FRASA [✓]

By helicoprion_

34.2K 8.3K 9.8K

#1 Frasa [08/04/21] #2 Aksara [11/01/22] Frans Amnesia Musibah tak diminta itu tidak hanya menghilangkan inga... More

Prolog
Part 1: Frasa
Part 2: Titipan
Part 3: Pembawa sial
Part 4: Pindah
Part 5: Larangan
Part 6: Pemberhentian
Part 7: Salah langkah
Part 8: Nanti
Part 10: Rindu
CAST 💙
Part 11: Salah Paham
Part 12: Pelukan
Part 13: Maaf
Part 14: Genggaman
Part 15: Pilihan
Part 16: Penantian
Part 17: Kecewa
Part 18: Bayangan
Part 19: Rasi
Part 20: Memori
Part 21: Bullshit
Part 22: Isu
Part 23: Tugas Akhir
Part 24: Kecewa
Part 25: Rasa
Part 26: Peringatan
Part 27: Ketakutan
Part 28: Penyebutan
Part 29: Terungkap
Part 30: Keadilan
Part 31: Perintah
Part 32: Pengakuan
Part 33 : Pertanyaan
Part 34: Kekhawatiran
Part 35: Rasa Bersalah
Part 36: Perdamaian
Part 37: Tunda
Part 38: Be mine
Part 39: Status Kepemilikan
Part 40: Lelah
Part 41: Perubahan
Part 42: Perlawanan
Part 43: Happy Valentine 💙
Part 44: Tanda pengenal
Part 45: Kalung
Part 46: Paket
Part 47: Kesempatan
Part 48: Kenyataan
Part 49: Akses
Part 50: Perihal Rasa
Part 51: Pamit
Part 52: Lima Belas Juta
Part 53: Pesaing
Part 54: Setelah semua
Part 55: Permintaan
Part 56: happy birthday, Frans (1)
Part 57: Happy Birthday, Frans (2)
Part 58: Aku pulang, ya?
Part 59: Pergi!
Part 60: Titik balik
Part 61: Fakta
Part 62: Menyerah
EPILOG
KARSA

Part 9: Lo siapa?

657 219 345
By helicoprion_

•|FRASA|•

Sampai di depan Kafe Black Room, Aksa melihat Risya yang tengah menunggunya diluar sambil bermain ponsel. Gadis itu melambai lambai riang.

"Dianter Leon?"

"Enggak, sama Kak Alfa."

"Widih... Udah punya cowok nih ceritanya?" Risya mendorong pintu kafe. "Cerita dong," lanjutnya.

Keduanya langsung memesan. Rencananya mereka akan duduk di lantai dua. Tempat favorit. Percakapan diantara keduanya berhenti sejenak.

"Double beef burger satu, black burger satu, mini cheese pizza satu, oreo milkshake, sama strawberry milkshake satu," ucap Aksa lancar. Memang itu yang selalu mereka pesan. Bedanya, biasanya akan ada tambahan oreo dessert, taro thai tea, dan satu lagi double beef burger. Siapa lagi jika bukan milik Frans?

Setelah mengambil nomor dan membayar pesanan, keduanya langsung menaiki tangga hitam di sudut ruangan. Berjalan ke pojok, dan memasuki ruangan kecil yang dua sisinya terbuka. Lebih mirip seperti balkon. Tak lupa, Risya menggantungkan nomor di dinding luar ruangan mereka.

"Jadi, cerita dong!" Tagih Risya tak sabaran. "Alfa ya tadi namanya? Itu siapa?"

"Bukan siapa siapa. Senior sih. Frans dulunya juga kenal kok sama dia."

"Yakin nih bukan siapa siapa? Kok gue jemput nggak mau tadi? Malah berangkat bareng orang itu?"

Risya menaikturunkan alis tebalnya.

"Emang bukan, Kak Sya. Aku tadi pesen taxi online. Eh ternyata yang punya mobilnya Kak Alfa. Kebetulan aja. Lagian juga seru kok, jadi nggak bosen di jalan."

"Anjir, pacar sendiri dibilang supir taxi."

Aksa merotasi kan bola matanya.

"Suudzon mulu ih. Kayak adeknya lama lama," cibir Aksa.

Tawa Risya meledak. Membuat gadis yang sedang membersihkan kacamata di depannya mengernyit heran. Surai coklatnya terlihat berantakan. Sebagian menutupi dahi. Hoodie biru pastel kebesaran membalut seragam putihnya.

"Lo habis diapain sama Frans? Tumben bilang gitu?"

Yang ditanya menggeleng sambil tersenyum. "Nggak di apa-apain," ucapnya jujur. Setidaknya jujur versi Aksara Aurellin Pradikta.

"Bohong bener. Udahlah, Sa! Ngaku aja. Sikap Frans ke elo gimana kalo di sekolah? Jahat, kan?"

"Engga. Dia normal kok. Sikap layaknya orang amnesia, Kak Sya. Nggausah dipermasalahin. Kita kan nggak bisa nyalahin orang yang nggak tau apa apa."

"Marah marah kayak waktu di rumah?"

"Iya," kata Aksa. Ia tak salah. Memang iya kan?

"Sa gue boleh tanya?"

"Dari tadi juga udah tanya kali," kata Aksa sambil tertawa kecil. Kedua tangannya masih sibuk membersihkan kacamata.

"Cewek yang waktu itu ke rumah, itu siapa?"

"Lah? Mana aku tau. Orang dia ke rumah kakak, bukan rumahku."

Aksa sebenarnya tau betul siapa yang dimaksud Risya. Tapi entahlah, hanya kalimat itu yang keluar dari bibirnya.

"Oh, Sania?"

Aksara meralatnya. Merasa bersalah pada Sania jika ia berpura pura tidak tau. Ia juga tak paham. Tadi tidak bermaksud berucap begitu. Hanya saja, mulutnya tidak bisa diajak kompromi.

"Iya itulah pokoknya. Dia sempet ke rumah lagi. Tapi bunda pas nggak ada. Bunda juga nggak suka sama itu cewek. Ngeselin banget nggak sih? Dateng nggak salam, pulang nggak pamit, berasa mantu rumah gue apa."

Gadis berkacamata itu menertawakan Risya yang tengah memasang ekspresi kesal. Namun sejurus kemudian ia sadar.

"Kak Sya nggak boleh ngomong gitu ish."

"Emang kenyataannya gitu, kok. Bangsat banget nggak tuh jadi cewek?!"

Aksara hanya mengedikkan bahu. Tidak terlalu menanggapi ucapan tetangga sekaligus kakak dari sahabatnya itu yang terkesan menjelek-jelekkan Sania.

"Sok cantik," imbuh Risya.

"Kak Sya baik sama aku sama Leon. Sama Sania kok gitu amat?" Aksara bertanya karena menang benar benar penasaran.

"Beda konteks. Bukan karena lo sama Leon sahabatnya Frans dan gue kenal. Tapi lebih pada tingkah kalian yang jelas jelas beda. Gue dulu juga susah nerima kehadiran Leon. Lo tau kan kalo gue susah berinteraksi sama orang baru? Tapi ya lama lama biasa, soalnya lama lama gue tau kalo Leon baik. Dan sejak awal ketemu dia emang baik. Lah si bangke yang satu ini? First impression aja gue udah gedeg sama dia!"

"Sania baik kok sebenernya. Pinter jugak."

"Lo jugak pinter. Tapi mau sepinter apapun kalo gaada akhlak buat apa cobak? Dia udah SMA lho, Sa. Masa iya sih sopan santun aja nggak punya?"

Aksara menghela nafas. Memilih mengiyakan saja. Percuma. Risya tetaplah Risya. Pandangannya terhadap seseorang tidak akan berubah hanya karena "katanya".

Beberapa menit kemudian mereka habiskan dengan ngobrol ngobrol santai dan foto foto. Sampai akhirnya pesanan mereka datang.

Risya dan Aksara sama sama telah selesai menghabiskan makanan.

"Jadi, mau tanyak apa?" Aksa kembali memulai pembicaraan. "Jangan serius serius dong, Kak. Kita tuh nggak pantes ngomong serius," terangnya lagi setelah melihat wajah aneh Risya.

"Tadi Frans ngajak ngomong?"

Aksara tampak berpikir sejenak. Kemudian mengangguk.

"Ngomong apa?"

"Kepo ih, tanya sama adeknya sana," ucap Aksa bergurau. Mencoba menghilangkan ingatan menyebalkan siang tadi.

Flash Back On

"Aurel enggak pulang?"

Gadis itu menoleh. Aksara tengah menatapnya penasaran. Aurel menggerakkan matanya menuju pintu. Hanya mata. Demi melihat Leon berdiri santai disana.

"Iya, semua orang santai. Gue doang yang enggak," gumamnya tanpa sadar.

"Hah?"

"Eh? E-enggak. Lo duluan aja. Udah ditunggu Leon."

"Ck! Aku kan tanyak kamu mau pulang apa enggak. Bukan ngajakin pulang bareng. Aku emang mau pulang sama Leon," jawab Aksa polos tanpa saringan.

"O-oh. Pulang kok. Habis ini." Aurel menjawab. Tersenyum.

Melihat perubahan di wajah Aurel. Aksa merasa bersalah. Mungkin ucapannya tadi melukai perasaan Aurel.

"Becanda kali, Rel. Jangan serius gitu," hibur Aksa. "Bareng, yuk!"

"Engga deh, Sa. Makasih. Masih ada yang harus gue urus. Lo duluan aja sama Leon."

Aksara mengangguk saja. Leon sudah menunggunya diluar kelas bersama dua orang siswi yang Aksa tidak kenal mereka siapa. Lebih tepatnya, Leon sedang tertawa bersama mereka. Perempuan berkacamata yang terlihat sangat manis itu tersenyum ramah. Kemudian mengambil hoodie biru pastel dari dalam tasnya. Tak butuh waktu lama untuk ia selesai mengenakan hoodienya, Aksa segera mengajak Leon menjauh dari tempat itu.

"Kamu kenal mereka?" tanya Aksara ditengah perjalanan mereka ke parkiran.

"Kenal, anak kelas sebelas ipa satu. Kenapa?"

"Engga papa sih, cantik."

Leon menoleh. Senyum jail tercetak jelas pada wajah diatas rata-ratanya. "Iya, cantik. Banget malah. Andai bisa pulang bareng mereka," ujarnya.

"Nggak mau pulang sama aku?"

"Kalo ada pilihan sama lo apa sama mereka, gue pilih mereka," pemuda dengan jaket jeans hitam itu menjawab santai. Tidak menatap ke Aksa yang sekarang berjalan sambil memperhatikannya.

"Yaudah, pulang aja sama mereka! Aku bisa pulang sendiri!"

"Gitu amat ngomongnya. Cemburu?"

"Ngapain jugak cemburu. Emangnya aku nggak ada kerjaan?" tanya Aksara masih terdengar kesal. Rambut coklat bergelombangnya yang tergerai terlihat tidak terlalu rapi dari belakang. Leon berhenti. Tapi Aksa tidak.

"Yakin? Yaudah ya gue pulang sama mereka?"

Leon sedikit berteriak. Jarak mereka terpisah sekitar empat meter akibat Leon yang berhenti di tengah jalan. Mendengar itu, Aksa menoleh ke belakang. Semakin kesal karena teman sebangkunya malah berkata begitu. Sedangkan lawan bicaranya malah memasang ekspresi menyebalkan. Terlihat sangat bahagia jika tidak pulang bersamanya. Berbeda dengan Leon, ia malah sangat gemas dengan mimik wajah yang dipasang wanita itu. Benar benar cute.

Leon berjalan mendekat. Mengacak pelan puncak kepala Aksara yang membuat rambut gadis itu semakin berantakan. "Cakep banget anjir," ujarnya penuh kesadaran.

"Hah?"

"Enggak. Kalo cemburu bilang. Nggausah sok gitu. Ayo pulang."

Leon menggandeng tangan Aksa. Melanjutkan perjalanan. Ia tidak tau saja. Wajah Aksara sudah memanas sekarang.

"Leon!"

Baru saja sampai di parkiran, panggilan tersebut membuat keduanya menoleh.

Refleks, Aksa mengerjap ketika tau siapa yang tengah berjalan ke arahnya mereka. Ia saling tatap dengan Leon. Bingung.

"Aksa pulang bareng gue!"

Suara itu kembali menginterupsi. Aksa tersenyum senang. Sangat senang lebih tepatnya. Binar matanya terlihat begitu jernih. Jujur ia kaget. Ini terlalu tiba tiba.

"Ada yang perlu gue omongin."

"Ngomong aja, Frans."

"Kalo mau yang pedes pedes, mending nggak usah deh. Dia nggak ada waktu buat ngeladenin manusia kayak lo!"

Leon berkata tanpa diminta. Rasa kesalnya masih sama kepada mantan teman sebangkunya itu. Apalagi sekarang? Ia tak mau melihat Aksa menangis karena Frans. Lagi. Cukup yang kemarin kemarin.

"Nggak disini, ikut gue!"

Frans berkata tajam. Ditariknya satu pergelangan tangan Aksa.

"Jangan kasar dong! Aksa pulang bareng gue! Dia tanggung jawab gue sekarang! Jadi kalo lo mau ngomong apapun sama dia, gue harus ikut!" Leon berkata tegas.

Frans yang mendengarnya berdecih sekilas. "Emang lo bapaknya?"

Kalau saja satu satunya perempuan disana tidak menahan, bisa dipastikan kepalan tangan Leon sudah pasti menghantam rahang Frans sekarang. Menurut Leon, pria didepannya ini sudah melampaui batas. Tidakkah dia tau orang tua Frans sudah pergi semua? Ayahnya bahkan sudah tidak ada sejak dulu. Dan Frans dengan santainya berucap tepat di hadapan Aksara. Satu hal yang Leon tau, kalimat itu pasti terdengar menyakitkan bagi wanita yang disukainya ini.

"Leon, udah ya? Plis..., aku butuh waktu ngomong berdua sama Frans."

Leon masih melarang. Ia yakin apa yang dikatakan Frans pasti akan menyakiti hati gadis itu lagi. Dan Leon tidak mau hal tersebut sampai terulang.

Tapi melihat binar mata bening milik Aksa, Leon jadi tak tega. Akhirnya ia mengangguk dan membiarkan Frans membawanya.

Sejak kejadian di rumah Frans kemarin, ia belum berbicara apapun pada pria itu. Ia juga tidak punya banyak waktu. Sejak tadi pagi waktunya dihabiskan di perpustakaan bersama Leon. Guru guru sedang rapat lagi. Dan karena sangat lama, akhirnya diambil keputusan bahwa murid murid akan dipulangkan lebih awal.

Dan, disinilah mereka sekarang. Di taman belakang sekolah yang sangat sangat sepi. Perempuan berkulit pucat itu hanya bisa pasrah saja ketika tangan kekar Frans menyeretnya ke tempat ini. Percuma, menolakpun tidak ada gunanya, kan? Aksa takut. Walau dia tau Frans orang baik, tetap saja apa yang terjadi akhir akhir ini membuatnya sedikit harus berhati hati.

"Apa?"

Aksara akhirnya bertanya. Pemuda di depannya tak kunjung bersuara. Hanya menampilkan tatapan tajam yang dulu hanya ia berikan pada orang orang yang jahat pada Aksa. Kini, tatapan itu hanya milik Aksa seorang. Yah. Aksara Aurellin Pradikta. Dan jujur saja, ia tak suka dengan netra Frans yang memandangnya begitu.

"Frans jadi ngomong apa enggak?" desak Aksa tak sabaran. Ia senang, tapi juga sekaligus takut. Bibirnya terus saja tersenyum. Tapi tidak dengan matanya yang gelisah mencari objek lain untuk di pandang.

Terdengar helaan nafas berat dari pria itu. Atau yang biasa Aksa sebut sebagai sahabatnya. Aksa tau, Frans sedang frustasi. Frans pasti capek. Entah apa yang ia pikirkan.

"Frans ada masalah? Mau cerita?"

"Gue udah bosen bersikap kasar sama lo."

Perkataan yang keluar langsung dari bibir Frans itu membuat Aksa mendongak. Binar di matanya terlihat begitu indah. Sepasang kacamata tidak mengurangi kilau mata jernih itu sama sekali. Frans merasakan de javu ketika mencoba menyelami sepasang mata di hadapannya. Shit! batin Frans memaki. Ia akui. Wanita di depannya terlihat imut siang ini.

"Gue tanyak buat yang terakhir kali. Inget! Terakhir kali!"

"Tanya aja. Jangankan tanya, kamu minta apapun bakal aku kasih," jawab gadis itu semakin tersenyum. Rasa senangnya membuncah ketika akhirnya Frans mau diajak bicara. Atau bahkan, Frans yang mengajaknya bicara terlebih dahulu.

"Lo siapa?"

"Aksara."

"Lo polos apa pura pura polos sih? Emang bego apa pura pura bego?"

Yang diajak bicara mengernyit. Memangnya salah dia menjawab begitu? Harusnya ia yang menyalahkan Frans atas pertanyaan bodoh tadi. Namun begitu, Aksa tidak menjawab apapun. Mau menjawab polos, pasti dibilang pura-pura. Mau menjawab sok polos, ia sama sekali tidak berpura pura. Memang itu jawaban yang langsung keluar. Dia saja benar benar bingung dengan pertanyaan Frans.

"Lo bisu?"

"Aku udah jawab, Frans. Kamu yang enggak mau terima jawaban aku."

"Oke. Sebelum gue amnesia. Lo siapa gue?"

"Emangnya kalo aku jawab, kamu bakal percaya?"

Satu kalimat yang keluar dari bibir Aksa tidak ia pikirkan sama sekali. Spontan. Perempuan berambut coklat panjang itu seolah mengatakannya diluar kepala.

Sedangkan di sisi lain, Frans berdecak kesal. Ia sudah menurunkan egonya untuk bertanya baik baik. Setidaknya baik versi Frans. Ia sudah mengalah. Ia sudah mencoba untuk mendengarkan. Tapi memang dasar Aksaranya saja yang menyebalkan.

"Oke. Lo anggep gue gabakal percaya, kan? Dan gue bakal buktiin itu. Kalo apapun yang keluar dari mulut sok polos lo itu semua cuma bohong! Lo iri kan sama Sania?"

"Frans aku enggak bermaksud kayak gitu."

"Harusnya gue nggak buang buang waktu buat ngalah, Sa! Harusnya nggak buang buang waktu buat ngeladenin lo dan mempertanyakan hal yang jawabannya sudah jelas. Lo tau? Gue sempet ragu sama kata kata Sania kalo lo cuma tetangga gue. Gue nyobak percaya apa yang lo omong. Tapi jawaban lo hari ini-" Frans menggantung kalimatnya.

"Nggak tau, Sa! Gue kembali ke persepsi awal gue. Gue ngalah pun lo sok jual mahal!"

Frans berbalik. Meninggalkan Aksa yang masih mencoba mencerna kalimat-kalimatnya barusan.

1 detik

2 detik

3 detik

"Frans tunggu!"

"Ih, Frans tungguin bentar!"

Aksa berusaha mengimbangi langkah sahabatnya yang sudah jauh di depan.

"Frans, kamu dengerin aku dulu!"

"Frans!"

Remaja amnesia itu menyentak kasar tangan Aksa yang tengah memegang lengannya. Tatapannya nyalang.

"Mulai sekarang, jangan ganggu gue lagi!"

Damn! Keputusan final telah dibuat oleh Frans. Penekanan dalam kalimat itu terdengar tidak terbantahkan. Kali ini seorang Aksara Aurellin Pradikta membiarkannya pergi. "Mungkin emang tadi aku yang salah ngomong," gumam Aksa masih tak mau menyalahkan Frans.

"Iya, kamu udah ngalah hari ini. Aku hargai," Aksa tersenyum. Kalimat itu jelas ia tujukan pada sahabatnya yang sudah hilang di balik tembok taman.

"Tapi maaf ya. Aku engga bisa menuhin permintaan kamu."

Ponsel Aksa berdering.

Leonardo Rizky is calling

"Halo Leon, ada apa?"

"Lo udah pulang?"

"Iya ini di perjalanan pulang kok."

"Jadi pulang sama Frans?"

"..."

"Sa?"

"Eh, iya. Ini di mobil Frans. Udah mau nyampe rumah."

"..."

"Leon, udah dulu, ya?"

"Iya, langsung istirahat."

"Iya."

Aksa mematikan sambungan telepon. Ia tak berniat pulang. Kakinya justru melangkah kembali ke belakang sekolah. Duduk bersila di rumput, dan mengambil novel science fiction yang baru ia beli kemarin.

Flashback off


"Ayo dong, Sa! Gue kan juga pingin tau," Risya merengek seperti anak kecil.

"Pingin tau aja apa pingin tau banget?"

"Banget."

"Kepo ih, kayak dora!"

"Daripada bego kayak Patrick."

Tawa Aksa lepas seketika. Mungkin yang dimaksud Risya Patrick adalah dirinya? Ia kira begitu. Akhir akhir ini banyak sekali yang menyebutnya bego.

"Frans cuma minta maaf sama kelakuannya yang waktu itu. Dia nggak sengaja katanya. Lagi emosi."

Risya menghela nafas. Ia tau sahabat adiknya ini tengah berbohong. Sangat tau. Tapi bagaimanapun, ia sadar Aksa akan terus berbohong hanya agar dirinya tidak memarahi Frans.

Catat. Aksa hanya tidak tau saja apa yang sejak tadi Risya lakukan.

Sedangkan dari sudut pandang seorang Aksara Aurellin Pradikta, ia harus melakukan ini. Ia tidak mau Frans terus disalahkan. Ia hanya sedang lupa.

"Maaf, Kak Sya." batin Aksa.

•|FRASA|•

Salam manis •-•

AKSARA AURELLIN PRADIKTA

FRANS ARELTA DWI SANJAYA

LEONARDO RIZKY FERDIANSYAH

MEIRISYA ARELTA SANJAYA

Soon💙

Tapi by the way, part berikutnya cast dulu atau lanjut cerita dulu?

Jangan lupa votenya💙

~helicoprion

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.3M 71.5K 53
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
1.1M 105K 57
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
1M 77.3K 39
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
37.6K 3.6K 62
[COMPLETED] Bisakah ia menentukan cintanya sendiri? Mengharapkan sang kekasih kembali dan hidup bahagia bersama. Memulai awal kisah yang bahagia bers...