EVENT AIRIZ "Realita di balik...

By AirizPublishing

2.8K 272 81

Work ini akan berisi karya-karya terbaik dari penulis Airiz dengan tema #Realitadibalikvalentine. Event ini d... More

CUAP - CUAP
Momen Emosional
UNFULFILLED PROMISE
You're not My Valentine
Ingatan dan Lamunan di Hari Valentine
UNDERCOVER
JOIN
CACTUS
Memori Merah Jambu
Kebaikan dalam Lautan Cokelat
CYCLOPATH
Sweet Memorize Sunshine
Pengakuan Tak Terduga
VALENDRA
You are not CLAUDIUS II
Fase Bestfriend
Look-Out
Fix You
Surat untuk Cokelat
Flower Road
Penghujung Kantin
Dari Kara Untuk Fadhil
Memorable Chocolate
LOST STAR
Rachel
MOVE ON
Penenun Nasib
Another Ending
My Almost Valentine
Bloody Val
Duka dalam Kata
Dibalik 14 Februari
Gadis Perindu
KAMUFLASE
Hari Kasih Sayang Terakhir Bersama Ibu
Kasih Sayang

Despicable Val

399 23 12
By AirizPublishing

Karya ini dikarang oleh Liana_DS

******

Kuberitahukan pada kalian sebuah rahasia kecil: Hari Kasih Sayang yang dielu-elukan para remaja kasmaran itu sebenarnya merupakan hari di mana orang suci dipenggal. Delapan belas abad silam, Santo Valentinus dieksekusi atas perintah Kaisar Claudius II di Romawi sana. Teori terpopuler mengenai peristiwa ini menjelaskan soal 'pernikahan terlarang'. Sang pendeta mengawinkan ratusan prajurit Romawi yang saat itu haram punya istri; dalih Kaisar, mereka tak akan menjadi petarung hebat dengan bayang-bayang orang tersayang di belakang. 

Pasca eksekusi, Julia, anak penjaga penjara tempat Santo Valentinus dikurung, menanam pohon almond berbunga merah muda di atas makam si santo. Gadis cilik ini konon disembuhkan dari kebutaan oleh Valentinus dan dikirimi surat yang tertanda 'dari Valentine-mu' menjelang hari penghukuman. Kesederhanaan cara balas budi Julia kemudian menjadikan bunga almond merah muda salah satu simbol cinta hingga beberapa puluh dekade.

Jika kalian tersentuh dengan sepotong kisah di atas, berarti kalian paham bahwa pesona kasih bukan diakibatkan manisnya pertemuan, melainkan pahitnya perpisahan. Tanggal empat belas bulan dua juga kuperingati sebagai hari terpisahnya diriku dengan belahan jiwaku, alih-alih hari di mana cinta bersemi atau diperbarui.

 Andai ada yang diperbarui pun, itu adalah kebencianku terhadap Val. Orang itu telah menjebakku dalam opera sabun paling murahan dan menumbalkan kekasihku agar bisa mencapai episode terakhir dengan aman lagi nyaman. Menyesal aku sempat kagum padanya saat pertama kali keluar dari etalase.

Val berusia 25 tahun lebih sebulan ketika membeliku. Ia laki-laki yang berpenampilan rapi dan berlaku sopan pada siapa saja, termasuk pada penjaga toko yang pelayanannya lambat minta ampun. Aku terkesima, tetapi tidak terlalu kaget waktu ia memilih dan membayarku. 

Seseorang yang menarik memang cenderung selektif dan dari sederet gawai yang dipajang, aku sadar diriku paling menawan. Casing perakku elegan, layarku lebar, penyimpanan internalku hitungan terabyte, dan kameraku merupakan versi termutakhir dari teknologi swafoto. Serasi benar berada dalam genggaman pria seatraktif Val, bukan? Aku pun diboyong beriring tatapan iri teman-temanku yang speknya tak seberapa. Bagaimana aku tidak bangga? Hari itu, dengan keriangan setelah resmi dimiliki orang keren, segala daya kukerahkan untuk memamerkan fitur-fitur terbaik. Val tampak puas pada percobaan pertama, jadi ia lanjut membanggakanku di depan teman-teman kantornya, lalu ke kekasihnya.

"Akhirnya, kamu ganti hape juga! Males aku lihat yang pecah layarnya dulu itu!"

"Sayang, sebenernya. Hape itu banyak kenangannya. Kita jadian juga berkat hape itu, kali."

"Idih, sok mellow. Tanggal jadian aja kamu lupa."

Winda, bila kurangkum, adalah antitesis Val. Ia perempuan yang berisik, hobi memandang segala sesuatu dari fisik semata (bahkan ponsel pun dia hakimi), dan selalu cari perhatian. Usahanya sangat keras untuk mematutkan diri di samping Val, tetapi menurutku, ini malah membuatnya mirip badut tanpa pesta: canggung. Bedaknya yang dibubuhkan tebal-tebal untuk mengimbangi kulit susu Val kontras sekali dengan warna sawo matang aslinya. Rambut lurus hasil rebonding—karena Val berambut lurus—menuakannya kira-kira lima tahun. 

Pakaian-pakaiannya berlogo G dan C kembar biar sama berkelas dengan kemeja-kemeja CK-nya Val, masalahnya ia tidak paham bahwa fashion bukan cuma tentang mengenakan merek. Kepekaannya dalam mix and match rendah sekali, membuatku frustrasi menyimpan wefie pasangan ini. Lengketnya Val pada Winda seolah tak beralasan hingga kulihat Winda main ke kantor, mengecup akrab pipi bos Val, dan memanggilnya 'Papa'. Barulah kuloloskan 'oh' panjang yang selama ini nyangkut di memori internal.

Akhir pekan pertamaku di rumah manusia, aku dikejutkan satu dering primitif dari sebuah tas pinggang kusam yang tergantung di kapstok. Mengapa primitif, itu karena nadanya monoton sekali, lebih parah dari nada dering bawaanku. Plus, bunyinya sekasar mainan yang dijual di kios seberang jalan, berupa serangkaian teng-telolet yang bikin pengang. Menurut teman-teman etalaseku, begitulah notifikasi panggilan masuk dari ponsel zaman baheula. Mereka pasti tercengang kalau tahu sang legenda hidup di kamar ini!

Val yang baru selesai mandi merogoh kantong depan tas pinggang, lalu bagai gerakan lambat nan dramatis di film-film, dia muncul. Dia, pusat pusaran emosiku, yang memancing keredap layar kunciku, yang membungkam semua berkas nada dering, yang menyumbat saluran sinyalku agar tak ada pesan atau panggilan mengganggu. Dari atas tempat tidur, kuawasi ia yang menempel patuh di telinga Val. Layarnya yang hanya sepertiga LED-ku itu memancarkan keteduhan asing, mustahil dijumpai pada gawai-gawai masa kini yang dihujani notifikasi media sosial sampai pembaruan aplikasi. 

Jangan lupa bodinya yang montok, menyalahi tren tipis-tipisan para smartphone. Terserah kalau kalian mau bertahan dengan standar kecantikan terbaru, tetapi aku telah menetapkan standarku sendiri pada sang bidadari penjelajah waktu.

Usai menelepon, gawatnya, Val meletakkan ponsel lawas ini di sisiku. Pengatur pencerahan lampu latarku bergeser naik-turun lantaran gugup, apalagi waktu ia menyunggingkan senyum lembut yang terpikselkan itu. Astaga, kualitas gambar yang ditampilkannya jauh di bawahku, lalu mengapa aku tersipu?

"Halo. Kamu hape baru Val?"

Gemerisik suara robotnya memakuku. Aku menangkap kepolosan di sana. Masuk akal; ia tidak mungkin terkontaminasi hoax dan komentar tajam warganet. Bagiku, itu imut.

"Iya. Kenalin, Silver."

Sia-sia terabyte memoriku di depan si cantik antik ini. Kurang dari semenit, ia mengobrak-abrik harkat dan martabatku, memancing ajakan berkenalan yang impulsif dari penguat suaraku. Salah! Harusnya basa-basi dulu, lalu membahas topik yang kira-kira digemari kedua pihak, baru kenalkan nama dan buat janji ketemu berikutnya. Eh, tapi buat apa janji temu berikutnya, orang kami tinggal serumah. Fakta ini membuatku gemetar sampai dia mengira ada pesan masuk.

"Biru. Salam kenal juga."

Biru. Namanya terus terngiang walaupun tidak istimewa karena jelas dicomot dari warna casing. Fungsi latar belakangku macet total akibat ngiang itu: jam tidak bertambah detiknya, aplikasi pesan ogah menangkap pesan baru, dan situs berita seolah laman peramban statis saja. Aku cepat menguasai diri, tentu saja. Bisa bahaya kalau Val tahu aku tidak lebih berguna dari ponsel 8-bit. Namun, respons malu-malu Biru sedikit melenceng dari harapanku; dia tadi begitu percaya diri memulai percakapan, kan?

"Aduh, jadi canggung... Maaf, aku kuno banget gini... Aku nggak terlalu ngerti Android sama iPhone juga, jadi bingung mau ngomong apa..."

"Nggak masalah, kok! Aku malah penasaran, kok kamu bisa ada di tas pinggang itu? A-Aku sumpah sebelumnya nggak pernah tahu tas itu! T-Terus aku sudah seminggu di sini, tapi kamu kok nggak pernah keliatan? Nggak pernah bunyi juga kayak tadi?"

Biru yang tercecar pertanyaan sembaranganku terjajar mundur saking kagetnya, tetapi ia kembali tersenyum—ya ampun, semoga suatu hari, Val mengunduh lockscreen pixelated supaya aku cocok dengannya. Aku begitu tergila-gila pada ponsel tua ini hingga tak mengantisipasi kerumitan dalam kisah yang akan Biru tuturkan.

"Kamu kan hape yang dipake Val ngehubungin Winda. Nah, kalo aku buat nelepon Sari."

Aku tertegun. "Sari siapa?"

"Sayangnya, status Sari nggak bisa dijelasin pakai satu-dua kata aja kayak Winda. Bakal panjang kalo diceritain—"

"Please, cerita aja!"

Demi Tuhan, speaker-ku lancang! Tapi, aku memang ingin tahu sekali, sih. Tahu-tahu kulangkahi batas wajar dan monitor kami nyaris berimpit! Sontak aku menarik tubuhku, tetapi Biru bukannya marah malah terkekeh.

"Kamu semangat banget pingin kenal Sari? Aku cerita, nih, tapi jangan kaget, ya."

Biru kemudian menuturkan bahwa dirinya semula dimiliki oleh ibu Val, perempuan yang usianya sudah kepala enam, sosialita unik yang pegangan wajibnya bukan telepon genggam. Suatu hari, Val yang harus pergi ke pinggir kota untuk urusan kantor mengalami masalah karena gawai pintarnya yang sebelumku diservis, maka ponsel butut sang ibu (sekalian nomornya; slot ponsel itu kebesaran untuk kartu SIM mikro Val) pun dipinjam sementara, hanya untuk panggilan genting. Inilah yang kemudian mempertemukannya dengan Sari, seorang perempuan muda penjaga warung tenda.

Cara Biru menggambarkan Sari seperti mendeskripsikan diri sendiri: sederhana, kusam (uh, merendah dia), dan keheranan dengan sikap individualis pengguna ponsel langsing yang bukannya ngobrol malah bingung pasang caption (peduli amat mau di warung tenda juga). Val pandai membawa diri, maka ponsel ibunya ia simpan dalam tas pinggang, tidak dibelai sedikit pun. Kopi diseruputnya takzim, menarik perhatian Sari walaupun saat itu belum menjelma menjadi ketertarikan romantis. Val-lah yang lebih dulu tertarik secara romantis pada penyeduh kopinya.

Aku tidak suka ke mana pembicaraan ini mengarah, tetapi tetap menyimak.

Waktu pulang, Val memberikan ponsel baru pada ibunya, dengan penuh sesal bilang yang lama hilang. Terang saja ibunya mengomel ('di situ ada catetan resep kukis sama doa tolak bala, kok bisa kamu ilangin, sih?'). Val diam bagaikan putra berbakti yang kebal semburan api, padahal tas pinggangnya menyembunyikan Biru yang sudah menyimpan nomor Sari. 

Sekembalinya ponsel pintar dari tempat servis, kehidupan Val berjalan beda lajur dengan percakapan-percakapan sore di tepi kota, panggilan-panggilan singkat sarat makna, dan pesan tanpa emoji yang memuat perenungan-perenungan 'konyol'. Orang kebanyakan akan menganggap merenung itu 'konyol', tetapi Sari tidak, maka Val bebas berdiskusi dengannya untuk membuka wawasan.

Winda, di lain sisi, cuma menambah perbendaharaan mall dan brand fashion yang diperlukan Val untuk membaur dengan orang 'normal'. Tak tahu ia, setiap akhir pekan ketika ia duduk jemu di rumah dalam rangka family time (ayahnya yang mewajibkan), kekasihnya bersemadi dengan perempuan lain, menyamar sebagai pekerja lapangan junior yang cuma lowong di Sabtu-Minggu dan tak punya smartphone.

"Tunggu, tunggu." Bateraiku rasanya melembung. Kuharap halusinasi belaka. "Val mungkin nggak serius sama Winda, tapi dia konsekuen orangnya."

"'Tertarik secara romantis' sama Sari nggak terus bikin Val ngeduain Winda seperti yang kamu pikir. Sari sekadar obat buat Val di tengah hectic rutinitasnya, kok."

Entah aku yang kelewat tolol atau Biru yang kelewat bijak. Maksudku, cinta segitiga kan klasik sekali, tetapi mengapa Biru tidak menyimpulkannya setegas aku? Val selingkuh. Betapapun kudewakan dia, laki-laki klimis tampan itu masih mendua. Biru, dari kedipan-kedipan pikselnya, juga kentara sekali sebagai pengagum Val, tetapi ia membenarkan tindakan ini. Apakah cinta sebegitu membutakannya?

Ya, sebegitu membutakannya. Membutakanku juga. Val kuanggap penjahat dan Biru adalah santo yang mengasihi tanpa kecuali. Kharisma Biru baru saja naik berkali lipat, padahal kami baru memulai perbincangan beberapa menit lalu.

Val masuk tanpa peringatan dan mencemplungkan Biru ke tas pinggang. Malam itu, aku diisi daya dengan bisikan Biru menyelimutiku.

"Kalau kita ketemu lagi, kutunjukin percakapan Val dan Sari supaya kamu paham bahwa mereka nggak pacaran."

Aku kecewa berat waktu Biru menghilang ke dalam saku tas pinggang nostalgik Val. Pertemuan yang Biru harapkan mungkin tak akan terjadi lagi. Aku, si gawai modern, akan terus menjadi perangkat komunikasi utama Val, kecuali saat bersama Sari, kekhususannya Biru. Jika Val mempertahankan kebiasaan untuk hanya membawa salah satu dari kami selama bepergian, bagaimana kami bisa melanjutkan obrolan seru ini?

Lucunya, kebetulan-kebetulan mengikat kami. Bila sedang terburu-buru, Val akan meletakkan Biru di sebelahku. Perangkat itu tidak buang tempo; ia segera menyiramkan sejumlah kenyataan dingin dari kotak masuk. Aku boleh bangga dengan stiker bergerak di aplikasi pesan, sementara Sari dan Val hanya menggunakan emoticon tanda baca, itu pun bisa dihitung dengan jari sebelah tangan dalam satu seri obrolan. 

Pesan singkat yang masih dikorting lagi oleh Winda pada Val jadi terasa dangkal dibanding pemikiran tentang perlunya menyendiri buat menyetel ulang batin. Mengapa jendela percakapan dengan Winda tidak sehangat kalimat berhuruf kotak-kotak itu, padahal stiker yang ditabur sudah banyak? Mengapa seluruh perasaan Val seakan tertuang ke SMS dan log panggilan Biru ketimbang cuitan dan caption yang diganti berkala melaluiku?

"Kamu iri soalnya nggak ngerasain kemesraan dari notifikasi-notifikasi sosmed Val."

"Mau kubilang nggak pun, kamu pasti bakal tetep nganggep iya."

Di nakas tempat kami terbaring, Biru menghadapiku yang merajuk dengan ketelatenan seorang ibu. Tuts silikon tiga alfabet mengetuk sisi tubuhku dan aku menggigil halus.

Kegirangan.

Kutahan diri dari tersenyum hi-definition.

"Nggak usah marah, ih. Kalau mau, aku bisa kirim SMS-SMS Sari sama Val ke kamu. Resapi apa yang mereka omongin dan kamu akan ngerti kalau hubungan mereka indah dengan cara yang beda dari pacaran."

"Sudah cukup kamu nyeritain semua itu, Bi; aku muak." Kucoba bicara sesengak mungkin agar Biru berpaling, tetapi layar kelabunya meruntuhkanku.

"Sebenernya, apa yang bikin kamu muak sama mereka? Karena kamu memihak Winda yang dibohongi? Atau karena Val yang bohongin kamu dengan kesempurnaannya di awal kamu dibeli?"

Skakmat. Animasi galaksi pada lockscreen-ku berhenti berotasi. Kulirik Biru yang membacaku, menembus screen guard, langsung ke memori internalku. Dia tahu. Winda insignifikan bagiku, tetapi Val pemilikku. Pujaan pertamaku. Kiblatku. Ia agung dan harus tetap begitu, lalu cerita Biru mengenai pertemuan-pertemuan dengan Sari menabrak prinsip tersebut. Aku jadi benci setiap log dengan nomor Winda dalam diriku karena dusta Val melekat ke sana. Mengakar. Lama-lama berkembang dan menggerogotiku.

"Sil, badanmu panas."

"Internetnya belum dimatiin, soalnya." Aku menghindar dari papan kunci Biru, tidak mau dia mengecek cache dan berkas sampah yang akan menunjukkan bahwa sistemku overload. Biru sudah kenal sedikit-sedikit sistem operasiku, jadi dia berpotensi tahu bahwa kejengkelanku pada Val sudah berukuran gigantik dan bikin ngadat beberapa program.

"Ya sudah, sini, kumatikan."

Gagal aku mengelak; Biru menutul tombol koneksiku hingga hilang warnanya. Dia menatapku lamat—ah, bekulah aku kalau dia terus begitu. Sebentar kemudian, sayangnya, ia melakukan apa yang kutakutkan: memencet ikon sapu.

"Sampah apa, nih? Sampai 1,27 gigabyte!" seru Biru. Bodi plastiknya bergulir di atasku, menggulung layar untuk membaca rincian sampah. Berkas ganda, aplikasi tak terpakai, proyeksi rasa sebal—ups.

Biru mendengus.

"Koneksi internet apaan? Diem situ!"

Kusangka Biru akan menimpa badanku, atau mencubit dengan tuts empuknya, atau ungkapan kekesalan lainnya. Salah besar; dia justru mendekapku. Data menyisipi casing dan kotak masukku terisi pesan-pesan yang sebelumnya tak ada. Sari menyemangati Val. Val mendoakan Sari. Sari bilang pacar Val kelak (ya, Val mengaku masih lajang) akan sangat beruntung karena dapat berdiskusi sepanjang waktu tentang pencarian jati diri. Tentang meditasi. Tentang merasa puas dan cukup tanpa memenuhi tuntutan orang lain.

Tubuhku menyejuk dan hanyut dalam kondisi nonaktif. Biru sekali lagi berbisik sebelum aku lelap.

"Cinta nggak bisa dipaksa, jadi nikmatin aja selagi bisa, Sil. Berlaku juga buat Val."

Tapi, itu kan idealnya, dan kenyataan tidak pernah ideal.

Sari belakangan menyadari bahwa ia merajai hati Val, maka gadis yang semula toleran itu jadi lebih menuntut. Menurut Biru, Sari memang tidak merengek-rengek untuk lebih diperhatikan, tetapi pertanyaan 'kamu nggak pernah kosong pas hari kerja?' menyiratkan keinginan terpendamnya. Barangkali karena merasa tak pernah adil pada Sari (adil atas apa, aku pun ragu; Sari dan Val kan cuma 'teman diskusi'), Val membuat janji ketika telah memastikan tak ada kencan dengan Winda pada hari pertemuan.

Hubungan tak bernama dengan Sari telah merebut ruang waktu yang sebelumnya eksklusif buat Winda. Seteliti apa pun Val, risiko terpergok tak lantas nol, apalagi janji temu dengan Sari adalah sehari sebelum Hari Kasih Sayang. Winda boleh berumur 25, tetapi jiwa remaja labilnya sudah mengerak; baginya, buat apa punya kekasih kalau tidak bisa diajak kencan pada saat Valentine?

"Vaaal!!! Kita keluar hari Selasa, yuk!"

Nah, kan. Perubahan aliran darah tangan Val yang menggenggamku terasa sekali. Meskipun begitu, ia memasang raut kalemnya yang biasa tatkala bersitatap dengan Winda.

"Lah, Rabu-nya kita keluar juga, bukan? Valentine tanggal 14, lho."

"Iya, tapi-tapi ..." Winda mengerucutkan bibir dan mengecilkan suara macam anak kecil dan aku bergidik, "... tahu sendiri Papa suka aneh-aneh, Val! Dia ngajak kita makan bareng keluarga besar tanggal 14!"

Val menutupi degup bimbangnya dengan bersikap santai. "Family bonding?"

"Yap. Urgh, kesel banget! Aku padahal cuma mau berduaan sama kamu!"

Lengkingan Winda tidak diserap lagi oleh kepala Val yang tengah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk tetap menepati janji pada Sari. Ia cukup cerdik dengan menawarkan jam dan tempat kencan duluan, yang Winda sepakati begitu saja. Justru aku yang ketar-ketir waktu Val, setibanya di rumah, mengabari Sari kalau waktu pertemuan mereka mundur setengah jam. Biru lantas setengah diempas ke bantal di mana aku tergeletak.

"Lho, kenapa diundur deh janjiannya?"

"Si Lampir ngajak kencan tanggal 13," erangku. Biru menghela napas dalam hingga lampu latarnya tak sengaja menyala.

"Semoga Val nggak ngebawa kita barengan hari itu ...."

Harapanku sama walau kecil kemungkinannya terwujud. Kencan dengan Winda paling cepat berakhir setelah dua jam, padahal tepat di jam kedua itu adalah waktu yang dijanjikan pada Sari. Kita ketahui bersama bahwa Sari hanya bisa dihubungi oleh ponsel jadul milik pria bertas pinggang. Diam-diam, kugenggam balik tuts Biru. Kami sama-sama tidak siap kalau hubungan Val—yang mana pun—hancur, tetapi bagai mempermainkan logika kami, Tuhan malah menghancurkan hal lain pada hari nahas itu.

Aku dan Biru sungguhan dibawa berdua pada saat Valentine; aku di saku celana kiri, Biru di kanan. Segala kutukan kulontarkan keras-keras pada Val sekalipun ia tuli akan suaraku. Bukankah membawa dua ponsel akan memperbesar peluang ketahuan? Terlebih, Biru gemuk; tanpa tas pinggang, ia membentuk tonjolan yang mencurigakan di saku Val. Akankah Winda melihatnya?

"Gawat," desis Biru dari saku seberang. Val dan Winda sedang makan di food court sekarang.

"Kenapa?"

"Profilku kepencet jadi general."

Cobaan apa lagi ini, Gusti? Val tak akan mengeluarkan Biru selama bersama Winda, tetapi kalau profil 'general' aktif, artinya Biru dapat berdering! Kebohongan yang disembunyikan rapat bukan mustahil akan terbongkar.

"Coba ganti lagi ke silent, Bi."

"Nggak bisa. Aku kecepit."

"Bisa, Bi. Tutsmu tipis, pasti masih ada ruang."

"Aduh... Iya, kucoba."

Biru terengah, berjuang melebarkan spasi. Satu tuts ditekan. Entah berapa lagi yang harus dipencet agar ia berubah tenang. Sepanjang Biru berupaya, aku sakit kepala. Keteganganku berdengung-dengung, meninggikan tumpukan berkas sampah yang harus disapu. Lima belas menit kemudian, Biru mendesah lega: 'sudah silent'.

Satu setengah jam berputar-putar, Winda bilang mau ke kamar mandi dulu. Selagi menunggu, Val iseng meraih Biru. Apa yang dia lakukan: mengecek pesan lama?! Winda dapat keluar sewaktu-waktu! Tidak ada panggilan maupun pesan dari Sari, jadi masukkan Biru kembali sekarang!

"Aku nggak tahu kamu masih punya hape jadul. Panjang bener, SMS dari siapa?"

Ekspresi yang Val pasang ketika Winda menghampirinya adalah yang terbodoh sepanjang umurnya, berani taruhan. Ia menggeragap; jendela diskusinya dengan Sari tertutup begitu tombol back ditekan. Winda kelihatannya tahu apa yang terjadi dan menyambar Biru, menyasar kotak masuk. Aku yang mengintip dari saku mengasihani Biru yang menggigil saat Winda memenceti satu demi satu pesan bernama pengirim 'Sari'. Andai badannya bisa kurengkuh.

"Dengerin dulu, Win."

Di luar dugaan, setelah membaca arus tukar pesan yang hangat antara Val dan Sari, Winda tidak mengamuk. Ia memandang kosong Val yang menyusun manis dustanya mengenai Sari: teman semasa SMA, satu klub drama, sama-sama suka baca buku, 'tapi pacarku itu masih kamu'.

"Terusin, Val." Aku terenyak dan Biru menjerit; Winda mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara. "Terusin!!!"

Sebentar, mendadak aku mual. Bolehkah bagian ini kulewati saja? Apa yang terjadi saat itu menggempurku seolah aku sendiri yang mengalami. Biru diangkat, Val coba menahan, tetapi Biru tetap dibanting—dibanting14FebruariWindalampirsialanasdrfhtc#*$@—maaf, sistemku sejenak galat. Ini terjadi setiap aku harus memutar ulang memoriku tentang Biru yang bodinya pecah, baterainya mencelat, dan serpihan PCB-nya berserakan di antara sepatu Winda dan Val. Badanku panas, tingkat kecerahan layarku melonjak melebihi maksimal, dan program-programku mandek kala itu, lalu gelap. Bangun-bangun, aku sudah di kamar Val, tetapi di sana tidak tergantung lagi tas pinggang berisi ponsel gemuk sewarna langit. Entah berapa lama waktu kulewatkan, yang jelas hanya satu.

Biru tidak lagi bersamaku.

Sistemku sering nonaktif sendiri beberapa hari pasca Biru hancur sampai Val mengumpatiku, membuang jauh-jauh pribadi santunnya, dan terlihatlah sosok aslinya yang acapkali melampiaskan amarah pada benda-benda. Waktu emosiku sudah lebih terkendali, kulihat Val tidak seakrab dulu dengan bosnya. 

Tak ada pula pesan singkat yang susul-menyusul dengan spam stiker dari Winda. Wanita muda yang norak itu bahkan tak tampak lagi batang hidungnya. Aku cuek saja biarpun faktanya, dia yang membunuh Biru-ku. Tangannya kan tidak bakal bergerak kalau bukan karena kelancangan Val mengecek pesan-pesan masuk dari Sari.

Ah, Sari. Sampai sekarang, aku tak tahu seperti apa rupanya. Val tidak pernah menemuinya juga usai aku diservis. Dia bisa saja meninggalkan Val untuk pria lain yang betulan lajang. Ujungnya, 'ketertarikan romantis' itu bakal dienyahkan juga macam cache yang menjejali aplikasi.

Hingga kini, baik aku dan Val masih sendiri. Tanggal empat belas senyap tanpa dering polifonik maupun rayuan gombal. Masing-masing kepala kami belum bersih dari sepah perpisahan, juga kebencian untuk satu sama lain. Demikianlah Valentine kami berevolusi menjadi peringatan kematian dan patah hati, membuat percuma pengorbanan seorang pendeta Romawi dulu itu, tetapi kami masih menanti bunga almond merah muda mekar lagi di tengah kegersangan ini, suatu saat nanti.

*****

Bagaimana?

Jangan lupa Vomment nya ya :)

Continue Reading

You'll Also Like

629K 16.8K 51
WARNING⚠⚠ AREA FUTA DAN SHANI DOM YANG NGGAK SUKA SKIP 21+ HANYA FIKSI JANGAN DI BAWA KE REAL LIFE MOHON KERJASAMANYA. INI ONESHOOT ATAU TWOSHOOT YA...
144K 618 11
πŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”ž bocil jangan baca ini lapak dewassaa ya!! dosa tanggung sendiri seoarang perempuan yang mempunyai sugar daddy yang possesif dan kaya raya se...
50.7K 6.7K 38
[SEQUEL MY SOULMATE] "Maksudnya apa coba main cium, emang ada temen tapi ciumannya di bibir?" "Yaudah kita pacaran! Mulai detik ini juga." Hidup seor...
227K 11.1K 27
[MINIMAL FOLLOW LAH YA BIKIN CERITA SUSAH ‼️] [Ganti CoverπŸ’ž] [BANTU PROMOSI CERITA INI. TERIMA KASIH πŸ’žπŸ’] "Kalo mau cipokan itu tau tempat." "Makan...