•|FRASA|•
Kring!!!
Bel istirahat berbunyi. Terdengar jauh lebih nyaring daripada bel masuk atau bel pergantian jam.
Aksa sudah berdiri tegap di samping bangku Frans. Letak istana barunya —kalau kata Leon, yang tertaut dua baris di depan bangku Frans menyebabkan dirinya mudah saja berdiri tepat waktu seperti biasa.
"Frans..., kantin, yuk! Makan soto pak Amin! Itu juga kesukaan Frans dulu!"
"Lo bisa diem? Gue bukan emaknya bebek yang harus lo ekorin terus! Lo itu ga denger, apa emang nggak paham bahasa manusia, sih?"
Diam. Frans selalu bisa membuat Aksara terdiam. Sebelum akhirnya melangkah pergi dengan tangan digandeng oleh Sania. Frans tidak minta, sayangnya ia juga tidak cukup pintar untuk menolak.
"Frans! Jangan dimakan!" Aksa berteriak memenuhi setiap sudut kantin.
Beberapa siswa dari berbagai kelas memandangnya aneh. Biasanya Frans dan Aksa akan masuk kantin bersamaan. Pesan makanan, duduk di bangku pojok, sambil mengobrol santai. Seantero sekolah tau itu.
Tapi hari ini, yang ada malah Aksara yang masuk kantin bersama Leon. Teriak-teriak tidak jelas. Melarang Frans memasukkan makanan yang sudah berjarak beberapa sentimeter dari mulutnya.
Frans berdecak. Apa lagi sekarang? Dilihatnya wanita pengganggu yang sedang berjalan cepat ke arahnya.
"Frans! Jangan dimakan!" Aksa mengulangi kata-kata beberapa detik lalu sambil membenarkan letak kacamatanya. Kali ini terdengar tulus. Tapi seperti biasa, suara itu juga yang selalu mampu membuat emosi Frans meluap. Rambutnya terlihat sedikit berantakan. Di belakang, Leon mengikuti dalam diam.
"Apaan sih, Sa? Frans tadi pagi nggak sarapan! Itu juga gara-gara lo! Sekarang malah ngelarang-ngelarang. Lo mau anak orang mati?" Sania balas berteriak. Berdiri.
Aksara tak menggubris. Mengambil nafas dalam dalam, lalu menoleh pada Frans yang juga sedang menatapnya tak suka.
"Frans belum makan apa-apa, kan?"
"Kalo pengganggu kayak lo nggak dateng sekarang, harusnya gue udah kenyang!" Pria itu berkata geram. Melebih-lebihkan kesalahan Aksara Aurellin.
Tapi apa melarang Frans makan makanan yang tadi dibelinya adalah suatu kesalahan?
Leon pun ikut memasang tatapan gemas. Yang berbeda adalah, Leon mengatur fokus matanya pada Frans Arelta Dwi Sanjaya. Bukan Aksara Aurellin Pradikta. Amnesia ini benar-benar menyusahkan.
Sejurus kemudian, Aksara melirik sekeliling. Ternyata mereka jadi pusat perhatian. Semua orang tau jika Sania menyukai Frans. Dan Frans begitu jijik. Sania bahkan pernah mendekati Aksara hanya karena ingin dekat dengan Frans juga.
Bisikan-bisikan siswa siswi mulai terdengar. Mulai dari yang suka Frans dan iri pada Aksa sejak dulu, adik kelas polos yang juga kaget dengan ucapan kakak kelasnya, siswa siswi yang tidak suka dengan Sania, hingga teman-teman semua angkatan yang dekat dengan Aksara. Bahkan kakak kakak kelas dua belas juga ikut mengomentari.
"Eh, itu kak Frans, kan?"
"Kok gitu sih sama kak Aksara?"
"Tumben? Biasanya nempel mulu?"
"Itu cabe kok bisa sih bareng Frans? Aksara gimana?"
"Ada yang bilang kak Frans habis amnesia. Tapi masa sampe kayak gitu sih ke kak Aksara? Biasanya juga kayak Abang ke adeknya?"
"Kasian Aksara. Liat deh!"
"Ini mah namanya bukan amnesia, tapi diguna guna."
"Maaf, Frans." Aksa menunduk malu. Bukan minta maaf karena telah mencegah. Jauh dalam hatinya, ia merasa bersalah. Bagaimana bisa dirinya lalai tugas ketika sahabatnya sedang hilang ingatan?
"Mau lo apa sih?" Frans menjawab tajam.
"Enggak ada. Aku cuma minta Frans nggak makan itu." —Aksara menuding piring di atas meja.
"Lo pikir lo siapa ngatur-ngatur sahabat gue?" Sania menekan kata "sahabat". Memperjelas pada Aksara bahwa Aksa bukan siapa-siapa bagi Frans.
"Lo bukan bunda yang bisa ngatur hidup gue sesuka hati lo! Cuma gara-gara gue mau makan masakan lo kemaren kemaren, bukan berarti lo berhak ngelarang gue buat makan apapun! Lo itu cuma pengganggu, tau nggak?!"
Aksa membatu. Keberaniannya hilang seketika. Bahkan jika itu hanya untuk mengatakan apa yang menjadi fakta. Mata tajam Frans membuatnya kehilangan kata. Selalu begitu.
Melihat Aksa yang kembali menunduk, Leon tak bisa tinggal diam. Ia tak tega. Lagi-lagi, Frans sudah kelewatan!
"Frans," panggil Leon tenang.
"Apa? Mau belain? Belain aja sana! Gue nggak takut!" Tatapan pria pemilik rambut coklat gelap itu masih tetap ke arah Aksara Aurellin Pradikta.
"Andai bisa, gue mau belain Aksa. Sayangnya gue lagi males ribut, dan gue juga tau kondisi lo yang kayak anak baru lahir. Jadi gue coba pahami sebagai sahabat lo."
Diam sejenak. Tak ada yang berani angkat suara. Bahkan satu huruf sekalipun. Mereka masih jadi pusat perhatian kantin.
Setelah mengambil nafas panjang, Leon menganggukkan kepala. Lantas kembali melanjutkan. Tetap dengan tatapan datarnya. "Gue kasih tau, Frans.... Lo itu alergi udang."
Leon menggandeng tangan Aksa, lantas menariknya pergi. Namun baru beberapa langkah, ia berbalik, "satu lagi. Gue nggak maksa lo buat percaya kok. Experience is the best teacher. Jadi mungkin, kalo udah nyoba, mungkin lo bisa lebih sadar diri!"
Selepas menyelesaikan peringatan, Leon melenggang dengan tangan kiri masih menggandeng Aksara.
Dua sejoli itu sudah hilang di belokan kantin. Tatapan tajam Frans berubah menjadi ekspresi terkejut yang tak bisa ia sembunyikan sedikitpun.
Diliriknya piring berisi mi goreng dengan telur, sosis, dan udang yang kini tak berniat ia makan sama sekali.
Sania yang ada di sebelahnya tidak jauh berbeda. Rupanya dia lupa kenyataan bahwa Aksara memang tau segalanya tentang Frans.
"San..., emang bener yang diomongin Leon?" Frans akhirnya bertanya. Beberapa pasang mata masih diam diam memperhatikan mereka. Walau tidak se-menarik tadi, mereka masih ingin tau respon yang diberikan Frans.
"Udah nggak usah dipikir. Keluar aja yuk?" Sania mengalihkan pembicaraan. Mau bilang iya, jatuhlah image nya sebagai sahabat Frans. Mau bilang tidak, bagaimana jika memang alergi?
Bingung sendiri, ia memilih tersenyum. Senyum palsu yang terlihat begitu manis di mata Frans.
Frans mengangguk. Namun sebelum itu, pria tersebut mengotak-atik ponsel sebentar. Lalu mengikuti Sania keluar kantin.
"Kenapa nggak bilang aja tadi?"
"Apanya?" Aksara menautkan alis. Menoleh.
"Kenapa nggak langsung ngomong kalo Frans itu alergi?"
"Ih Leon.... Kamu tuh, nggak paham, ya? Aku biarin Frans diem dulu. Biar bisa sedikit banyak bantu dia inget. Biar dia terbiasa. Dan nggak ngandalin ucapan orang lain terus."
"Tapi, Sa! Itu sama aja ngasih ruang Frans buat makin benci sama lo," balas Leon lembut. Kasian sekaligus heran sendiri dengan wanita yang kini duduk di sebelahnya. Pola pikir gadis pecinta laut ini tak pernah bisa ia pahami.
"Enggak kok. Nanti kalo Frans tau, Frans bakalan sadar dikit-dikit. Kalo aku terlalu agresif buat ngasih tau Frans, itu yang malah bikin dia risih sama aku. Lagian nih, ya, Frans nggak benci kok sama aku. Frans cuma lagi lupa." Gadis itu tersenyum hangat. Membuat Leon kehabisan suara untuk membalas penuturannya.
Diperhatikan lamat-lamat gadis berambut coklat di sampingnya. Saat itu juga, Leon berjanji pada diri sendiri. Nanti jika Frans sembuh, ia akan buat Frans membayar semua dengan lunas!
"Hei! HP kamu bunyi tuh!"
"Oh..., iya." Leon segera mengecek 3 pesan yang baru masuk. Semua dari Frans.
From: F R A n s
Leon
Ke rooftop, sekarang.
Ada yang mau gue omongin.
"Dari siapa?"
"Ah enggak..., cuma SMS dari operator," jawab Leon asal.
"Oh..., ke kelas yuk!"
"Lo nggak laper? Masih kurang lima belas menit. Mau gue anterin ke kantin?" Leon melirik jam tangan sport di pergelangan tangan kiri.
"Engga deh. Langsung balik aja. Aku lagi males. Lagian tadi udah sarapan kok."
"Sama Frans?"
"Enggak, cuma sama Tante Fransisca sama Kak Risya."
Percakapan selesai. Leon tak menjawab lagi. Hanya ada suara langkah kaki yang mengiringi perjalanan singkat mereka menuju kelas.
"Leon."
Yang dipanggil menoleh. Dan sudah bukan sesuatu yang langka jika semua yang ada disana juga akan ikut menoleh. Simpati mereka pada pria hilang ingatan itu musnah begitu saja kala sikap Frans terhadap Aksara terpampang jelas.
Leon menaikkan satu alisnya. Seolah bertanya, kenapa?.
Aksa yang tadinya ketawa ketiwi dengan beberapa siswa lain pun ikut menoleh. Melihat Frans tanpa ekspresi. Mungkin akan tersenyum jika Frans memandangnya?
"Lo udah baca chat gue, kan?"
Leon tak menjawab, hanya mengedikkan bahu.
"Ada yang mau gue omongin."
"Ngomong aja." Leon berbicara santai. Enggan beranjak. Lagipula, bukan dirinya yang ingin bicara.
"Nggak disini!"
"Kalo gue maunya disini? Gimana?"
Frans diam, melihat teman-teman kelasnya yang sedang kumpul bersama Leon. "Bentar aja, Yon."
"Gak bisa! Lo ngomong disini, atau nggak usah sama sekali," jawab Leon mempertegas.
"Kenapa?"
Teman sebangku Aksa kembali menaikkan alis. Kenapa?
Sesaat kemudian, dia mengangguk paham. Paham akan maksud pertanyaan Frans. Juga paham, jawaban apa yang akan ia keluarkan.
"Kalo gue ikut lo keluar, yang ada Aksa dibully sama Sania. Nggak tau deh kalian saling ngeracuni apa dan gimana. Yang pinter jadi bego, yang jahat makin kelewatan."
Mendengar ucapan Leon, Frans malah memasang senyum mengejek.
"Oh? Mau jadi malaikat? Oke, gue bakal ngomong disini." Frans berhenti, melirik Aksa sejenak, lalu kembali menatap Leon.
"Gue mau, lo jauhin Aksara dari hidup gue!"
•|FRASA|•
Double up.
Yang lagi puasa, semangat ya! Jaga diri, jaga hati, jaga kesehatan, juga jaga perasaan. Okeh?:')
Terimakasih sudah membaca part ini 💙
Okey!
Jangan lupa vote, comment, sama share juga ke temen-temen kalian :')
🦀🦀🦀
Aku cari emoticon udang buat kalian, tapi nggak ketemu.
Kepiting aja boleh, ya? Hehe
🦀🦀🦀
Luv: helicoprion_