Taruhan [END]

By vialivi_wdh

70K 5K 2.3K

Menjadi Taruhan antara beberapa Gengster untuk balas dendam itu sangat menakutkan. Tapi, tidak ada yang menya... More

Prolog
Segment 1. A news
Segment 2. Black Jacket
Segment 3. Beautiful Girl
Segment 4. Kantin
Segment 5. New Game
Segment 6. Polos
Kenapa Hari Kamis...?
Segment 7. Tamu Kurang Ajar
Segment 8. Pulang Bareng
Segment 9. Noda Tanggung Jawab
Segment 10. Rooftop
Segment 11. Penasaran
13. Bersalah
14. Ketemu Mantan
15. Jadian
16. Minta Jatah
17. Buku Badboy
18. Raden Carmuk
19. Perfect
20. Pesta Dansa
21. Kolam Rahasia
22. Cemburu
23. Salah Paham
24. Merantas
25. Skors
26. Gangster
27. Ancaman Sepupu
28. Muka topeng
29. Bully
30. Something
31. Taruhan
32. Gadis Taruhan
33. Feeling
34. Gadis Penakut
35. Terahasiakan
36. Trauma
37. Tak Disangka (Bertemu)
38. Aldi (Brengsek)
39. Ucap Terima Kasih
40. Utusan Tuhan (Mengaku)
41. Bolos
42. Bukit
43. Mantan berulah (Aldi)
44. Perjanjian
45. Pacar Ajaib
46. Persaingan
47. Penentuan (OM)
48. Papi Pulang
49. Balas Dendam
50. Menjauh (Kata Papi)
51. Sebelum Terlambat
52. Dikurung
53. Kejadian dibingkai jendela
54. Balapan
55. Pada Akhirnya
56. Menempati Janji
57. Sudah Berakhir
58. Ortu Raden
59. Mama
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Segment 12. Mini market

1.2K 105 55
By vialivi_wdh

Luvia memainkan ponsel untuk menemaninya ke minimarket. Gadis itu mengambil keranjang belanjaan lalu berkeliling. Saat memilih entah kenapa keranjangnya menjadi berat. Luvia menatap keranjang sudah penuh, pandangan Luvia menatap.

"Raden!"

"Masih banyak yang harus kita beli!" Kata Raden pergi ke rak selanjutnya.

Kita?

Luvia melonggo, dia memisahkan barangnya dan memindahkan ke keranjang yang lain. "Bawa saja sendiri!"

Luvia pergi ke rak sebelumnya. Raden mengikuti kemana dirinya pergi. Dia kembali berulah dengan memasukkan barang lagi ke keranjang Luvia.

"Susu ini baik untuk menumbukan tinggi badan. Buat lo. Ambil!" Raden memasukkan ke keranjang milik Luvia.

"Ini juga. Baik untuk tulang, bagus buat lo, hanya angkat keranjang saja tidak kuat. Payah!"

"Makan buah bauhan yang banyak!"

"Ah! Ketinggalan. Ini juga sangat cocok buat lo yang pendek."

"Stop! Ini keranjang gue kenapa lo yang sewot?!" Kesal Luvia membawa keranjang berat.

"Semua yang lo beli itu tidak sehat."

"Gue niatnya beli cemilan dan juga gue bukan babu lo suruh bawakan barang ini semua. Berat tahu!"

"Bilang dong dari tadi kalau lo keberatan. Sini gue bawa." Kebiasaan Raden selalu berbicara santai sampai membaut lawannya geregetan pengen gigit.

Luvia emosi, Raden juga harus merasakan beratnya mengangkat dua keranjang penuh dengan makanan dan minuman. Ide Luvia sangat cemerlang bukan, tapi tidak berjalan dengan lancar. Bukannya keberatan justru sangat ringan Raden membawanya. Dia berjalan santai tanpa beban dengan kedua tangan menenteng keranjang, sesekali cowok itu tebar pesona ke pembeli lain dengan menaikkan alis dan senyum menggoda. Sungguh laki-laki sejati, sangat perhatian. Membawakan keranjang belanjaan gadisnya yang sudah menunggunya dimeja kasir.

"Masnya kuat sekali." Puji Mbak kasir. Luvia membulatkan mata tidak suka, cowok seperti itu dipuji? Apa menariknya.

"Tolong ya Mbak."

"Modus." Cibir Luvia pelan, Raden tersenyum dan Mbak kasir terawa.

"Wah! Banyak sekali yang dibeli, untuk persediaan satu tahun?" Tanya Mbak kasir menghitung.

"Kalian ini pasangan?" Usul Mas pengemas barang membantu Mbak kasir. Raden tertawa malu, terkesan memang benar.

"Hahahah. Mas ini bisa saja, jadi malu." Raden merangkul pundak Luvia. Dia melepas tangan Raden, cowok itu seakan tidak mau justru menarik Luvia ke dalam pelukannya.

"Kita masih SMA mana mungkin sudah menikah? Kita masih pacaran. Doakan saja bisa sampai ke KUA." Pinta Raden mengelus bahu Luvia.

"Amiin." Kata Mbak dan Mas bersamaan.

"Kalian ini lucu. Apalagi Mbaknya malu-malu jadi gemes." Kata Mbak kasir hampir selesai menghitung.

Raden tawa renyah, "Dia itu orangnya pemalu dan pemarah tapi bisa buat saya nyaman dan terus nempel ke dia."

"Seperti itu?"

Luvia sudah tidak tahan berada disini dipermalukan itu sangat sakit dan jadi pusat perhatian ditempat ramai, benar-benar memalukan. "Mbak tolong cepat selesaikan punya saya!"

Luvia tidak sabaran menunggu barang terakhir dimasukkan ke dalam kresek. Sedetik saat barang itu masuk Luvia sudah mengambilnya dengan kesal lalu pergi begitu saja meninggalkan Raden dan penjaga kasir.

"Eh! Tunggu!" Luvia jalan keluar.

"Ini uangnya, kembaliannya ambil saja! Maafkan pacar saya, emang suka gitu orangnya ditambah lagi dia sedang PMS." Ucap Raden diselingi tawa lucu.

Raden mencekal tangan Luvia, "Mau kemana?"

"Pulang."

"Berani?"

"Berani! Sana pergi dan jangan muncul lagi!"

"Tapi gue gak yakin lo pulang dalam keadaan selamat." Remeh Raden dan Luvia penarasan.

Raden mendekat, "Tadi sempat gue lihat ada preman yang sedang membicarakan lo."

"Tidak mungkin." Luvia meremehkan.

Raden berdecik, "Gue itu beneran tadi dengar ada cewek yang memakai hoodie biru, rambut dicepol dan memakai celana jins pendek lewat sini mungkin sebentar lagi dia nongol. Itu lo bukan?"

Luvia melihat pemapilannya yang sama persis dengan orang yang diceritakan oleh Raden.

"Lihat itu mereka masih berani pulang sendiri?" Kata Raden memperlihatkan segerombolan orang dari depan. Dari awal juga Luvia sudah takut hanya saja dia tidak mau memperlihatkan ketakuan itu kepada Raden.

"Oke, gue pergi sekarang." Kata Raden memakai helm lalu menghidupkan mesin motor.

"Tunggu! Gu-gue ikut!" Kata Luvia mulai menaiki motor.

Raden tersenyum, padahal anak muda bukan preman memang ide jailnya selalu berhasil. Melihat tingkah konyol yang Luvia perbuat sungguh gadis yang sulit ditebak, pemarah, keras kepala namun juga penakut semuanya menjadi satu dalam diri Luvia.

***

"Hei!"

"Apa?" Luvia cetus.

Raden berkekeh, "Didekat rumah lo ada yang jual martabak gak?!"

"Hah? Martabak? Ada di ujung jalan sedikit jauh. Jadi pengen." Guman Luvia mengelus perutnya lapar.

Seperti lampu hijau bagi Raden. Awalnya Luvia tidak mau, tapi dia naik motor dan motornya jalan terus melewati rumah jadi mau gimana lagi. Satu porsi martabak manis sudah tersaji didepan merek. Suara bising kendaraan menghilangkan hening diantara keduanya.

Luvia rindu makan dipinggir jalan seperti ini sampai tidak memperhatikan kondisi mulutnya. Kelakukan Luvia persis anak kecil tidak tahu kalau ini tempat umum main makan sampai belepotan seperti itu. Tangan Raden terulur membersihkan mulut Luvia. Diusapnya bibir tersebut membuat pemiliknya menjadi gugup, diusap dengan lembut serta senyuman manis dari orang itu, dia ingin meleleh.

Akhirnya semua itu selesai, tinggal pulang namun sebelum pulang Luvia melihat ke jalan raya yang ramai dengan lampu berkelap-kelip. Seorang pengendara mengendarai motor dengan cepat dengan suara knalpot keras sampai gadis itu menutup telinga dan memejamkan mata.

Pejaman mata itu bukan membuatnya membaik justru semakin takut, bayangan suara keras dari motor menghampiri pikirannya. Luvia membuka mata untuk menghentikan bayangan tersebut namun saat membuka mata dirinya berada ditempat lain. Tempat dimana dia mengalami kejadian yang tidak pernah dilupakan.

Melihat arena ini saja dia sudah tidak mau melihatnya lagi. Tempat itu, tempat dia mengalami kesuraman dalam hidup yang tidak pernah lepas dari hidupnya. Sudah dua tahun, bayangan itu muncul disaat dia melihat sesuatu yang berhubungan dengan itu. Mencoba mengusap mata dan mengedipkan berkali-kali serta menggelangkan kepala untuk tidak melihat tempat itu lagi.

Luvia ingin melihat Raden berada disampingnya, diusap bibirnya sayang dengan penuh perhatian. Luvia menginginkan itu bukan tempat ini dia tidak ingin kembali lagi dia harus melupakannya. Nafasnya tersengal, sebuah tepukan membuatnya sadar bahwa itu hanyalah halusinasi, dia sudah sadar. Dilihatnya Raden yang berdiri di samping dengan menatapnya lembut.

Gadis itu mengeluarkan keringat dingin dan gemetar, hal itu membuat Raden khawatir. Sudah dua kali dia melihat gadis ini seperti itu.

"Lo baik-baik saja?" Kata Raden melihat wajah pucat Luvia.

Dipegangnya kedua bahu Luvia yang merunduk dengan nafas masih tersengkal. "Tatap gue Via!"

Luvia menatap takut tatapan khawatir dari Raden lalu menggelengkan wajahnya sebagai jawaban. "Pu-pulang."

Raden tidak mengerti, dia ketakutan dan terguncang sama persis yang dia lihat waktu itu dikamar. Raden melepas jaket bombarnya, dipasangkan pada bahu untuk menyelimuti tubuh Luvia dan memapahnya pulang.

Mereka sudah sampai, dibukanya gerbang tersebut langsung disambut oleh Hera dan Vino. Mereka terkejut melihat Luvia pulang dengan keadaan seperti ini.

"Dari mana saja kalian? Sampai malam seperti ini baru pulang? Mau buat anaknya sakit lagi?" Tanya Hera sedikit kesal bercampur khawatir.

Sakit?

***

Vino geram, diseretnya Raden keluar perkarangan rumah.

Raden emosi, dia ingin melihat kondisi Luvia tapi anak ini menariknya keluar.

"Ikut gue! Jangan ganggu dia untuk saat ini!" Vino menarik Raden.

Raden melepas kasar tarikan Vino saat sudah berada diluar gerbang, "Gimana keadaan Luvia?"

Vino menatap, "Kemana lo bawa Kakak gue di malam hari seperti ini? Lo tahu? Sebenarnya dia tidak boleh keluar malam-malam."

"Kenapa?"

"Jawab pertanyaan gue! Tadi lo bawa Luvia ke mana?!" Tanya Vino penuh penekanan.

"Bukan ke jalan raya diujung sana 'kan?" Tebak Vino menunjuk arah dimana jalan yang tadi meraka lewati.

Orang yang ditanya mengangguk. Vino menduga sejak awal, Vino mengusap wajahnya gusar.

Vino mendorong Raden ke gerbang dan cowok itu tersentak, ingin melepas tangan namun tatapan Vino membuatnya mengurungkan diri dan hanya mengikuti apa yang akan Vino lakukan.

"Sejauh ini gue tidak pernah sopan dengan orang lain. Jadi, kesopanan gue ini bisa jadi sesuatu yang bisa lo lakukan ke gue." Dari mana Vino tahu namanya mungkin Luvia sudah cerita.

"Gue minta jaga Luvia sebagai balas dari kesopanan gue." Kata terakhir selesai diucapkan.

Raden melepas tangan Vino dari pundaknya, "Kenapa harus gue? Lagi pula gue tidak butuh kesopanan lo."

"Karena lo yang sudah membawanya keluar dari traumanya." Kata Vino lurus.

Raden berhenti tepat dibelakang punggung Vino lalu menoleh, "Trauma?"

Vino berbalik, "Luvia memiliki trauma. Tapi, Luvia bisa kendalikan saat bertemu dengan lo."

"Sebenarnya gue tidak tahu apa hubungan lo sama Luvia. Tapi, sejauh ini hanya lo yang dekat dengan Luvia dan bisa membuat dia sampai sejauh ini." Kata Vino menatap jalan.

Raden mendengarkan cerita Vino. Anak yang masih duduk dibangku SMP itu menatap Raden, tingginya beda tipis hanya Raden lebih tinggi.

"Gue tahu, lo cowok waktu itu yang mengantar Luvia pulang naik motor 'kan?" Vino berucap.

"Awalnya gue tidak percaya. Tapi saat mendengar langsung dari Luvia bahwa bayangan itu tidak muncul dipikirannya saat naik motor bersama lo. Gue percaya dan lo bisa dipercaya untuk menjaga Luvia dari bayangan itu." Lanjutnya masih menatap lurus kedepan.

"Terima kasih dan gue minta bantuan lo untuk menjaganya. Gue kasian lihat dia seperti tadi, itu sangat sakit. Rasanya gue tidak pantas jadi saudara kalau membiarkan dia sakit sendiri." Tambahnya dengan mata berkaca kaca.

Raden bingung dengan ucapan terima kasih, "Itu sudah biasa gue lakukan tidak perlu berterima kasih."

Tapi kenapa Luvia bisa takut naik motor? Sekarang giliran Raden yang memegang kedua pundak Vino

"Sepertinya gue bisa merasakan aura positif dan tenang dari telapak tangan lo, apa mungkin ini yang dirasakan Luvia saat naik motor dengan lo." Vino merasakan rasa nyaman dari cowok itu.

Cowok itu melepas tepukan Vino lali menatap heran, tangan ini bisa menjadi obat penenang untuk Kakak beradik keluarga Sandjaya?

Dia pikir tangan ini hanya sebagai pelengkap tubuh tidak ada gunanya justru mereka merasakan ketenangan hanya dengan menyentuh.

"Tidak bisakah lo cerita dengan jelas? Gue belum paham apa yang lo maksud. Telapak tangan, bayangan. Apa maksud bayangan itu?" Raden penasaran.

Vino tersenyum kecut, "Gue tidak punya hak untuk menceritakannya sama lo, yang penting lo bisa membuat bayangan itu hilang dari pikiran Luvia untuk selamanya."

Raden tertawa terpaksa, "Bagaimana gue bisa menjaganya kalau gue tidak tahu apa masalahnya."

Permintaan konyol anak SMP membuat kepalanya pusing, ingin dimintai tolong, tapi tidak boleh mengetahui apa yang pernah terjadi sebelumnya. Kenapa juga dia harus menurutinya? Dasar bocah +62.

Vino tahu apa yang dipikirkan oleh Raden, tangannya menghentikan cowok itu untuk pergi.

"Gue akan ceritakan semua yang gue tahu tentang Luvia."

Taruhan



.
.
Tbc...

Apa kira kira kejadian yang dulu pernah terjadi pada Luvia?

Tetap lanjut, Oke....
Jangan lupa Vote dan Komen....

See you...

.
.
Vialivi Wdh • Taruhan 12

Continue Reading

You'll Also Like

22.7K 4.1K 49
[BELUM REVISI] "Gimana kalau aku, nggak bisa tungguin kamu pulang kak!" Ucap Laras yang menangis. "Gue belum minta maaf ke dia!" Ujar Sangara dengan...
1.1M 127K 54
Aluna Rafa gadis cantik dengan mata indah, semasa hidupnya Aluna tak pernah keluar rumah, sekolahpun tidak. Aluna hanya diam dirumah, melakukan peker...
305K 23.6K 41
PINDAH KE SINI! Hanya kisah seorang gadis remaja cupu yang tidak mempunyai tempatnya berteduh untuk berkeluh kesah tentang hidup yang tidak ia ingink...
176K 13.1K 23
"GILA! LEPAS!" Anessa memberontak namun cengkeraman itu semakin kencang dan membuat kesadaran Anessa kepada jalanan yang sekarang dia lewati hilang...