ZenEga

By KRV_tripeople

198K 18.3K 3.3K

Season 1 [End] Season 2 [On Going] Kisah ini, tentang Zenata Aurora Syahfilla, yang begitu membenci cowok ber... More

[ZenEga 00]
[ZenEga 01]
[ZenEga 02]
[ZenEga 03]
[ZenEga 04]
[ZenEga 05]
[ZenEga 06]
[ZenEga 07]
[ZenEga 08]
[ZenEga 09]
[Visual Tokoh]
[ZenEga 10]
[ZenEga 11]
[ZenEga 12]
[ZenEga 13]
[ZenEga 14]
[ZenEga 15]
[ZenEga 16]
[ZenEga 17]
[ZenEga 18]
[ZenEga 19]
[ZenEga 20]
[ZenEga 21]
[ZenEga 22]
[ZenEga 23]
[ZenEga 24]
[ZenEga 25]
[ZenEga 26]
[ZenEga 27]
[ZenEga 28]
[ZenEga 29]
[ZenEga 30]
ZenEga QnA
ZenEga 2 [00]
ZenEga 2 [01]
ZenEga 2 [02]

[ZenEga 31] END

5.5K 300 62
By KRV_tripeople

Jgn lupa komennya.

5.401 word ajg banyak bat, capek asw wkwk.

Typo? Manusiawi

Oke deh selamat membaca😍😍

.
.
.

"Ini akhir dari kisahku, kisahmu dan kisah kita."

ZenEga Last Part


Zena menghela nafas. Merapihkan ujung dressnya yang sebenarnya tidak kusut dan berantakan. Lalu menatap pintu restauran dari kejauhan. Untuk pertama kali, setelah sekian lama, dia makan malam bersama Dion dan rekan bisnis Papanya itu. Entah mengapa, sekarang Zena jadi gugup.

"Ayo." Dion berucap. Menggenggam tangan Zena yang mulai dingin. Gadis itu tersenyum canggung. Dion membuka mobil dan menyambut Zena dengan uluran tangan.

Zena diam dengan hati yang bergejolak senang. Melirik sekilas tangannya yang sedang digenggam oleh sang Papa. Rasanya kebahagiaan ini luar biasa adanya.

"Illa..."

"Iya?"

"Katanya anak temen Papa ada yang cowok lho..."

Zena mengernyit. "Terus kenapa?"

"Ya gak papa, haha." Dion tertawa. Zena jadi ikut tertawa pelan. Candaan garing yang entah mengapa membuat mereka berdua tertawa. Rasa-rasanya ini adalah candaan mereka setelah lama tak bersapa. Candaan mereka setelah lama saling menjauhi, melukai dan menyakiti diri masing-masing.

"Illa, rasanya Papa gak nyangka bisa gandeng tangan kamu lagi kayak gini. Tangan kamu dulu itu kecil, selalu megang jari kelingking Papa karena kata kamu dulu jari Papa tuh kayak hulk."

Zena tertawa. Mengingat dulu kebiasaanya yang suka menggandeng tangan Papanya. "Oh iya, temen Papa ramean?" tanyanya.

Dion menoleh lalu mengulas senyum aneh. Zena mengerutkan kening. Merasa ada yang janggal dengan senyum Papanya itu. Ingin bertanya lebih namun langsung mengatupkan mulutnya karena wajah Dion yang tampak bersemangat. Dia tak mau merusak rona bahagia Papanya itu.

Jarak mereka dengan restauran semakin dekat, membuat degup Zena berdetak tak karuan. Langkahnya seolah terasa berat, belum lagi pikiran-pikiran aneh merasuk dalam benaknya. Terlintas ucapan tiga sepupunya yang tolol abis mulai mengusik ketenangannya.

"Zen, hati-hati ya ntar. Kalau di restauran ada remaja cowok seusia lo sama orang tuanya. Itu tandanya lo beneran mau dijodohin!" seru Kici kala itu.

"Kalau beneran om Dion niatan mau jodohin lo, lo harus bersikap urakan, Zen. Contohnya makan sambil ngangkat sebelah kaki, pas makan harus ngecap kek babi, sendawa keras kalau habis makan. Kalau gak lo ngaku aja ke mereka kalau lo udah hamil duluan!" ucap Vena.

"Astagfirullah!" seru Rischa dan Kici bersamaan. Keduanya menatap Vena yang kini sedang nyengir bego. Langsung saja Rischa menoyor sepupunya itu.

"Omongan lo Pen, kudu gue tampol pake bismillah dulu keknya," ucap Rischa. Vena meringis kecil.

"Pokoknya bikin mereka ilfeel, biar mereka langsung batalin perjodohan lo! Oke?!" cetus Vena dengan segala ide gila yang bersarang di otak laknatnya.

"Alasan Papa mau jodohin gue, karena apa?" tanya Zena yang sedari tadi diam.

"Mungkin karena perusahaan bokap lo yang ada di ujung tanduk, atau terikat janji masa lalu buat jodohin lo sama anak temen bokap lo." Rischa mengangkat bahunya.

"Lo boleh dah terima tu cowok kalau modelannya mirip Zega ato gak Gilan, tapi kalau modelnya kek Bambang temen gue mah, jangan diterima. Tolak aja, kalau perlu lo hujat dulu," celetuk Kici. "Saran gue sih mending lo sama Zega aja. Cocok banget dah sama-sama cantik sama ganteng."

Vena menatap ciki jaguar di tangannya dengan saksama. Berharap nemu duit gocap, lumayan buat beli basreng dapet banyak. Namun dia langsung menghela nafas kala cuma dapet tatoan doang. Bambang emang.

"Ngapa lo, Pen?" tanya Zena.

"Gada gocapan nyelip di ciki, padahal gue tadi milih yang berat biar dapet hadiah. Jam tangan kek, duit kek, ato gak apa kek. Lah ini mah dapet tatoan asw, gaguna banget bangsad," maki Vena.

Kici mendelik. "Lo yang gak guna, Pen. Lagi bahas perjodohan nih."

Vena mengerjap sambil makan ciki. "Apa tadi kata lo, Kak? Zena cocok sama Zega? Halah kemaren gue liat Zega rangkul-rangkulan sama cewek di dalem mobil pas di lampu merah."

"Lah lo ngapain dah di lampu merah?" tanya Rischa bingung.

"Biasa gue disuruh sama abang gue ngemis di lampu merah, lumayan dengan tampang gembel gue semua orang simpati, jadinya gue dapet banyak duit," sahut Vena membuat semuanya terbahak. Kecuali Zena yang terdiam dengan raut wajah yang perlahan berubah datar. "Pokoknya lo harus hati-hati, Zen. Kalau tuh cowok ganteng, tajir tapi kelakuannya kek Zega. Gue pasti jadi orang pertama yang ngerusuh pas dihari kawinan lo, atau gak pas malam pertama lo. Biar lo gak jadi ena-ena."

"Yeuuu si goblok!" maki Rischa dan Kici barengan.

Lalu kembali lagi kita kepada Zena yang kini meremas tangannya. Pikirannya kini berkecamuk, baru kali ini dia merasa tidak tenang. Biasanya Zena akan bersikap tenang disituasi apapun, tapi untuk kali ini dia merasa sedikit tak tenang. Entah apa alasannya.

Banyak pertanyaan yang kini hinggap dibenaknya. Benarkah Zena akan dijodohkan karena perusahaan Papanya hampir bangkrut atau karena perjanjian bodoh antara Dion dan rekannya itu?

Tapi ... mengapa?

Mengapa Zena harus dijodohkan? Kenapa Dion tak bilang perjodohan ini sebelumnya? Apa Dion ingin menjual anaknya demi perusahaan atau memaksanya demi sebuah janji masa lalu agar hubungan persahabatan mereka tidak hancur?

Tidak, tidak boleh sampe iya. Zena menggelengkan kepalanya. Ngapain juga dia memikirkan omongan tiga sepupunya yang kurang waras. Zena harus berfikir positif mengenai Dion.

Dan akhirnya mereka sampai di meja yang sudah terisi dua orang, sepasang suami istri. Zena menatap kedua nya sembari memegang tangan Dion, tubuh gadis itu bersembunyi di balik punggung Dion.

"Woah, dateng juga lo Yon," kata pria seumuran Dion sembari bertos ala pria. Senyumnya tampak sumringah. Lalu dia memperkenalkan perempuan cantik di sebelahnya. "Fira, istri gue."

Dion tersenyum sembari menjabat tangan Fira. "Dion," katanya yang diangguki oleh Fira.

"Fira."

"Putri lo, Yon?" tanya Damar sembari melirik Zena yang kikuk di belakang Dion. Ditatapnya Zena yang tampak canggung dengan wajah ramah. "Kenapa ngumpet gitu? Kita gak lagi main petak umpet loh," katanya sambil terkekeh sedangkan Zena hanya mengulas senyum tipis.

"Iya, namanya Zenata Aurora Syahfila. Gimana cantik gak? Jelas cantiklah, bibit unggul gue nih." Dion tertawa.

"Cantik."

"Makasih Om, Tante. Saya Zena," kata Zena sambil menyalimi Damar dan Fira.

"Kamu kelas berapa, Zen?" tanya Fira ramah.

"Kelas dua belas, Tante."

"Woah sama kayak anak Tante, dia kelas dua belas juga. Namanya Zellio Putra Naufal. Jodoh nih kayaknya, haha."

"Eh bentar, lo punya anak laki, Dam?" tanya Dion ketika baru sadar kalau tadi Damar bilang punya anak laki-laki, kirain Dion si Damar punya anak cewek doang. "Baru tau gue."

"Punya, yang kemaren gue ajak ke sini tuh kakaknya yang cewek dan sekarang adeknya."

Dion membulatkan mulutnya.

"Kalau lo, Yon, anak berapa?"

Dion terdiam sejenak lalu menjawab, "Dua, cewek semua."

"Bisa kali salah satu diantara mereka dijodohin."

"Kane kali yak kita besanan," balas Dion tertawa disusul tawa renyah dari Fira dan juga Damar.

Zena terdiam dengan detak jantung yang berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya. Perasaannya jadi tak enak.

"Yang satu lagi kemana? Kok ga diajak?" tanya Fira. "Apa dia di rumah sama Mamanya?"

"Mereka ... udah gak ada."

Fira tertegun. Sedikit kikuk lalu menatap Dion tak enak. "Maaf ya, gak tau."

"Santai aja," kata Dion.

Sedangkan Zena hanya bisa bungkam, melirik Dion sekilas lalu menghela nafas. Pasti Papanya itu teringat oleh Kakak dan Mamanya.

"Eh tuh dia, Zellio, cepet sini jodohmu udah dateng nih," seru Damar sambil melambai pada cowok berjas biru yang terlihat celingak-celinguk. "Nih kenalin Zena, anak Om Dion."

Tak lama kemudian, Zena bisa melihat dengan jelas sosok yang bernama Zellio itu. Tampan, adalah satu kata yang mewakili cowok di depannya ini. Tubuhnya terlihat proporsional sangat terlihat wah dipadu-padankan dengan jas yang mencetak jelas dada bidangnya.

Tapi entah itu semua terlihat biasa saja di mata Zena.

Biasa aja. Gak ada yang menarik dan spesial seperti Zega.

Eh?

"Zellio, Om." Zellio menyalimi Dion lalu beralih ke Zena. "Zellio," katanya sambil tersenyum. Membuat lesung pipinya terlihat jelas di bagian pipi kirinya. Manis.

"Zena," jawab Zena kikuk.

"Kita ngobrol-ngobrol aja dulu, gak apa-apa kan yak?"

Dion dan lainnya mengangguki ucapan Damar, lalu mereka duduk di kursi masing-masing.

Zena mengedarkan pandangan. Keningnya tampak bingung ketika melihat suasana restauran yang sepi pengunjung, namun banyak sekali meja yang sudah disediakan. Dan juga ada beberapa pegawai yang sibuk menyiapkan hidangan besar, entah itu untuk apa.

"Zena sekolah di mana?"

"Ribana high school, Om."

"Wah, sekolah Zellio enggak jauh tuh dari Ribana. Bisa kali ntar kalian pulang bareng."

Zena hanya tersenyum tipis menanggapi. Dan selanjutnya mereka, ah lebih tepatnya Dion, Zellio dan Mama Papanya terlibat percakapan santai yang tidak Zena ketahui alurnya dan tentu saja Zena juga gak mau tahu.

Gadis itu sibuk memainkan ponselnya, membalas pesan grup yang dibuat oleh sepupu laknatnya. Mereka sedari tadi misuh-misuh menanyakan pertanyaan bodoh yang membuat Zena mendelik kesal.

"Zena sering juara Taekwondo sama Karate dari kecil. Dapet panggilan lomba sampai ke luar negeri. Tapi akhir-akhir ini dia juga sering ikutan latihan tinju sampe beli samsak buat di rumah."

"Wah, keren! Pasti bangga banget kan yak lo punya anak berprestasi kayak Zena?"

"Bangga? Tentu. Tapi sayangnya dulu gue terlalu egois mentingin diri sendiri, sampai lupa kalau masih ada Zena yang bikin gue bangga dengan caranya sendiri. Gue terlalu cuek, bahkan untuk memfasilitasi anak sendiri aja ogah. Betapa bodohnya gue." Dion terkekeh di akhir kalimat. Mentertawakan dirinya yang dahulu begitu bodoh.

Zena menoleh, menatap wajah Dion yang terlihat biasa saja namun sorot matanya mengatakan bahwa ada satu hal yang terpendam tanpa mau dia jelaskan.

Terlalu sakit menurutnya dan Zena tau itu.

"Its okay, daddy. Im fine," lirih Zena. Sedangkan Dion hanya tersenyum tipis.

Hening sejenak, namun Damar yang tidak nyaman dengan suasana hening kembali berbicara.

"Zellio juga pernah juara Judo loh, tingkat internasional. Dia pinter akademik maupun non akademik. Dia juga sering ikut olipiade. Hm, kayaknya kalian tuh banyak persamaan. Cocok banget jadi pasangan serasi. Ganteng dan cantik. Jago bela diri. Terkesan cuek sama dingin. Ah pokoknya debes lah, jadi pengen jodohin kalian."

Zena terdiam kaku. Tatapannya jatuh menatap dress yang kini dia kenakan. Jodohin? What? Maksudnya mereka mau dijodohin?!

SERIOUSLY?!

Zena menatap Dion yang kini tersenyum lebar. Belum lagi kala pria itu mengangguk sembari terkekeh, membuat hati Zena semakin dag dig dug saja.

Zellio memutar bola matanya malas saat mendengar ucapan Papanya. "Apasih, Pa? Jodah jodohin aja? Kalau Lio sama Zena, terus Rinda sama siapa?"

"Alah, tunanganmu itu nakal, Lio. Gak pernah bener kalau diajak kalem, bawaannya pecicilan mulu. Kek cacing kepanasan."

"Pa," tegur Zellio.

"Dia tuh cerewet, bawel udah gitu toa pula. Gak rela Papa punya anak budek sebelum waktunya."

"Om, kalau mau ngehujat depan Rinda langsung dong. Cemen amat hujatnya di belakang."

Tiba-tiba saja gadis bergaun hitam datang disusul rombongan orang masuk ke dalam restauran lalu menempati kursi yang berderet panjang. Gadis itu duduk di sebelah Lio. What? Kenapa Zena baru sadar kalau kursi yang ditempatinya ini membentuk sebuah deretan panjang yang akan diisi oleh banyak orang?

Ah mungkin karena Zena terlalu sibuk dengan pikirannya yang diracuni tiga sepupu goblok yang membuatnya lupa akan sekeliling.

Dan kini suasana restauran menjadi banyak pengunjung dengan setelan kelas atas yang bisa dipastikan itu adalah rekan-rekan bisnis Dion.

"Tuh kan apa Papa bilang, Lio. Jangan mau sama Rinda yang bawel. Terus juga, tunanganmu itu disebut namanya sekali aja langsung nongol, mirip jurig ih." Damar bergidik.

"Masih saya liatin, Om. Belum aja tuh lambe saya donasiin ke orang yang membutuhkan," sahut gadis bernama Rinda itu.

"Kamu tuh yang sopan sama calon mertua, salam kek, cium tangan kek. Pengen dihujat mulu kamu mah."

"Jangan dihujat, Om. Kesian Omnya nanti dosanya jadi banyak gara-gara dosa Rinda pindah ke Om semua."

"Kampret!"

"Udah yuk yang, kamu duduk sama aku di sebelah sana. Nimbrung sama anak seumuran jangan sama orang tua, ntar kita ikutan tua juga."

Lalu dengan seenak jidat Rinda menarik tangan Zellio supaya pindah ke meja yang khusus anak muda seperti mereka. Tak lupa gadis itu juga mengajak Zena. "Lo ikut gabung juga. Jangan mau gabung sama para orang tua. Ntar lo bakalan denger cerita flashback mereka pas masih muda belum lagi ngomongin cerita jadul yang gak ada habisnya."

"Kek situ gak bakalan tua aja," cibir Damar sebelum Rinda beranjak pergi diikuti Zellio dan Zena. Rinda hanya menjulurkan lidahnya, meledek.

Benar kata gadis itu, mendingan Zena ikut bergabung bersama yang lain daripada harus menjadi bahan kacangan. Bodo amatlah dia ikutan nimbrung tapi gak ada temen. Toh Zena juga malas nyari temen juga.

"Duduk di sebelah Rinda aja, Zen," kata Zellio.

"Iya sini, eh kenalan dulu yuk. Gue Rinda."

"Zena."

"Salam kenal Zena." Rinda tersenyum lalu beralih pada yang lain yang kebetulan semua adalah temannya. "Gaes, kenalan yuk sama Zena." lalu Rinda menatap Zena. "lo anak bapak siapa dah?" tanya Rinda pada Zena.

"Dion."

"Nah, Zena ini anaknya Om Dion. Say hi dong kalian jangan pada asik sendiri, sombong amat!"

"Hai, Zena!"

"Cantik juga, gue gebet boleh?"

"Zen, bagi id Line dong, no Whatsapp, Instagram, Pin BB, Facebook sama Snapchat nya. Ntar gue chatin deh."

"Zena udah pacar belum? Sini sama gue, gue free nih. Beli satu gratis satu."

"Pantesan Om Dion setiap ngumpul pasti datengnya selalu sendiri, ternyata oh ternyata dia lagi ngumpetin anak gadisnya yang cakep nya luwar biyazah Allahu Akbar! Tau gini gue pdkt sama bapaknya dulu baru sama anaknya."

Zena hanya tersenyum kaku menanggapi seluruh celotehan yang lain. Merasa sedikit risih karena dia belum terlalu biasa berkumpul dengan orang yang suka berbicara panjang lebar, tapi kalau dengan Rachel tentu saja Zena sudah tahan banting sama mulut merconnya itu.

"Eh, lo Zenata kan pacarnya Zeganda?" tanya Awdia yang Zena ketahui saat perkenalan tadi. Gadis itu sedari menatap Zena dengan lamat membuat Zena risih. "Lo juga yang pemes di Ribana kan?"

"Em-"

"Seriusan lo pacaran sama Zega?! Zeganda yang ganteng itu kan?!" pekik Okta heboh sendiri.

"Gue-"

"Beruntung banget sih lo Zen, bisa pacaran sama the most wanted Ribana. Iri deh gue," sahut Usti dengan wajah envy yang begitu kentara.

"Gue sama Zega-"

"Yang deket sama Zega pasti beruntung banget deh," kata Awdia. "Apalagi bisa pacaran sama dia, lo beruntung banget, Zen."

"BERUNTUNG NDASMU?! ZEGA ITU PLAYBOY KELAS KAKAP YA ANJING! ZEGA DEKETIN GUE UDAH SEBULAN LEBIH EH GATAUNYA PACARAN SAMA TEMEN GUE, BANGSAD GAK TUH?! TERUS SEMINGGU KEMUDIAN TEMEN GUA DIPUTUSIN! DASAR SOK GANTENG, CIH!" maki Tasya Eka disusul dengan gebrakan meja.

Zena dan yang lain menatap gadis yang kini sedang menahan amarah, terlihat dari wajahnya yang memerah. Dalam hati Zena tersenyum miris ketika mengingat sifat buaya darat yang dimiliki oleh mantan pacar pura-pura nya itu.

Ingat, mantan pacar pura-pura.

"Udah sans ae Tas, ntar juga cowok modal tampang kek Zega dapet karma," balas Dilla sambil mengelus pundak Tasya Eka. Menenangkan.

"Tapi Zega beneran ganteng kok. Cocok sama Zena yang cantik juga. Mereka kan couple ZenEga," sahut Amalia membuat Tasya Eka mendelik kesal.

"Kalau Zena cantik, terus gue apa jancok?! UPIK ABU?! BURIK?! BULUK, HA?!" bentak Tasya Eka.

"Ya udah si santuy ngomongnya, kayak bakso aja lo pake urat," jawab Amalia kalem.

Zena hanya diam. Menatap satu persatu sekumpulan remaja yang duduk satu meja dengannya. Terlihat jelas kalau mereka tahu siapa itu Zeganda Angkasa Langit. Siswa terplayboy yang terkenal sampai ke sekolah tetangga.

"Zen, nama IG lo apa?" tanya Nova yang dijawab Zena dengan nama panjangnya. "Udah gue follow, jangan lupa follback ya. Gue juga udah spam like postingan lo, jangan lupa spam back ya, hehe."

"Halah palingan nanti juga minta foto terus ditag Zena nya pake caption yang ada lopenya. Pansos banget lo," sahut Usti sinis.

"Et sirik aja lo kutil kuda," sinis Nova.

"Pansos hih!"

"Kok jadi pada ribut si? Kalau mau ribut sono noh di ring tinju. Mau adu jotos, tendang, cakar ato jambak-jambakkan terserah kalian. Mau sampe mati juga gak papa, lumayan gue dapet berkat," kata Awdia.

"Dia duluan cari gara-gara, ngatain gue segala lagi. Dasar jablay!" maki Nova.

"Lo goblok yang jablay!" maki Usti lagi.

"Bacot kelen, gak haus tu lambe ngombe aja?" tanya Okta. "Mending makan. Karena harapan itu harus dibuktikan dengan perjuangan dan perjuangan itu butuh tenaga. Jadinya kalian harus makan banyak supaya kuat berjuangnya."

"Ini lagi sempaknya salamander segala berkhotbah, udah gitu bucin lagi. Hih, gue remes juga tu empedu," sinis Dilla.

Dan selanjutnya obrolan random pun terjadi, perdebatan kecil juga tak terelakkan. Tak lupa dengan candaan garing yang disusul tawa bahagia menguar begitu saja di meja yang diisi oleh para remaja seusia Zena. Sedangkan Zena hanya diam, enggan ikut nimbrung.

"HI GAES WELKAM BEK TU DUNIA LAIN, EH SIAPA NIH? ADA CECAN TERNYATA!"

Lalu tak lama kemudian datang dua orang gadis yang langsung duduk mengapit Zena. Cewek bergaun merah itu menatap Zena seksama. "Wah lo baru gabung di sini ya? Siapa namanya? Bokap lo yang mana?"

"Zena, Dion," sahut Zena seadanya.

"Salam kenal Zena! Gue Yulia, cewek paling cantik diantara yang lain. Gue juga montok, semok dan sekseh," kata Yulia membuat yang lain pura-pura muntah mendengarnya. Yulia mendelik. "Apasi kalian sirik aja sama Selena, hih!"

"BODO AMAT!" seru mereka kompak.

"Hai gue Nadia, salam kenal Zena!"

Zena hanya tersenyum tipis dan mengangguk.

"Sesi perkenalan dengan Zenanya udah ya, kesian tu anak orang ditanyain mulu. Mending kita makan," kata Putra yang tadi sempat menanyakan akun sosial media milik Zena. Cowok itu tersenyum manis ke arah Zena sembari memainkan alisnya. "Lo mau makan apa Zen? Biar gue ambilin."

"YEU DASAR CACING KREMI! MODUS AJA LU!"

"Sirik aja lu sempak babi."

"Ett jangan makan dulu! Mending kita foto ramean. Di situ tuh ada background yang Instagram-able, tinggal dikasih efek dikit terus upload. Lumayan biar dapet like nya banyak," kata Nadia.

"Bener tuh!" kata yang lain juga.

"Ya udah yuk!"

Lalu mereka semua bangkit dari kursinya lalu berjalan ke salah satu pojokan restauran yang sudah disediakan khusus untuk berfoto ria. Sedangkan Zena hanya memilih duduk di tempat, enggan beranjak seperti yang lain.

"Loh, kenapa diem aja, Zen? Ayo foto bareng," sahut Dilla.

"Kalian aja, gue di sini."

"Kok gitu? Ikut semua atuh biar seru!" seru Awdia. Lalu dengan paksaan dia menarik tangan Zena agar gadis itu berdiri. "Ayo! "

Lalu kedua cewek itu menarik tangan Zena hingga mereka bergabung dengan yang lain.

"GAES MINGGIR GAES, GUE JUGA MAU IKUTAN FOTO! GESERAN DIKIT NAPA, GUE MAU DI SAMPING ZENA KEMBARAN GUE NIH! ISH GESERAN DIKIT KEK JANCOK! LO BUDEK APA GIMANA? BELUM AJA TUH KUPING GUE KOREK PAKE BULDOZER! AWAS IH!" teriak Awdia sembari rusuh menggeser teman-temannya agar memberi tempat untuknya dan juga Zena. Lalu gadis itu mengambil posisi paling depan agar kelihatan di kamera dengan Zena di sebelahnya.

Zena hanya diam pasrah saat tubuhnya ditarik oleh gadis bernama Awdia, belum lagi telinganya yang hampir tuli ketika mendengar suara cetar membahana milik Awdia. Sebenarnya Zena ingin marah dan membentak semua orang yang membuatnya risih, namun dia memilih untuk bungkam agar tidak menimbulkan masalah. Dia harus bersikap baik kepada siapapun yang sudah welcome kepadanya. Hanya untuk kali ini saja, kalau selanjutnya, Zena sih OGAH!

Dan malam ini menjadi malam yang paling sial menurut Zena.

(个_个)

"Zen, lo tau gak? Gue tuh bego banget tau, udah nyia-nyiain cewek galak kayak lo. Sumpah demi holoh, gue tuh nyeseeeeeeeeeeel banget pernah main-main perasaan sama lo yang pada akhirnya perasaan gue juga ikutan main."

Zega berucap dengan nada khas orang mabok, jalannya pun terlihat terseok-seok dan lunglai seperti zombie yang ada di kereta di pilem-pilem. Belum lagi rambutnya yang acak-acakan, baju lusuh, bau alkohol serta rokok, mata beler, muka melas dan intinya sedari tadi cowok itu meracau tak jelas sembari menyebut nama Zena.

Persis orang gila yang kehilangan arah.

Ah elah, kalau kehilangan arah tinggal pake GPS doang Ga, ribet bener idup lu.

"Zen, lo tuh cewek antimainstream yang pernah gue temui. Disaat cewek yang lain ngemis-ngemis jadi pacar gue, akhirnya gue kasih aja tuh mereka duit recehan, kan mereka ngemis. HAHAHAHA!"

Zega tertawa ngakak di pinggir jalan. Cowok itu berjongkok sambil memukul-mukul aspal saking gelinya. Lalu cowok itu berdiri lagi, dan kembali melanjutkan perjalanan nya yang entah kemana. Kakinya hanya ingin menyusuri trotoar, kemana tujuannya pun Zega juga tak peduli.

"Gue bego banget sih segala ikutin permainan tolol dari Galaksi goblok. Ish tolol bat sih gue," maki Zega sembari memukul kepalanya lalu tertawa. "Iya njir gue beneran tolol. Hahahahaha."

"Gara-gara Zena nih gue jadi tolol kek gini, awas aja kalau ketemu Zena pengen gue culik terus gue bawa pulang. Liat aja!"

Zega mengusap-usap hidungnya dengan kasar. "Ah, tau gini gue sih ogah ikutan main TOD sialan nan bangsat itu."

Zega menghela nafas. Dia sadar kalau selama ini dia sibuk bermain-main hingga lupa kalau pada akhirnya dia sendiri yang dipermainkan. Terlalu banyak hati yang sudah terlanjur Zega patahkan hingga akhirnya karma juga mematahkan hatinya melalui perantara Zena. Sebelumnya Zega tak pernah segini frustasinya terhadap cewek. Dulu yang dia tahu hanyalah pendekatan dengan cewek, nyamanin lalu tinggalin. Dengan begitu dia akan merasa bangga jika berhasil menaklukkan seluruh hati cewek. Tapi terhadap Zena lain lagi ceritanya, dia kalah dengan cewek itu. Perasaannya terhadap gadis itu terlampau jauh untuk bisa dia tebak.

Dan kini hanya ada penyesalan yang tersisa. Sebanyak apapun dia memaki, menggerutu, menyalahkan siapapun termasuk takdir. Zega tak mampu memperbaiki semuanya seperti sedia kala.

Seperti diberi porselen cantik yang mahal harganya, Zega terlalu terlena dengan keindahannya hingga lupa kalau porselen itu rentan pecah dan hancur jika dia sering memainkannya.

Pada akhirnya porselen itu hancur seiring berjalannya waktu, dan Zega tak mampu mengembalikan bentuk porselen itu seperti dulu. Mau direkatkan menggunakan lem pun rasanya sangat percuma, karena itu tak akan bisa mengembalikan bentuk dan keindahannya.

Intinya penyesalan hadir sebab kita terlena dengan apa yang kita punya punya namun tak bisa kita jaga.

Kau tahu, apa yang membuatku menyesal sampai sedalam ini, gadisku? Kegagalan. Gagal dalam menjagamu membuatku merasa sama sekali tak berguna. Rasa sayangku pun tidak menjamin bahwa jika kau selalu berada di dekatku, kau tidak akan terluka.

Maafkan jika sayangku padamu hanya bisa menebarkan luka. Maafkan jika rasaku padamu hanya bisa menebarkan lara. Maafkan jika cintaku padamu hanya bisa menebarkan rasa sakit yang tiada tara.

Berjanjilah padaku, gadisku. Berbahagialah dengan caramu, walau itu tanpaku.

(╯︵╰,)

"Pa, Zena mau keluar sebentar ya. Mau cari angin," ucap Zena sembari menghampiri Dion yang kini tengah berbincang dengan rekan bisnisnya. Ternyata ini adalah acara makan malam yang memang digelar setiap dua bulan sekali untuk mempererat silaturahmi antar perusahaan maupun kerabat. Dan yang dibilang ini adalah acara perjodohan Zena itu semua hoax!

Dasar Rischa, Vena dan Kici sialan! Bisa-bisanya mereka membuat Zena takut akan ucapan mereka yang mengatakan bahwa Zena akan dijodohkan! Hih, rasanya pengen Zena slepet tuh otaknya.

"Kamu bawa aja mobil Papa. Nanti biar Papa minta jemput sopir atau gak naik taksi."

"Enggak usah Pa, Zena cuma jalan-jalan di sekitaran sini aja kok. Gak jauh."

Dion menatap Zena tak yakin. "Seriusan kamu mau sendiri? Ini udah hampir setengah sebelas malam loh."

"Tenang, Pa. Zena bisa jaga diri."

Walaupun Dion tau jika anaknya ini jago bela diri, tapi tetap saja rasa was-was menguasai dirinya. Dia takut Zena kenapa-napa. "Kamu bawa kunci cadangan mobil Papa, kan?"

Zena mengangguk.

"Kamu ke mobil, ambil jaket kamu yang tadi disiapin sama Bi Rumi. Terus dompet kamu juga udah di sana. Satu lagi, jangan lama-lama perginya. Kita pulang jam dua belas."

Zena mengangguk. Sedangkan Dion tersenyum sembari menepuk anak gadisnya pelan. "Hapenya jangan di matiin, kalau ada apa-apa telepon Papa. Ya udah sana kamu boleh pergi. Tapi hati-hati ya."

Zena tersenyum. Perasaan hangat menjalar ke hatinya saat mendapat perhatian kecil dari Dion. Sudah lama dia mengharapkan ini, dan akhirnya harapannya ini terkabul.

Zena berjalan ke luar restauran sembari mengusap lengannya yang tak tertutup. Angin semilir membelai lembut lengannya dan menerbangkan rambut panjangnya yang hari ini digerai bebas.

Lalu gadis itu mendongak, menatap langit gelap yang berbintang. Tersenyum lebar sembari menatap dua bintang yang paling besar dan terang diantara yang lain.

Seketika dia teringat oleh sesuatu. Sesuatu yang membuat hatinya berdesir hangat. Sesuatu yang mengingatkan akan rindu dan bahagia.

"Ma, Kak Ita, sekarang Papa udah kayak dulu lagi. Illa seneng banget," katanya dengan perasaan bahagia tak karuan. "Jadi Mama sama Kak Ita jangan khawatir lagi Zena sendiri, soalnya Papa sekarang udah jadi pelindung Zena, lagi."

(⌒▽⌒)


Zena berjalan santai sembari menganyunkan dan menepuk tangannya pelan. Gadis itu kini sudah mengenakan cardigan biru panjang yang menutup dressnya hingga lutut. Matanya sesekali memejam saat angin membelai wajahnya dengan lembut.

Kemarin kudengar kau ucap kata cinta...
Seolah dunia bagai dimusim semi...
Kau datang padaku membawa luka lama...
Kutak ingin seolah semua seperti dulu...

Tak ingin lagi rasanya kubercinta, setelah kurasa perih...
Kegagalan ini membuatku tak berdaya...
Tak dapat lagi rasanya kutersenyum, setelah kau tinggal pergi...
Biar kusendiri tanpa hadirmu kini...
Lagi...

Zena menghela nafas. Sepotong lirik lagu yang kini dia dengarkan lewat earphone, entah mengapa terasa begitu dalam baginya. Anggap saja Zena lagi berada dalam fase bucin dimana dia mudah terbawa perasaan jika itu menyangkut hatinya.

Kenangan bersama Zega membuat Zena kembali flashback akan masa lalu. Masa lalu dimana Zega melakukan pendekatan, menyatakan cinta di depan umum namun Zena tolak mentah-mentah, dan dimana Zega memperlakukan dirinya seolah Zena adalah wanita yang teristimewa di dunia.

Kenangan itu seolah terasa begitu indah. Indah namun sesaat. Indah namun menyesakkan. Indah namun mengandung perih. Indah namun menggoreskan luka yang tak semudah membalikkan telapak tangan untuk mengobati luka itu.

Bisa Zena akui, Zega cukup mampu membuat dirinya terperangkap sebuah rasa yang dinamakan cinta. Terperangkap pada sebuah kondisi dimana hatinya jatuh pada sesosok laki-laki bernama Zega.

Zena menghembuskan nafas lalu memejamkan mata.

Mulai detik ini, Zena mencoba merelakan semua. Semua beban dan segala rasa sakit di hatinya. Mencoba merelakan perih yang membuat luka. Mencoba merelakan rasa yang telah mati setelah dijatuhkan berkali-kali.

Mulai hari ini dan seterusnya, Zena mencoba untuk melepaskan. Melepaskan kenangan manis dan tentunya tentang rasa cintanya pada sosok Zeganda Angkasa Langit.

Aish kenapa jadi bucin gini?

Zena memicingkan mata saat tak sengaja dia melihat sosok Zega yang tengah berjalan sempoyongan ke arah jalan raya. Mata tajamnya itu memperhatikan Zega yang tampaknya terus meracau seolah sedang berbicara dengan seseorang. Beberapa kali Zega hampir terjatuh saat tak sengaja dia menginjak lubang, menginjak tali sepatu, menubruk orang bahkan dia sempat terjatuh dengan posisi telentang karena menabrak tiang listrik di pinggir jalan.

Zena pengen ngakak tapi kasian. Manaan masih muda pan.

Awalnya Zena tak peduli dan berusaha mengacuhkan, namun saat Zega berjalan lunglai ke tengah jalan raya yang cukup ramai. Zena buru-buru berlari saat ada motor yang mau menabrak Zega dari arah yang berlawanan.

"EGA GOBLOK!"

Itu bukan Zena yang teriak ya gan, itu authornya yang mewakilkan Zena untuk berkata kasar wkwkw.

Dan secepat itu lah Zena menarik kerah kemeja Zega membuat cowok itu tertarik ke belakang dan jatuh di trotoar disusul Zena yang terjatuh di sebelahnya. Kini mereka terduduk di pinggir jalan.

"Aw!"

Zega meringis saat tubuhnya menghantam trotoar dengan keras.

"Lo tolol hah?! Mau bunuh diri?! Jangan kayak gini caranya! Nyusahin orang tau gak! Kalau mau mati sana minum sianida atau baygon sekalian biar modar sendiri!"

Zega yang setengah sadar langsung melirik gadis di sebelahnya. Matanya memicing. "Lo siapa?"

Gadis itu tak menjawab.

Zega makin memicing. Memfokuskan pandangan namun tak bisa, efek alkohol yang terlalu banyak membuat pandangannya memburam. "Zena ya?"

Gadis itu tetap diam.

Zega mengarahkan tangannya pada wajah gadis itu. Meraba bentuk wajah, hidung, jidat, mata dan tak sengaja jarinya masuk ke dalam lubang hidung gadis itu dan membuat...

Bugh!

"Anjeng," ringis Zega saat dia menerima bogeman mentah dari gadis itu. Zega sempat terhuyung namun buru-buru dia menoleh lagi ke gadis itu.

"Lo Zena kan?"

"Aish kebanyakan alkohol gue jadi halu kalau lo ada di sini, Zen."

"Tapi kok mirip banget kayak Zena, apa jangan-jangan lo Zena?"

Hening.

Zega menghela napas. Memutar badannya menghadap gadis yang sangat mirip dengan Zena. Lalu tanpa basa basi dia menjatuhkan kepalanya di pundak cewek itu. Ah bodo amatlah mau dia dibilang kurang ajar atau enggak, Zena atau bukan yang penting Zega lagi mau curhat.

"Lo mirip banget sama Zena tau. Cewek tomboy nan kasar yang selalu main bogem kalau ada orang yang ngusik hidupnya. Duh jadi kangen Zena gue," kata Zega tak jelas. Lalu cowok itu mendongak dan menatap cewek itu was-was. "Eh tapi lo bukan Zena kan anjeng? Gua ngeri lagi lo Zena beneran terus denger aib gue, kan malooooo."

Zena menggeleng dan bodoh nya Zega percaya. Cowok itu kembali menjatuhkan kepalanya di pundak Zena.

"Tapi gue nganggep lo Zena aja deh, biar enak gue curhat nya," kata Zega. "Tapi lo bener bukan Zena kan? Kalau bukan gua mau curhat tapi nganggep lo Zena yang real."

BODO AMAT BAMBANG.

"Zen, gue boleh jujur gak? Sebenarnya pas liburan, malam itu gue nahan banget buat gak nyentuh lo. Ya gimana si cowok normal ditempatin satu kamar sama cewek. Apalagi ceweknya cakep kayak lo, duh gue pas tidur dibisikin setan biar seranjang sama lo. Kampret anjing! Udah tau lagi nahan malah didorong buat ngelakuin hal gituan, tai emang!" gerutu Zega. Tak jarang orang yang berlalu lalang menatap mereka aneh. Belum lagi mendengar ocehan Zega yang keras dengan tangan yang seolah-olah seperti anak kecil sedang menjelaskan sesuatu, membuat semua orang menganggap Zega itu gila.

Dan sekali lagi, Zega sama sekali tidak peduli.

"Tapi prinsip gue gini, Zen. Kalau gue udah sayang, gue bakalan ngejaga bukan ngerusak. Sebisa mungkin gue ngejaga dan melindungi orang yang gue sayang. Gak peduli seberapa gede hawa nafsu, hasrat dan apapun itu yang kemungkinan bisa aja nyakitin lo, seberusaha mungkin bakalan gue lawan itu semua. Mungkin beberapa kali terbesit di otak gue buat ngelakuin hal yang gak baik sama lo, tapi sekuat tenaga gue bakalan nepis pikiran jahat itu. Supaya apa? Supaya lo bisa tenang kalau di dekat gue, supaya gue bisa lindungi lo dan supaya gue terbiasa bertanggung jawab sama orang yang gue sayang."

Zega menghela napas.

"Sedih ya jadi gue, Zen. Dulu gue pernah haha hihi gara-gara seneng mainin semua cewek demi kesenangan sendiri, tapi sekarang gue dapet karma. Rasanya dimainin sama perasaan emang ga seenak itu, nyakitin bawaannya."

Lagi, cowok itu menghela nafas.

"Mungkin Tuhan emang sengaja takdirin lo buat sekedar lewat di hidup gue supaya gue bisa ngerasain gimana sakitnya sakit hati ditinggal pergi. Gimana sakitnya patah hati diberi harapan tak pasti."

Zena terdiam. Entah mengapa hatinya sedikit tersentuh ketika mendengar pengakuan Zega. Walaupun secara tidak sadar akan perkataannya, Zena yakin kalau ucapan Zega tadi jujur.

"Terus ... Kenapa gak diperjuangin Zenanya?" tanya Zena.

"Gue sadar diri. Gue bukan cowok yang baik. Gue masih gak pantes buat merjuangin cewek tulus kayak dia. Gue berengsek dan gue gak mau nyakitin dia lebih dalam lagi."

"Kenapa?"

"Alasan jatuh cinta itu sederhana. Sesederhana melihat dia yang tersenyum walau bukan kita penyebabnya. Gue pernah seberuntung mereka yang pernah dicintai, tapi baru kali ini gue mencintai dan prosesnya cukup tidak sesuai dengan harapan gue. Cinta gue hanya buat Zena terluka, jadi gue gak mau karena cinta gue Zena jadi terbebani."

"Kalau Zena masih cinta sama lo, gimana?"

"Mungkin ini adalah saatnya untuk kita merelakan. Karena kita tahu, takdir tak pernah bisa menyatukan kita walaupun kita masih memiliki perasaan."

Hening. Mereka saling bertatapan dalam diam. Yang satu bimbang dan satu lagi diambang kehancuran. Mereka tahu, jarak yang terbentang diantara mereka sudah tak dapat lagi dihapus. Mereka sudah terlampau sulit untuk mendekat. Seperti ada sekat yang membuat keduanya terasa dekat namun sulit digapai.

Zega kembali menatap lamat wajah gadis di depannya. Menelisik wajah itu dalam diam. "Eh tapi beneran kan lo bukan Zena?"

"Hm?"

"Muka lo mirip banget dah sumpah kayak Zena, lo bukan Zena kan? Lo siapa?"

"Setan."

"Setan kok mirip Zena," gumam Zega kecil. "Eh seriuss setan lu?! WOE SETAN MUKA LU JANGAN MIRIP ZENA DONG! ENAK AJA PACAR GUA EH MANTAN DENG MAKSUDNYA, DIJIPLAK MUKANYA SAMA LO! GANTI MUKA LO SANA! DASAR GA PUNYA MUKA! NAJES!"

Bugh!

"Sakit woe!!!!"

.
.
.

Kau tahu.
Mencoba merelakan itu tidak mudah, butuh proses serta hati yang mantap untuk merelakan sebuah kenangan yang telah terukir semenjak kita bersama.

Merelakan.
Satu kata hal sepele namun sulit dilakukan.
Sekuat apapun aku berusaha, sekuat itu juga hatiku berusaha kembali ke tempat yang tidak seharusnya dia berada.

Terima kasih telah membawa luka.
Dengan luka itu, aku semakin kuat dan dewasa.
Dengan luka itu, aku semakin cerdik untuk memilah cinta.
Dengan luka itu, aku semakin tegar walau dengan senyum dusta.

Dan dengan luka itu juga, aku percaya bahwa kamu adalah orang yang telah dikirim Tuhan sebagai luka.
Bukan sebagai jodoh yang sebagaimana hatiku mendambakannya.

Dan inilah akhir dari kisah kita.
Kisah yang baru saja dimulai namun dipaksa berhenti di tengah jalan.

Inilah akhir dari kisahku, kisahmu dan kisah kita.

-Zenata

.
.
.

END

AKHIRNYA SELESAI JUGA YEY!!!!


JANGAN DI HAPUS DULU YA DARI PERPUS KALIAN KARENA BAKAL ADA SEASON 2 🥰

COBA SARAN NIH LANJUT DI LAPAK INI ATAU BIKIN LAPAK BARU BUAT SEASON 2?

Continue Reading

You'll Also Like

ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.2M 120K 60
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
211K 7K 20
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
989K 48.5K 64
Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangan...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.1M 244K 30
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...