paham
Part 12: Pelukan
Part 13: Maaf
Part 14: Genggaman
Part 15: Pilihan
Part 16: Penantian
Part 17: Kecewa
Part 19: Rasi
Part 20: Memori
Part 21: Bullshit
Part 22: Isu
Part 23: Tugas Akhir
Part 24: Kecewa
Part 25: Rasa
Part 26: Peringatan
Part 27: Ketakutan
Part 28: Penyebutan
Part 29: Terungkap
Part 30: Keadilan
Part 31: Perintah
Part 32: Pengakuan
Part 33 : Pertanyaan
Part 34: Kekhawatiran
Part 35: Rasa Bersalah
Part 36: Perdamaian
Part 37: Tunda
Part 38: Be mine
Part 39: Status Kepemilikan
Part 40: Lelah
Part 41: Perubahan
Part 42: Perlawanan
Part 43: Happy Valentine 💙
Part 44: Tanda pengenal
Part 45: Kalung
Part 46: Paket
Part 47: Kesempatan
Part 48: Kenyataan
Part 49: Akses
Part 50: Perihal Rasa
Part 51: Pamit
Part 52: Lima Belas Juta
Part 53: Pesaing
Part 54: Setelah semua
Part 55: Permintaan
Part 56: happy birthday, Frans (1)
Part 57: Happy Birthday, Frans (2)
Part 58: Aku pulang, ya?
Part 59: Pergi!
Part 60: Titik balik
Part 61: Fakta
Part 62: Menyerah
EPILOG
KARSA

Part 18: Bayangan

600 154 220
By helicoprion_

•|FRASA|•

"Kamu masih marah?"

"Frans?"

"Aku minta maaf. Aku terima kok kalo kamu bilang aku murahan. Suer deh. Beneran. Aku nggak nolak lagi. Asal kamu maafin."

"Selalu aja ngomong sendiri. Di chat enggak dibales. Ngomong langsung enggak di tanggepin. Berasa hidup beda dunia aja."

"Baru nyadar? Dari awal jugak gue udah bilang kita beda. Jadi berhenti ganggu gue!"

"Kok gitu sih? Aku marah nih?" Aksara mengancam. Seolah perkataannya barusan akan membuat Frans luluh.

"Marah sampe lo bunuh diri jugak bukan urusan gue!"

"Ishhh!"

Sedetik kemudian, keduanya reflek menoleh ke kepala seseorang yang baru saja menyembul dari kursi depan. Tatapan jail orang itu bergantian memandang Aksara dan Frans.

"Berantem mulu. Gue jodohin nih lama lama. Eh, Frans. Lo belum jawab pertanyaan gue tadi. Lo laundry otak dimana? Mahal kagak?"

"Sakit hati adek bang. Cuek amat," lanjut Malvin dramatis. Di sampingnya, Alfa tertawa kecil mendengar tingkah absurd adik kelasnya itu.

"Dih. Sok! Aku yang sahabatnya aja dicuekin apalagi kamu."

"Harus berapa kali gue bilang? Lo bukan sahabat gue!"

Aksa menggeleng sambil tersenyum. "Sekarang mungkin bukan. Kamu kan lagi amnesia. Tapi kemaren kemaren sama nanti jadi sahabatku kok."

Malvin meletakkan dagunya pada sandaran kursi. Terlihat antusias mendengarkan percakapan mereka berdua.

"Nah eta!" ujar Malvin menimpali.

"Perhatian perhatian. Anda sedang amnesia wahai tuan Frans. Mohon perhatikan tingkat kewarasan dan kesehatan anda."

Frans hanya melayangkan tatapan sinis pada dua orang itu. Kenapa sangat menyebalkan? Saling bela di depan Frans. Bersama sama menyerang pemuda itu hanya karena dirinya amnesia? Lucu! Frans bahkan muak dengan wajah sok imut di sampingnya.

"Gue bakal jadi orang pertama yang ketawa paling keras kalo lo udah inget semua, Frans. Lo tau sesuatu nggak? Sejak lo amnesia, Aksara tuh aneh banget. Ramah si iya kayak biasanya, tapi lebih ke nggak mau diganggu."

Yang ditanya tetap memandang datar. Dia memang kurang kerjaan sekarang. Tapi meladeni pria bernama Malvin ini juga bukanlah ide yang bagus. Lebih baik Frans tidak berbicara pada siapapun daripada harus satu tim dengan tiga orang aneh ini.

"Nggak boleh gitu, Vin. Kamu bukan orang pertama yang bakal ketawa," Aksara bertutur polos. Gadis itu pikir, tidak ada yang salah dalam ucapannya. Memang Malvin bukanlah orang pertama.

"Yang pertama siapa dong?"

"Leon."

"Nggak kenal. Yaudah gue yang kedua aja."

"Yang kedua gue. Gue udah daftar duluan ke Aksa."

Malvin menoleh ke sebelah kanan. Dimana sumber suara itu datang. Kakak kelasnya yang bernama Alfandra Emirza.

"Ngapain sih bang ikut ikut? Gue jadi yang ketiga kan. Nggaenak tau nggak!" Malvin berkata sambil kembali memutar arah kepalanya. Menghadap seorang perempuan yang melihatnya dengan bingung. "Ada yang udah daftar lagi nggak, Sa?"

"Enggak. Kamu yang ketiga."

Telinga Frans sangat panas. Bisa bisanya membicarakan orang yang jelas jelas ada disana. Apa tadi? Mau menertawakan Frans? Cih! Frans meledek dalam hati. Memalukan.

Hanya karena dirinya amnesia, kenapa semua orang jadi menyalahkannya? Lagi pula Frans juga tidak ingin hilang ingatan. Ini semua bukan kehendaknya.

"Lo sendiri nggak mau ngetawain dia?"

"Ngapain ngetawain sahabat sendiri? Justru bakal seneng banget kalo Frans udah balik."

"Lo budek, ya? Gue bukan sahabat lo! Harus gue apain biar lo paham? Kalo pun sebelum gue kecelakaan gue beneran sahabat lo, berarti amnesia ini cara biar kita nggak saling berhubungan lagi. Lo ngerti nggak sih?"

"Bang, bang! Frans marah!" Malvin mengadu.

"Gue udah denger."

"Lo liat dong wajahnya bocil, langsung pias gitu. Kasian woi. Diem aja lagi."

"Bocil yang mana?"

"Aksa lah. Gimana dong?"

"Gue tau lo sepemikiran sama gue, Vin."

"Ck! Ngga asik lo, bang. Lo apa gue?"

"Lo aja, Frans udah benci banget sama gue kayaknya."

Malvin mencibir. Tapi bagaimanapun juga, ini salahnya. Malvin yang tadi memancing keributan. Seharusnya dia tau, kalau hubungan keduanya memang sedang tidak baik baik saja. Bukan apa apa, Malvin hanya berniat mencairkan suasana dan membantu Aksa berkomunikasi. Mereka satu tim. Tidak enak kan jika tidak saling sapa? Tapi apa daya, caranya salah. Dia yang berbuat. Dia juga yang harus bertanggungjawab.

Perjalanan mereka sudah setengah jalan untuk sampai ke basecamp. Malvin berdiri. Dia mengangkat ransel di pangkuan Aksara dan memindahkan benda tersebut ke tempat duduknya.

"Pindah!" Suruhnya.

Aksa yang sejak tadi diam kini bingung. Kerutan tipis mulai bermunculan di dahinya.

"Ngapain? Nggak mau!"

"Pacar sendiri nyuruh. Masa ngga ditanggepin? Lumayan kan bisa duduk sama pacar satunya," timpal Frans sewot. Ada rasa sebal yang semakin menjadi ketika seseorang bernama Malvin menyuruh Aksara pindah.

Sampai sekarang. Frans belum paham betul apa yang membuatnya sekesal ini. Termasuk ketika Aksa pulang malam bersama Alfa. Sejujurnya, itu bukan urusannya kan?

"Malvin bukan pacar aku."

Kepala Aksa kembali menoleh ke arah manusia yang barusan namanya disebut. "Kenapa pindah?"

"Banyak omong si, bocil. Pindah aja kenapa sih, ah? Ribet bener jadi cewek."

"Vin tap-"

"Sa! Pindah!"

"Nggak mau, Malvin."

"Aksara," nada suara Malvin melunak. Mana ada yang tega membiarkan cewek sepolos Aksa dijejali kalimat kalimat pedas setiap saat? Tangan Malvin meraih pergelangan tangan Aksa yang tertutup sweater hitam.

"Kalo cewek nggak mau jangan dipaksa dong!"

Suara bervolume tinggi itu membuat beberapa siswa di sekitarnya menoleh. Walaupun sejak tadi memang ada beberapa yang memerhatikan. Untung saja tidak ada guru di barisan tengah.

Bukan hanya Malvin, tapi juga Alfa, Aksara dan yang lainnya terkejut mendengar suara barusan. Semua disini tau, itu suara Frans.

Jadi, pria itu maunya apa?

Posisi Malvin jadi serba salah. Tangan kekar Frans sudah melepas paksa tangan Malvin yang bertengger di sweater rajut Aksa.

Kok jadi gue, sih? Batin Malvin.

Tapi yang keluar malah kalimat tanpa pikir panjang yang keluar dari mulut tak berakhlak pria itu. "Makanya, Tuan Frans. Kalo punya apa apa tuh dijaga. Jangan di sia siain. Kalo mau diambil orang aja baru kelimpungan."

Dengan gerakan cepat, Malvin meletakkan kembali ransel biru Aksa di pangkuan pemiliknya. Malvin tak mau ambil pusing. Tak berminat memperpanjang juga. Toh semua orang disini juga tau kalau Frans yang aneh.

"Udah lo pada jangan ngeliatin. Ada yang lagi sukak cewek tapi gengsi!" Malvino berkata lantang. Ditujukan pada penghuni bis yang baru saja menjadikan mereka sebagai bahan tontonan dan topik pembicaraan.

Frans melirik wanita di sampingnya. Pipi Aksa memerah. Entah karena marah atau malu. Sedangkan gadis yang merasa diperhatikan tersebut memilih diam. Netranya memanas. Membenamkan wajahnya pada ransel dengan warna kesukaan tersebut.

Ada satu hal yang terus berputar di otak Aksa.

"Kalo pun sebelum gue kecelakaan gue beneran sahabat lo, berarti amnesia ini cara biar kita nggak saling berhubungan lagi. Lo ngerti nggak, sih?"

"Engga ngerti," jawab Aksa tanpa suara.

Pukul dua siang.

Semua orang telah selesai membangun tenda dan membereskan barangnya masing masing. Tidak sampai puncak memang. Karena targetnya adalah reboisasi. Bukan bermain main. Saat ini, setiap anggota OSIS dan MPK kelas XI akan membagi tugas pada timnya dan menjelaskan rincian kegiatan.

Alfa, Aksa, Frans, Ribka dan Malvin sudah duduk melingkar di tepi danau. Mereka mendapatkan tugas penanaman pohon di bagian utara besok pagi, dan bagian barat besok sore.

"Jadi besok pagi kita di bagian utara. Sama kelompoknya Arsen. Tapi beda tempat si. Kelompoknya Arsen lebih sedikit areanya, soalnya kelompok dia kan cowoknya cuman dua," terang Malvin memulia pembicaraan, "sorenya kita ke bagian barat. Nyebrang danau ini. Sialan emang yang bagi tugas. Mana jauh banget lagi."

"Kita muterin danaunya dulu?" Alfa bertanya.

"Ada perahu sih, tapi kalo muter juga nggak jauh kok. Daripada ribet. Liat liat besok aja lah, bang. Habis makan siang kita langsung berangkat. Biar baliknya nggak kemaleman. Habis isya' api unggun soalnya."

"Sore ini nggak ada kegiatan?" Kini giliran Ribka yang mengambil topik. Bukan tentang besok, tapi hari ini.

Frans? Dia sejak tadi hanya bungkam tak minat. Berbicara hanya jika diajak. Berpendapat hanya jika ditanya. Jika saja Sania ikut, pasti akan jauh lebih baik.

Begitupula dengan Aksa. Enggan berkata apapun. Hanya mendengarkan dengan seksama. Rupanya perkataan Alfa tadi pagi yang menjelaskan bahwa dirinya punya waktu tiga hari dua malam untuk berbicara dengan Frans. Nyatanya tidak. Setengah hari sudah terlalui dengan buruk.

"Sore ini bebas sih. Yang mau foto foto boleh. Mau makan silahkan. Mau pdkt tapi gengsi pun nggak ada yang ngelarang. Banyak tempat sepi di sini," jelas Malvin sambil melirik Frans.

"Oh iya, kak Aksa bawa laptop?"

"Engga. Kata Malvin nggausah."

"Iya emang. Nggausah. Gila aja mau bawa laptop ke tempat ginian. Entar dedek dedek gemes pada minta main Plant vs zombie lagi."

"Dedek gemes?"

"Lo nggak tau, bang? Hutan ini terkenal banyak tuyulnya."

"Kak Malvin mulutnya... Jangan sembarangan kalo ngomong di tempat kayak gini." Ribka tak terima.

"Eh iya. Maaf lupa. Disini juga ngga boleh ngomong kasar," -Malvin menoleh pada Frans- "termasuk marahin anak orang tanpa sebab. Takutnya penghuni yang baik tau keadilan."

Oke. Malvin menambah-nambahkan seenak jidat. Fakta bahwa tidak boleh berkata kasar jelas benar. Tapi tentang dilarang memarahi anak orang? Bodoh. Frans jelas tau itu hanya omong kosong. Memangnya dia percaya? Lagipula jika bukan anak orang yang dimarahi, siapa lagi? Dedek dedek gemes Malvin?

"Lo kalo mau marahin dedek gemesnya gapapa sih, kalo masih waras aja," ujar Malvin seolah paham jalan pikiran Frans. Pemuda dengan wajah baby face itu mengedikkan bahu.

Plung!

Batu ke sebelas yang sudah Aksa lemparkan ke danau tanpa tujuan yang jelas.

Orang orang sedang berfoto, mencari spot yang bagus untuk di upload di instagram nantinya. Ada juga yang menikmati makanan ringan di samping tenda masing masing. Ada yang sibuk menikmati pemandangan dari pinggir jurang. Atau sekedar berjalan jalan bersama seseorang yang disukai.

Alfa? Dia sedang berbincang dengan guru ekonomi terkait Fakultas Ekonomi Bisnis. Pria itu masih bingung akan melanjutkan kuliah dulu atau langsung menjejakkan kaki di perusahaan.

Frans? Entahlah. Aksara tidak berani mempertanyakan dimana sahabatnya tersebut. Satu hal yang pasti, Frans tidak sedang bersama Aksa atau ingin bersama Aksara.

"Andai Sania ikut, pasti Frans nggak bakal kesepian," gumamnya pelan.

Plung!

"Dua belas."

Mata Aksa membola. Ia segera menoleh ke belakang. Sejurus kemudian kembali menghadap danau. "Bego kan aku? Bukan cuma suaranya yang aku haluin, orangnya jugak."

Aksa mengusap wajahnya gusar. Bisa gila dia lama lama. Aksara mengambil batu cukup besar di ujung sepatunya. Ingin melampiaskan rasa bodohnya pada danau.

Plung!

"Tiga belas."

"Udah, ah. Berhenti. Gila beneran aku lama lama."

Gadis dengan rambut tergerai begitu manis itu berdiri. Menepuk nepuk pantatnya sebentar, kemudian berbalik. Sweater hitam rajut sudah digantikan dengan jaket parasut berwarna putih. Jelas saja, suhu di bis sekolah tadi sangat berbeda dengan daerah pegunungan.

Aksa berbalik. Gerakannya terhenti ketika kedua netra coklat tersebut mendapat sahabatnya menatap datar. Apa sejak tadi memang Frans? Atau sampai sekarang dia yang masih berhalusinasi?

Pria berbalut jaket kulit hitam itu mendekat. Tubuh mungil Aksa sudah menegang di tempat. Tak sanggup bahkan untuk mengambil nafas. Alfa bilang, bukan saat yang tepat untuk berbicara. Setidaknya nanti malam atau besok.

"Ngapain berhenti?"

"Enggak papa. Aku balik dulu ya, Frans." Aksara pamit.

"Duduk!"

"Aku balik aja deh. Kamu mau disini, ya? Aku engga bakal ganggu hari ini. Engga tau kalo besok."

Sudah hampir maghrib. Yang artinya, sudah satu jam lebih dirinya duduk disini setelah membuat rancangan artikelnya. Aksara berjalan cepat hendak kembali ke tenda. Tapi sebuah tangan kekar menahan pergelangannya. Artinya, perintah tadi tak boleh dibantah.

"Kapan sih lo bisa paham bahasa manusia?"

Bodohnya, Aksa menurut. Berjalan patuh seperti anak ayam, lalu kembali duduk di tempat semula. Frans mengikuti. Duduk di samping perempuan manis itu, lantas memberikan satu batu yang sangat pas di genggaman Aksa.

"Apa?"

"Batu ke empat belas."

"Nggak mau!"

"Jangan berhenti di tiga belas."

"Kenapa?"

"Tiga belas itu angka sial."

"Terus apa hubungannya?"

"Nanti hidup lo sial terus."

"Udah terjadi. Mulai kamu amnes-"

Kalimat tersebut tidak dilanjutkan. Lantaran mata bening nan cerah milik Aksara bertemu dengan tatapan tajam Frans. Lagi lagi seolah berkata bahwa itu adalah perintah.

Plung!

"Kamu sudah disini dari tadi berarti, ya?"

"Perlu gue jawab?"

"Namanya juga pertanyaan."

"Hm."

"Kamu ngapain disini?"

"Nunggu senja."

Telinga Aksa masih berfungsi dengan baik. Sahabatnya masih sama. Diam diam Aksa tersenyum. Rindu. Sangat rindu. Dulu saat saat berdua seperti ini selalu terjadi tiap hari.

"Aku nggak sukak senja," kata Aksa.

"Emang gue nanyak?"

"Aku sukaknya fajar."

"Penting gitu buat gue?"

Wanita cantik. Dengan kulit pucat alami. Rambut coklat tersapu angin. Jaket putih dan celana jeans hitam membalut tubuh. Netra bening dengan binar yang seakan tak pernah hilang. Lengkap dengan sepatu putih dan kalung monel bertuliskan "Ra" di bandulnya yang terselip di leher. Tidak terlihat.

Bersama dengan seorang pria berjaket kulit warna hitam. Rambut tidak rapi yang sebagian menutup dahi. Wajah yang sangat jauh di atas rata-rata. Celana jeans, serta sepatu dan jam tangan sport warna navy.

Bukankah mereka terlihat begitu serasi?

"Frans aku boleh tanya?"

"Gak!"

"Plis. Tiga pertanyaan aja," Aksa memasang wajah puppy eyes. Bukan dibuat buat. Tapi memang seperti itulah wajah Aksara jika tengah memohon. Kerlingan mata yang begitu jernih. Wajah putih pucat begitu menggemaskan.

Sayangnya, bagi Frans itu terlihat sangat menjijikkan.

"Gak!"

"Dua deh."

"Enggak!"

"Satu, plis...."

Frans menghela nafas. Kenapa dirinya tidak pergi saja dari sini? Kenapa harus berdiam diri di pinggir danau seperti orang bodoh begini? Frans ingin pergi. Tapi kakinya enggan diajak kerjasama.

Ah, kaki atau hati? Entahlah, pemilik mata tajam itu tak berminat memikirkannya. Hanya memandang Aksa sengit. Membungkam perempuan itu hanya dengan tatapan mata.

"Oke aku anggep boleh," Aksara memutuskan, "kenapa kamu aneh? Kadang kamu jahat banget. Kadang kamu peduli sama aku. Kenapa? Udah itu doang pertanyaannya."

"Lo merasa gue peduliin?"

"Iya. Buktinya, kamu marah waktu aku pulang malem. Kamu nungguin aku di rumah aku. Kamu nggak sukak Malvin maksa aku pindah tempat duduk. Kamu juga nggak mau hal hal sial di hidup aku muncul cuma gara-gara tiga belas batu tadi. Iya, kan?"

Frans terkekeh. Manis bagi Aksa. Sangat manis malah. Jiwa polosnya selalu terdepan. Sampai sampai Aksa tidak sadar, jika orang lain yang melihatnya, kekehan itu malah seperti iblis yang menertawakan manusia lantaran berhasil diganggu.

"Gue boleh ngomong sesuatu sama lo?"

"Boleh. Ngomong apapun aku bakal dengerin, kok."

"Lo itu terlalu berharap, tau, nggak?!"

Mendengar itu, Aksa bukannya diam termenung. Merasa sakit hati. Atau apapun. Aksara malah tertawa begitu lepas. Angin membelai rambut panjangnya lembut. Tatapan teduh gadis itu beralih. Lurus menghadap cermin raksasa di depannya.

"Kamu liat?" —Aksa menunjuk bayangan mentari sore yang terlihat begitu indah- "mataharinya ada dua," lanjutnya.

Pria disampingnya melirik sekilas. Wajah Aksa yang tersenyum terukir sangat cantik dari samping. Namun Frans berusaha tidak mempedulikannya. Berusaha lebih fokus terhadap apa yang baru saja diucapkan Aksa. Jelas jelas itu hanya bayangan.

Namun tak bisa dipungkiri, Frans kalah. Melihat wajah Aksa tersenyum merupakan sesuatu yang menggagalkan fokusnya. Membuat gerakan Frans kaku untuk beberapa detik.

"Beberapa menit lagi, mataharinya bakalan jadi satu. Habis itu ilang," lanjut Aksa. Membuat Frans tersentak dan segera mengalihkan pandangan. Frans langsung menatap objek yang tengah ditunjuk pengganggunya.

"Enggak."

"Kok enggak?"

"Lo nggak bisa liat di sana banyak pohon? Ini bukan pantai. Matahari nggak bakal jadi satu. Dua matahari itu bakal ilang di balik masing-masing pohon. Nggak bakal nyatu."

Benar.

Apa yang dikatakan Frans memang benar. Bagaimana Aksa bisa begitu bodoh untuk menyadari hal tersebut?

Dua mentari itu tidak akan bertemu.
Sama sekali tidak akan bertemu.

Lucu saja rasanya. Yang satu begitu sempurna. Sedangkan yang satu hanya bayangannya.

Kata orang, hanya bayangan yang tidak akan terpisah denganmu. Lalu bagaimana dengan sang mentari? Yang bahkan dengan bayangannya saja tidak bisa bersama. Hanya sanggup saling lihat dari jauh, kemudian menghilang di jalannya masing masing.

Padahal tadi, Aksa berniat menjadikan dua bola jingga tersebut perumpamaan hubungannya dengan Frans.

Terpisah kesalahpahaman untuk sementara. Memiliki jalurnya masing masing tapi dengan arah yang sama. Lantas nantinya akan bertemu dan kembali menjadi satu. Untuk kemudian menghilang bersama di balik cakrawala.

Ternyata, dugaannya salah.

Jadi, apakah dia dan Frans akan selamanya masing masing?

Warna wajah Aksa langsung berubah. Keceriaan itu sudah berganti dengan ekspresi sendu yang menatap bayangan matahari tersebut iba. Jari jari perempuan itu melambai sedih.

"Kasian ya, kamu? Cuma jadi bayangan. Ngejar kemanapun tuanmu ikut. Habis itu pisah sebelum kalian bisa ketemu langsung," ujarnya.

"Lo masih sama ternyata."

Aksa menoleh. Tapi tidak menanggapi. Masih larut dengan rasa kecewa bahwa bayangan mentari itu tidak akan bersatu dengan tuannya. Padahal sudah mengejar dengan waktu yang sangat lama.

Sedangkan di pihak Frans, dia benar benar tidak sadar telah mengucapkan hal tersebut. Mengucapkan kalimat yang lolos begitu saja dari bibirnya. Sebagai tanggapan dari Aksa yang tengah mengasihani matahari.

Memangnya, tau apa Frans tentang Aksara?

•|FRASA|•

2695 kata :")

Gasadar beneran:v

Btw mau minta pendapat.

Kalian lebih suka aku update partnya panjang-panjang gini, atau pendek kayak part-part awal?

Komen ya. Banyakin komennya 😗

Luv
helicoprion_

find me on instagram:
@helicoprion__

Continue Reading

You'll Also Like

4.9K 404 12
JANGAN PLAGIAT KALO GA MAU KU PACARIN BAPAK MU YA KON!!ci KARYA BERASAL DARI OTAK YANG SUCI NAN MURNI!! Jangan nunggu end kalo mau baca, karena aku b...
6.5M 276K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
73.2K 7.3K 73
Naura Rafia Hayden memiliki arti bunga dan cahaya. Dulu ia berjanji akan memberikan cahaya kepada orang lain layaknya kunang-kunang dan ingin seperti...
2.5M 148K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...